Merden, Purwanegara, Banjarnegara
Data Wilayah dan GeografisDesa Merden Diarsipkan 2015-11-05 di Wayback Machine. terletak di wilayah Kecamatan Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara: berbatasan dengan Danaraja Sebelah selatan: berbatasan dengan Kalitengah Diarsipkan 2013-10-30 di Wayback Machine. dan Jalatunda Sebelah Timur: berbatasan dengan Karanganyar dan Mertasari Sebelah barat: berbatasan dengan Somawangi dan Kebakalan Jarak dari ibu kota Kecamatan Purwanegara 4 ( empat ) km. Seacara geografis kondisi wilayahnya merupakan daerah Pertanian dengan luas wilayah 818.950 Ha. Desa memiliki 5 ( lima ) Dusun, 8 ( delapan ) RW, dan 54 ( lima puluh empat ) RT. yang terdiri dari: Dusun / RW: Dusun I / RW I memiliki 8 ( delapan ) RT . Dusun / RW: Dusun II / RW 3 memiliki 6 ( enam ) RT. Dusun / RW: Dusun II / RW 4 memiliki 6 ( enam ) RT. Dusun / RW: Dusun III / RW 5 memiliki 5 ( lima ) RT. Dusun / RW: Dusun III / RW 7 memiliki 7 ( tujuh ) RT. Dusun / RW: Dusun IV / RW 6 memiliki 11 ( sebelas ) RT. Dusun / RW: Dusun V / RW 2 memiliki 5 ( lima ) RT. Dusun / RW: Dusun V / RW 8 memiliki 6 ( enam ) RT. KependudukanData penduduk per Desember 2019 jumlah penduduk total satu desa adalah 11.343 jiwa dengan perincian sebagai berikut: Jumlah Laki-laki: 5.761 orang, Jumlah Perempuan: 5.582 orang, Jumlah KK: 3.551 KK, Jumlah RTM: 817 KK dengan prosentase 23 % Kondisi Sosial EkonomiMata pencaharian penduduk terdiri dari: PNS: 210 orang, Petani Pemilik: 1.500 orang, Petani Buruh: 3.100 orang, Wiraswasta: 250 orang, Lain-lain: 455 orang Sadangkan tingkat pendidikan penduduk adalah sebagai berikut: Tidak tamat SD (sederajat): 14 %, Tamat SLTP (sederajat): 40 %, Tamat SLTA (sederajat): 15 %, Tamat Perguruan Tinggi: 1 % Kelembagaan DesaKelembagaan Desa yang ada hingga saat ini adalah 1. Pemerintahan Desa yang dipimpin oleh Kepala Desa yang dijabat oleh Bapak Sadar 2. Lembaga Perencana Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (LP3M) 3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan lembaga unsur dalam Pemerintaha Desa Potensi DesaSumber Daya AlamPotensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh desa berupa; Tanah sawah: 205 Ha, Tanah pekarangan: 370 Ha, Tanah Tegalan: 212 Ha, Lain-lain: 31 Ha Sarana PrasaranaSarana prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah dan masyarakat Desa adalah: 1. Sarana Pemerintahan: Kantor Desa: 1 buah, Balai Desa: 1 buah, Balai Dusun/RW: - buah. 2. Sarana pendidikan: Taman Kanak-Kanak / Play Group: 6 buah, Sekolah Dasar / MI: 6 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama: 2 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas: - buah, Perguruan Tinggi: - buah, Pondok Pesantren dan sejenisnya: 2 buah, sekolah sepakbola/Diklat Sepakbola: 2 buah (ssb urangjaya, merden football academy). 3. Sarana ekonomi: Pasar: 1 buah/lokasi, Lembaga Keuangan ( Bank, Koperasi dll.): - buah 4. Sarana kesehatan: RS / Puskesmas / Poliklinik /Polindes: 2 buah, Posyandu: 13 buah, Laboraturium Kesehatan: - buah 5. Prasarana Jalan Jalan Aspal: 5 ruas, Jalan Makadam / Telasah / Telford: 5 ruas, Jalan Rabat beton / floor: 25 ruas, Jalan tanah: 50 ruas 6. Sarana ibadah Masjid / mushola: 56 buah, Gereja: - buah, Kuil / Vihara/ Klenteng: 1 buah. Sejarah Merden
