Mien Brodjo
Siti Sukatminah Brodjoewirjo (11 Maret 1937 – 12 Juli 2021),[1] atau yang lebih dikenal sebagai Mien Brodjo, adalah seorang aktris, pelukis, dan atlet berkebangsaan Indonesia. Kehidupan awalMien Brodjo dilahirkan sebagai Siti Sukatminah Brodjoewirjo pada tanggal 11 Maret 1937 di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, perempuan Jawa yang di kemudian hari dikenal dengan nama Mien Brodjo ini tergolong relatif beruntung karena meski lahir di Yogyakarta tahun 1937 saat masih masa kolonial Belanda, ayahnya adalah seorang mantri pamicis untuk Pemerintah Kolonial Belanda kala itu. Mantri pamicis ialah sebuah jabatan setingkat kepala dinas perpajakan dan itu membuat Mien Brodjo dan keluarganya dapat hidup berkecukupan. Selain itu sejak kecil Mien Brodjo sudah dididik disiplin terhadap semua hal, termasuk dalam pengaturan waktu. Hal ini dikarenakan ayahnya sangat ketat menerapkan kedisiplinan kepada anak-anaknya, termasuk Mien Brodjo. Hal ini dikarenakan lingkungan kerja ayahnya yang kerap bersama orang-orang Eropa, terutama dari Negeri Belanda.[2] Namun saat Jepang datang dan menjajah Indonesia, kehidupan keluarga Mien Brodjo yang semula berkecukupan menjadi berubah drastis. Ayahnya kehilangan pekerjaan. Untuk menambah nafkah keluarga, ibunda Mien Brodjo berjualan kain batik dengan ikhlas dan tanpa keluh kesah. Semangat ibundanya itulah yang selalu dikenang Mien Brodjo hingga dewasa kelak. Meski keluarganya sedang mengalami ujian hidup yang tidak ringan serta berada pada masa peperangan Indonesia, masa kecil Mien Brodjo tetap dinikmati dengan bermain bersama teman-teman sebayanya.[3] Kehidupan pribadiKematianMien Brodjo meninggal dunia di Rumah Sakit Bethesda, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 12 Juli 2021. Ia meninggal akibat penyakit yang dideritanya di dalam usia 84 tahun.[4] KarierSejak masih belia, ketertarikan dan bakat dalam hal seni peran pada diri Mien Brodjo sudah disadarinya. Hal ini membuat dirinya berkeinginan untuk masuk ke sekolah seni. Namun, orangtuanya tidak mengizinkan Mien Brodjo untuk masuk ke sekolah seni dikarenakan kekhawatiran akan masa depan yang suram jika berkarier sebagai seniman. Meski sempat kecewa namun Mien Brodjo tidak berlarut-larut dalam kesedihan.[3] Setelah tamat dari SMP, ia kemudian masuk di Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) pada tahun 1958.[5] SGPD ialah sebuah sekolah menengah tingkat atas yang mendidik siswanya menjadi tenaga pengajar atau guru di bidang olahraga dan kesehatan jasmani, dengan masa pendidikan selama 4 tahun.[2] Selama masa awal-awal pendidikan di SGPD, Mien Brodjo menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Keseriusannya dibuktikan dengannya dengan nilai-nilai yang cukup memuaskan, terutama di bidang senam dan renang. Namun demikian, saat sudah melewati masa-masa pertama sekolah di PGSD, Mien Brodjo yang sesungguhnya memiliki banyak kegiatan di sekolahnya, tak kuasa membendung hasratnya untuk menggeluti dunia seni tidak berhenti begitu saja. Di sela-sela waktunya, saat ia sudah di kelas 3 PGSD, pada sore hari ia kerap bertandang ke Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (Asdrafi) di kota Yogyakarta,[2] yang merupakan kampus yang telah banyak mencetak tokoh berpengaruh di dunia perfilman Indonesia seperti Teguh Karya dan Putu Wijaya.