Dari ayah, Raden Sutawijaya adalah cucu dari KRAD Cokro Wedono Bupati Banyumas II yang menurunkan Raden Mas Cokro Atmojo dan kawin dengan Raden Ajeng Bojati.Dari Ibu Raden Sutawijaya cucu Paku Buwono yang menurunkan KGPA Mangkubumi dan menurunkan Raden Ajeng Bojati selanjutnya menurunkan Sutawijaya. Raden Sutawijaya dapat istri anak Bupati Pasuruan yang dari kecil ikut kakeknya Panembahan Heru Cokro di Pancamanis Nusakambangan yang termasuk Guru Utama Raden Sutawijaya.Setelah menikah Raden Sutawijaya diberi kekuasaan wilayah Kadipaten Merden yang lama kosong tidak ada pemerintahan kecuali setingkat kelurahan.Raden Sutawijaya mulai membangun Merden dengan perencanaan yang cukup matang dari Tata Kota, ekonomi dan pemerintahan. Dijantung Pemerintahan jalan dibuat 4 (empat) persimpangan, (Ke selatan menuju Gombong, Ke utara menuju Banjarnegara, ke Barat menuju Banyumas, Wirasaba, ke Timur menuju Kademangan Tampomas). Di bidang industri Raden Sutawijaya mengundang ahli pande besi untuk membuka usaha di Merden. Pasar pun dibangun sebagai pusat perdagangan untuk wilayah kademangan Merden dan sekitarnya yang terkenal dengan Pasar Setu. Dan juga mengundang para ahli Bathik dari Banyumas yang sengaja didatangkan oleh ayahandanya RM. Cokro Atmojo dari Banyumas, serta ahli pembuat alat dapur yang dibuat dari tanah liat (kundi) dan kerajinan dari bambu. Sisa-sisa kegiatan tersebut sampai sekarang masih ada. Wilayah kademangan Merden adalah bekas kadipaten, saat itu sebelah barat Purworejo Klampok, sebelah utara dibatasi Sungai Serayu, sebelah selatan dibatasi Pegunungan Kendeng yang memisahkan Banjarnegara dan Kebumen, sebelah timur sampai Gunung Tampomas. Ditengah-tengah wilayahnya terdapat sungai Sapi yang mengalir jernih, ikannya banyak dan sangat disukai para pejabat saat itu. Sungai Sapi dijadikan sebagai mata pencaharian serta kegiatan MCK dll. Sebelah selatan sungai Sapi merupakan daerah pegunungan yang banyak menyimpan sumber daya alam antara lain: Batu Marmer, Feldspaar/Kreas pasir putih, Asbes, Lempung (bahan campuran semen) dll. Sebelah utara Sungai Sapi dibagian tepi merupakan tanah kering, perumahan penduduk. Sebelah utaranya lagi sampai sungai serayu tanah persawahan dan pertanian lainnya. Masyarakatnya hidup damai, semangat gotong-royong dan kebersamaannya sangat tinggi, dengan cara hidup yang sederhana, taat pada aturan pemerintah, agama dan tradisi-tradisi lainnya. Pada saat kademangan mengalami kemajuan dalam pembangunan, pemerintahan, sektor ekonomi dan sosial budaya lainnya, orang-orang luar pun banyak yang datang untuk tinggal sementara karena urusan perdagangan atau sengaja menetap di Merden, sehingga kademangan Merden semakin hari semakin ramai. Ditengah-tengah ketenangan dan kedamaian suasana alam pedesaan dibawah kepemimpinan Demang Sutawijaya tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh informasi bahwa Raden Sutawijaya harus pergi meninggalkan Kademangan Merden untuk magang patih di Keraton Surakarta. Dan sebagai penggantinya ditunjuk Ki Ageng Suta dengan catatan perjanjian kalau Raden Sutawijaya berhasil, kademangan diteruskan oleh Ki Ageng Suta, tetapi kalau gagal dalam magang patih tersebut maka jabatan Kademangan dipegang kembali oleh Raden Sutawijaya. Anak Sutawijaya Anak Raden Sutawijaya adalah: 1. Dayun Sentradrana: di Banjar 2. Mentradana: Merden 3. Jiwa Yuda: Merden 4. Nyai Jiwa Menggala: Gumelem 5. Nyai Angga Menggala: Gumelem 6. Wira Seca: Batur Anak yang pertama Dayun Senradrana dipondokan di Kudus Jawa Timur, anak yang ketiga R. Jiwayuda dibawa kakeknya Panembahan Heru Cokro ke Panca Manis di Nusakambangan untuk digembleng secara pribadi oleh sang panembahan. Adik-adiknya yang lain menemani ibunya tetap di Merden. Akal Bulus (Konspirasi) Singkat cerita Raden Sutawijaya tidak berhasil dalam magang patih di Keraton Surakarta, bahkan informasi kekosongan patih dalem di keraton tidak jelas seolah-olah ada skenario besar yang disiapkan oleh Ki Ageng Suta untuk menjebak Raden Sutawijaya agar pergi meninggalkan Kademangan Merden, ini merupakan kudeta terselubung saat itu. Akhirnya Raden Sutawijaya pulang dengan mengendarai Kuda Dawuk yang gagah, kuda yang memiliki katuranggan hasil pemberian kakek gurunya Panembahan Heru Cokro yang juga merupakan kakek dari istrinya. Dalam perjalanan pulang dari Surakarta Raden Sutawijaya tidak langsung ke Merden tetapi terus mengembara sebagai layaknya seorang pendekar sambil mematangkan ilmunya yang dipelajari dari guru-gurunya yang terkenal sakti mahamboro. Kegagalan cita-citanya jadi pengalaman yang sangat berharga untuk direnungkan bagi dirinya bahwa hidup ini penuh dengan tipu daya dan selalu dalam kerugian kecuali orang-orang yang waspada dan selalu memasrahkan kehidupannya pada sang pencipta. Diapun terus berpikir dan banyak merenung dalam kesunyian, ia sangat merasa bahwa ilmu yang dipelajarinya selama ini belum seberapa untuk mencapai kesempurnaan hidup. Maka ketika dalam perjalanan pulang disempatkannya mampir ke pesanggrahan Eyang Krikil (anak dari Panembahan Heru Cokro), seorang yang gemar bertapa/uzlah sehingga memiliki kepekaan batin yang luar biasa. Dia seorang sufi yang tidak mementingkan kehidupan dunia. Melalui Eyang Krikil Raden Sutawijaya banyak belajar hakikat kehidupan dan ilmu Sufisme. Tapi jiwa muda dan watak pendekarnya tidak mudah membuat Raden Sutawijaya menjadi seorang Sufi, dia menerjemahkan kehidupan ini bagaikan ladang, siapa yang bercocok di dunia akan menuai di akherat, baik ketemu baik dan jelek ketemu jelek. Maka kehidupan ini harus diisi dengan usaha keras yang baik, berkorban dan beramal semata mencari ridho Allah. Inilah Doktrin yang ditanamkan oleh kakek gurunya yang terpatri dalam hati dan pikirannya. Memasuki wilayah kademangan Merden Raden Sutawijaya banyak mengalami kejadian-kejadian yang aneh dan tidak masuk akal. Mulai dari diserang orang tak dikenal, diracun saat berhenti di warung pinggir Alas Gunung Kemeyan sampai dengan dihadang puluhan orang bersenjatakan golok, tetapi semua bisa diatasi dengan mudah bahkan sempat ada korban dipihak musuh. Suasana masyarakat dan keamanan juga berubah, wajah mereka terlihat penuh dengan ketegangan yang mencekam. Penjagaan keamanan sangat berlebihan dengan terlihat banyaknya pos penjagaan yang ada di setiap sudut dan pintu masuk perkampungan. Setiap orang asing yang datang selalu ada tengara berbunyi kenthong. Sesampainya dirumah Raden Sutawijaya disambut oleh