[3] Di Asdrafi, Mien Brodjo banyak menyerap wawasan dan menimba pengalaman berharga. Baik saat berdiskusi maupun saat bercengkrama dengan para mahasiswa dan komunitas seni yang ada di Asdrafi. Ia juga kerap diajak ikut bermain dalam pementasan drama. Di antaranya ialah "Domba-Domba Revolusi" besutan Koesno Soedjarwadi, "Malam Pengantin di Bukit Kera", dan "Malam Jahanam" arahan sutradara Motinggo Busye. Rupa-rupanya keasyikan Mien Brodjo dalam berkegiatan di dunia seni peran itu membuat nilai akademis di sekolahnya menurun.[3] Saat kenaikan kelas ke kelas 4, yang merupakan jenjang pendidikan terakhir di SGPD, ia naik kelas dengan nilai pas-pasan sehingga membuatnya ditempatkan di kelas 4D, kelas dengan klasifikasi siswa kurang pintar, sekaligus kelas di mana dikumpulkannya siswa-siswa yang bandel dan tidak disiplin. Siswa-siswa yang pintar, disiplin, dan patuh ditempatkan di kelas 4A, 4B, dan 4C sesuai tingkat kepintaran dan kedisiplinannya.[2] Setelah lulus dari SGPD, karena faktor ikatan dinas, Mien Brodjo yang lulus dengan peringkat 3 besar, kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Olahraga (STO) di Yogyakarta pada tahun 1965. Hal ini sebenarnya agak melenceng dari keinginannya, yaitu mengasah minat dan bakatnya di seni peran dengan bersekolah di Asdrafi di kota Yogyakarta karena semasa masih sekolah di SGPD ia telah aktif di dunia seni peran.[5] Untuk menyalurkan hobinya di teater, Mien Brodjo banyak bergaul dengan sejumlah seniman teater kenamaan, di antaranya ialah W.S. Rendra, Koesno Soedjarwadi, Putu Wijaya, dan masih banyak lagi. Ia juga bergabung dengan Sanggar Bambu, sebuah kelompok sandiwara pimpinan Soenarto Pr di Rotowijayan, Yogyakarta. Pada saat itu Mien Brodjo mulai lebih sering ikut tampil dalam pementasan drama di Yogyakarta.[2] Karier Mien Brodjo di bidang seni peran mulai menunjukan perkembangan pesat saat ia pertama kalinya ikut dalam sebuah film layar lebar. Ia menandai debutnya sebagai aktris film pada tahun 1963 dalam sebuah film garapan sutradara Sunjoto yang berjudul "Tangan Tangan Jang Kotor". Meski hanya mendapat bagian sebagai pemeran pembantu, Mien Brodjo tampil cukup meyakinkan sebagai seorang artis pendatang baru di dunia perfilman Indonesia pada masa itu. Tak membutuhkan waktu lama, hanya berselang 4 tahun kemudian, Mien Brodjo tampil sebagai pemeran utama di film kedunya yang berjudul "Mutiara yang Hilang" pada tahun 1967. Semenjak itu Mien Brodjo terus berkarya membintangi puluhan film dan sejumlah sinetron.[2] Tahun 1988, Mien Brodjo mendapat tawaran untuk tampil dalam sebuah drama sandiwara televisi di TVRI yaitu sinetron "Dokter Sartika" yang kemudian rutin ditayangkan sebagai sebuah serial hingga tahun 1991. Dalam sinetron "Dokter Sartika" itu ia beradu akting dengan aktris lainnya, di antaranya ialah Dewi Yull dan Dwi Yan. Mien Brodjo juga ikut tampil dalam sinetron "Noktah Merah Perkawinan" yang ditayangkan di Indosiar tahun 1996 bersama Cok Simbara, Ayu Azhari, dan Berliana Febrianti.[2] Filmografi
Sinetron
Pranala luar
Referensi
|