istri tercintanya, anak, pembantu dan tangga teparo (sekeliling). Angga Menggala orang kepercayaan Raden Sutawijaya ikut menyambut kedatangannya dengan langsung memegang tali kuda dan diikatkan dipohon/Sawo Kecik yang ada di depan rumahnya. Setelah menjelang tengah malam suasana di Kademangan Merden sangat sepi, orang-orang yang baru menengok kepulangan Raden Sutawijaya sudah pulang, tinggal Angga Menggala seorang pemuda yang gagah yang sangat setia mengabdi pada keluarga R. Sutawijaya selalu menjaga keamanan di kademangan, saat itu belum tidur sedang duduk didepan pendopo kademangan, sambil mengamat-amati Kuda Dawuk yang ditambatkan dipohon sawo. Ditengah kesunyian malam, Nyai Sutawijaya duduk mendekati suaminya yang sedang duduk termenung dikursi panjang, yang dianyam dengan rotan yang ditaruh di bale tengah rumah belakang. Diatasnya lampu kastrol yang menyala terang tetapi sejuk. Dengan kehalusan budi dan bahasa, Nyai Sutawijaya menyampaikan hal ikhwal yang terjadi selama suaminya pergi meninggalkan kademangan. Dengan sangat hati-hati, istrinya juga memohon pada suaminya untuk bersabar dan tawakal pada gusti Allah.
Setelah Raden Sutawijaya cukup istirahatnya, dengan hati – hati istri tercintanya menyampaikan situasi dan kondisi kademangan setelah ditinggalkanya. Menurut informasi bahwa kepergian Raden Sutawijaya ada sebuah rekayasa dan Ki Suta juga telah membangun kekuatan dengan mengumpulkan jawara-jawara dan pemuda-pemuda kampung untuk dijadikan muridnya.Padepokan diubah persis seperti keraton. Bahkan kabar dari mulut ke mulut Ki Suta tidak akan mengembalikan mandatnya sebagai Demang sementara. Mendengar kabar berita itu Darah pendekarnya pun bergelora ingin segera bertemu dengan Ki Suta tetapi buru-buru istrinya mencegah dengan mengatakan pesan kakeknya Panembahan Heru Cokro yang juga guru utamanya Raden Sutawijaya. “Apa pesan kakek Panembahan?” Kata Raden Sutawijaya. “Dia berpesan: anaknya Dayun Setradana dan Jiwa Yuda dibawa kakek, kang mas diminta anarimo, Kang mas supaya ingat akan pepatah Surodiro jayadiningrat lebur deening pangastuti, Kang Mas disuruh menemui kakek panembahan” Kata-kata yang lembut, santun dan penuh keibuan keluar dari seorang istri yang cantik yang sangat dicintainya serasa memadamkan api yang membara karena tersiram air. “Terima kasih Nimas, Nini telah mengingatkan aku dari kemarahan, Insya Allah kakang akan berpikir positif dan mengambil hikmah dari kejadian ini. Tapi Nimas! Sebagai jejering satria kakang akan menemui Ki Suta, kakang akan bicara baik-baik padanya”. Situasi yang tegang tiba-tiba jadi luluh penuh keharuan. Dengan memeluk suami tercintanya Nyai Sutawijaya berkata lirih dengan linangan air mata: “Kang mas! Dalem selalu setia mendampingi kang mas, apapun situasi dan kondisinya”. Kata-kata yang bijak terus keluar dari seorang anak Bupati dan cucu seorang ulama yang lebih dikenal sebagai Panembahan Heru Cokro yang kini rela hidup di desa yang jauh dari keramaian kota, hanya untuk mengikuti suami tercintanya Raden Sutawijaya. Mendengar tutur kata yang diucapkan istrinya dekapannya pun semakin kencang tanpa disadari air matanya menetes mengenai punggung istrinya. Nyai Sutawijaya melepaskan diri dari deekapan suaminya dan memandangi wajah suaminya yang gagah perkasa. “Kang mas apa menangis? Seru istrinya. “Aku menangis karena sangat terharu padamu, kau begitu baik, sabar dan setia, kakek tidak sia-sia mendidikmu sejak kecil”. Sambil didekapnya lagi istrinya dengan penuh keharuan. Pada hari berikutnya Raden Sutawijaya menemui Ki Suta. Pada saat itu sedang ada paseban, banyak orang asing yang datang yang tidak dikenal oleh Raden Sutawijaya dengan wajah-wajah seram dan tidak bersahabat. Raden Sutawijaya masuk ke pendopo tanpa ada rasa takut sedikitpun sekalipun dalam pikirannya terheran-heran, baru ditinggal kurang lebih satu tahun Ki Suta mampu membangun padepokan begitu megah persis seperti Keraton Surakarta. Kayu yang digunakan dari kayu nangka yang diambil dari Gunung Gemulung yang terkenal sangat wingit, atapnya dari Sirap yang jarang orang menggunakannya, lantainya dari batu alam yang diambil dari Cikalong. Kedatangan Raden Sutawijaya tampaknya sudah diketahui oleh padepokan sehingga segala sesuatu sudah disiapkan dengan matang karena yang dihadapi adalah bukan orang sembarangan, turun Bupati Banyumas dan menantu Bupati Pasuruhan serta murid dari Panembahan Heru Cokro. Sehingga pada saat kedatangannya dari suasana gaduh berubah menjadi terdiam semua tak ada yang berani memandang/menatap mukanya sedikitpun baik yang di luar maupun di dalam paseban. Suasana menjadi tegang namun dengan gagah berani Raden Sutawijaya menemui Ki Suta yang saat itu sedang dikelilingi oleh ratusan anak buah dan murid-murid padepokan. Ki Suta jengkar dari tempat duduknya yang seperti singgasana. “Selamat Datang Raden! Kapan Raden pulang? Kok tidak mengutus abdi dalem saja mengundang kami untuk menghadap?” kata Ki Suta penuh basa-basi. Dan dengan salah tingkah Ki Suta mempersilahkan Raden Sutawijaya yang baru datang untuk duduk. “Sudahlah Ki Suta aki tidak usah basa-basi dengan saya. Saya sudah tahu apa yang terjadi saat saya pergi dan saya mengerti maksud Ki Suta selama ini. Saya menerima dan menghormati pendapat Ki Suta karena Ki Suta orang yang saya tuakan dan saya jadikan contoh juga panutan dalam mengatur dan membangun kademangan, tetapi kenapa Ki Suta justru berkhianat?” Mendengar kata-kata Raden Sutawijaya yang pedas dan keras Ki Suta pun terperanjat! Namun belum sempat menjawabnya Raden Sutawijaya sudah meneruskan kembali ucapannya, “ Bukankah orang-orang Ki Suta yang menghadang dan menyerang saya di setiap perbatasan, tetapi sayang mereka bukan prajurit sejati sehingga mudah buka mulut.” Mendengar hardikan Raden Sutawijaya yang keras seolah-olah tahu segalanya yang terjadi, Ki Suta pun tak bisa mengelak dari kenyataan. Dan apa yang diucapkan Raden Sutawijaya juga memang benar adanya. Nasi sudah menjadi bubur ibarat orang menyeberang sungai sudah sampai di tengah. Sedang Ki Suta bukanlah orang sembarangan, disamping memiliki kesaktian yang luar biasa juga ahli strategi. Jadi apa yang dilakukan pasti sudah melalui perhitungan yang matang. Termasuk kemarahan Raden Sutawijaya, sampai perang melawan pihak manapun sudah diperhitungkan. Maka saat kemarahan Raden Sutawijaya sudah sampai puncaknya Ki Suta beranjak dari tempat duduknya yang tidak jauh dari Raden Sutawijaya. “Sekarang Raden maunya apa?! Setelah tahu segala yang terjadi, apa Raden akan memimpin kembali di kademangan? Coba tanyakan kepada masyarakat yang hadir disini dari berbagai tempat”. Ki Suta pun menghadap pada peserta paseban yang sudah dipersiapkan “ Hai kamu jangan diam, saya tanya kalian jawab!, apa kalian suka dan senag bila kademangan dipegang saya? Hadirin yang sudah dipersiapkan menjawab dengan serempak “Senaaang” “Bagaimana kalau kademangan dipegang kembali oleh Raden Sutawijaya? Apakah kalian setuju? Tak seorangpun berani menjawab setuju. “Raden.. kamu dengar kan bagaimana suara rakyat? Saya akan pasrah dengan keputusan rakyat, dan akan saya bela rakyatku dengan pecahing dada luntahing ludiro, sedumuk bathuk senyari bumi sekalipun dada sampai hancur darah terkucur akan kulalui” Mendengar diplomasi yang dilakukan dan kesombongan yang diucapkan oleh Ki Suta, Raden Sutawijaya terpancing emosinya sampai berdiri menatap tajam Ki Suta tetapi tiba-tiba teringat pesan kakak Panembahan Heru Cokro bahwa dalam menghadapi persoalan ini harus mengalah, bersabar jangan sampai emosional. “O begitu ya! Ingat Ki Suta bagi saya soal kekuasaan bukan sesuatu yang harus di minta tetapi sesuatu yang harus dijaga karena ini adalah amanah yang harus dijaga dan dilakukan sebaik-baiknya. Saya rela melepas hak saya kalau ini memang pilihan terbaik bagi rakyatku!, tetapi kalau semua ini sebuah rekayasa yang kamu buat maka kamu adalah seorang Suta yang hatinya ALA, dan ingat setiap keturunanmu selalu ada yang tidak waras!!! Konon sumpah serapah Raden Sutawijaya jadi kenyataan, setelah meninggal Ki Suta disebut Ki Sutanala dan keturunannya selalu saja ada yang gila. Raden Sutawijaya pun pergi meninggalkan padepokan. Tak satu pun orang yang berani berdiri apalagi menghadang menyerangnya sebagaimana konsep yang dipersiapkan apabila Raden Sutawijaya marah-marah akan dikeroyok rame-rame. Bagi Ki Suta pun hanya duduk tidak berkutik sedikit pun seperti dipaku ditempat duduknya, hanya sumpah serapah Raden Sutawijaya yang terngiang diudara. Setelah tersadar barulah dia tahu kalau Raden Sutawijaya sudah tidak ada ditempat. Badannya pun jadi lemas seperti tidak berdaya apa-apa. “Kekuatan apakah yang digunakan sampai aku tidak punya kekuatan untuk melawan?” gumamnya. Paseban pun disuruhnya untuk dibubarkan.
Setelah kejadian di paseban tersebut, Raden Sutawijaya pergi meninggalkan Kademangan Merden untuk menghadap kakek gurunya, Panembahan Heru Cokro dan juga sambil menengok anaknya yang ada disana yakni Dayun Setradana dan Jiwa Yuda. Raden Sutawijaya akhirnya menetap mengabdi sebagai prajurit dan meninggal di Laweyan Solo. Setelah Raden Sutawijaya meninggalkan kademangan Merden Ki Suta semakin bebas merencanakan niat besarnya karena sudah tidak ada kendalanya. Padepokan pun disulapnya menjadi sebuah istana kecil yang mirip dengan keraton di Surakarta. Pendopo Agung pun dibuat dengan halaman depan yang luas, di belakang pendopo rumah Ki Suta. Disamping kanan kiri ada yang digunakan untuk cantrik yang ngalap ilmu kanuragan pada Ki Suta. Sekalipun tidak ada masjid disampingnyaakan tetapi masyarakat menyebutnya sebagai keraton kembar. Kabar ini terdengar sampai di Keraton, Raja pun memerintahkan telik sandi (mata-mata) untuk menyelidiki berita yang beredar.
Diutuslah seorang prajurit wanita sebagai telik sandi yang ditugasi untuk mempelajari situasi dan kondisi di kademangan. Prajurit ini dikenal dengan nama Maskumambang. Sesampainya di Merden. Telik sandi ini pun terpengarah dibuatnya setelah melihat kademangan persis seperti keraton. Telik sandi terus mempelajari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kademangan maupun di luar kademangan, dari masalah sosial, kemasyarakatan, ekonomi, budaya dan politik semua dipelajarinya dengan teliti. Setelah lama menetap dan cukup mendapatkan informasi, telik sandi pun pulang ke keraton untuk menyampaikan hasil penyelidikannya. Dan setelah mendengar informasi dari telik sandi Raja pun marah besar dan berkenan ingin mengecek sendiri Keraton Kembar. Dengan diiringi prajurit dan bala bantuan secukupnya raja pun berangkat ke Kademangan Merden lewat tepi kali Lukulo terus ke utara sampai pegunungan Kendeng turun melewati hutan Glagah sampai di Sungai Sapi kebarat sampai di Merden.
Kedatangan rombongan Raja sudah tercium oleh Ki Suta, maka Ki Suta menyiapkan cara dan strategi untuk menyambut rombongan Raja. Setelah Raja sampai di Merden, raja langsung minta di antar ke Lokasi Kademangan yang ada Keraton Kembar. Namun sesampainya di lokasi apa yang dilihat Raja hanya sebuah gubug yang terbuat dari alang-alang yang dijaga oleh kakek tua renta yang sedang duduk di risban yang sudah rusaklagi kumuh. Melihat kenyataan ini Raja pun duka dan memanggil telik sandi yang menginformasikannya. “Hai! Kamu telah bertindak ceroboh, memalukan! ingsun (saya) paring ukuman marang siro, siro ingsun pecat nangkene, ora kena bali maring keraton” (saya kasih hukuman pada kamu, kamu saya pecat dan kamu harus menetap disini dan tidak boleh pulang ke keraton). Keputusan Raja pun diterima dengan suka duka, “ untung tidak dibunuh, sungguh heran dan tidak masuk akal kenapa Keraton kembar bisa berubah jadi gubug alang-alang? Hebat benar Ki Suta” gumamnya. Raja pun pergi meninggalkan Kademangan Merden, telik sandi pun akhirnya menetap di Merden.
Telik sandi yang bernama Maskumambang dengan nama samaran Sarintem adalah seorang wanita prajurit dengan potongan tubuh laki-laki dan rambut pendek dengan langkah layaknya seorang pendekar trampil lincah dan trengginas. Setelah lama di Merden rambutnya dibiarkan tumbuh memanjang sehingga orang baru paham kalau Maskumambang itu seorang wanita yang cukup cantik.Karena pengalaman dalam pergaulan ia pun cepat dikenal dan beradaptasi dengan lingkungan. Maka banyaklah orang yang menyukai dan ingin memperistrinya. Adapun pilihan hatinya adalah anak Lurah Karang Plak. Singkat cerita Maskumambang dilamar oleh Lurah Karang Plak. Setelah acara lamaran selesai Maskumambang berkenan mengirim panggang ayam pada mertuanya. Dengan memasak sendiri Maskumambang mempersiapkannya untuk mertua barunya. Dengan bangga ia menyerahkan panggang ayam masakannya sendiri, dan langsung diterima oleh mertuanya dan langsung diminta dimakan bersama. Setelah semua siap memakan, mertuanya yang Lurah Karang Plak mengambil dulu dan langsung dimakannya. Namun apa yang terjadi? Panggang yang dimakan mertuanya itu berdarah, dan melihat hal tersebut mertuanya pun marah-marah dan langsung memaki-maki pada Maskumambang, “Perempuan itu tidak hanya bisa manak dan macak saja tetapi harus bisa masak!” Mendengar kata-kata yang keluar dari mertuanya itu Maskumambang merasa sedih dan pedih, ia merasa disini tidak mempunyai sanak famili. Perasaan sedih itu tak mampu dikuasainya dan ia pun pergi meninggalkan rumah mertuanya tanpa ada yang mampu mencegah dan mengikuti langkahnya yang cepat bagai kilat. Ia pergi tanpa meninggalkan pesan. Setelah kepergiannya yang tidak bisa diketahui tempatnya, calon suaminya akhirnya meninggal karena keyungyun.Kepergian Maskumambang jadi misteri. Kadang ada orang yang melihat seperti sedang berbaring diatas batu (Jawa = Semampir) maka dukuh tersebut terkenal dengan nama Dukuh Semampir. Setelah sekian tahun tidak terlihat kabar beritanya, tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh suara yang keluar dari Pohon Randu Alas yang sangat besar yang akan ditebang. Suara itu keluar dari lubang pohon “Sing ngati-ati aku nang njero” (yang hati-hati saya ada di dalam). Setelah kayu roboh & dibuka secara hati-hati ternyata di dalam adalah Maskumambang yang punya nama Sarintem calon menantu Lurah Karang Plak yang pergi tak pernah diketahui tempatnya. Kondisi Ni Sarintem sudah begitu kurus dan lemah tak berdaya. Kemudian Ni Sarintem dibawa ke rumah penduduk, namun tak lama kemudian dia meninggal dunia. Sebelum meninggal dia berpesan untuk dimakamkan ditempat ia bertapa. Keanehan makamnya yang berada dipinggir sungai adalah meskipun sungai banjir besar makamnya selalu aman dari genangan air sekalipun sekitarnya sudah tergenang. Makam tersebut sampai sekarang terkenal dengan nama Maskumambang.
Siapakah Sutanala tidak banyak orang yang tahu secara pasti. Konon dia seorang Nujum dari Keraton yang melarikan diri sampai di Merden dan mengawini anak lurah Denok dari wilayah Merden. Karena kemampuannya dalam ilmu kanuragan dan pengetahuan lainnya menjadikan dia disegani dan ditakuti orang. Apalagi setelah mampu mengelabuhi raja Mataran sampai tidak terjadi peperangan. Semua itu karena kemampuan strategi perang dan olah kanuragan yang sudah matang.Semakin hari muridnya semakin banyak yang datang untuk menimba ilmu dari Ki Suta dan tidak sedikit orang yang datang ingin menguji kesaktiannya.
Suatu hari ada seorang yang datang dari arah Tegal yang penasaran ingin mencoba kesaktian Ki Suta. Kedatangannya diketahui oleh Ki Ageng Suta, maka diutuslah muridnya untuk menjemput di perbatasan. Di tepi sungai (kali) tamu yang baru datang itu ditemuinya, ditanyakan maksud dan tujuannya. Setelah tahu kalau kedatangannya ingin menguji kesaktian gurunya maka ia pun ingin mengujinya sebelum ketemu gurunya. “Hai Kisanak! Kalau kau ingin menguji guruku lawan dulu aku! Kalau kau bisa mengalahkan aku baru kau bisa menemui guruku Ki Ageng Suta”. Mendengar tantangan dari muridnya tamu pun melayaninya, konon baru berjabatan tangan saja tamu tersebut sudah lemas tidak berdaya (Deprok). Sebagai pengingat dukuh ini dinamakan Kali Depok.
Dihari siang bolong Ki Ageng Suta sedang duduk santai diatas risban model Banjaran. Tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan muridnya yang lari terengah-engah ketakutan. Setelah duduk agak tenang muridnya menceritakan hal ikhwal yang dialaminya, kalau dia sedang dikejar-kejar oleh Mbah Majir sak balanya. Oleh Ki Suta muridnya itupun disuruh pergi bersembunyi dan Ki Ageng Suta yang akan menghadapinya. Tak lama kemudian rombongan Mbah Majir dari lereng Gunug Igir Cempaka lewat depan pendopo padepokan. Ki Ageng Suta menyapanya, “Ada apa kang siang-siang begini kok rame-rame kaya mau nyerang?” kata Ki Ageng Suta dengan santai tetapi menusuk dihati. Mbah Majir menjawab “ Tidak ada apa-apa, hanya sedang mencari buruan yang kalau tidak salah tadi lewat sini” kata mbah Majir dengan basa-basi. “Ya sudah sekarang mampir istirahat dulu, nini sedang masak nasi jagung nanti lauknya cari di kali”. Ajakan Ki Ageng Suta diterima Mbah Majir dengan begitu saja tanpa ada yang menolak. Semua rombongan mampir di padepokan, sebagian ada yang tiduran, ada pula yang ikut rame-rame mencari ikan di Kali Sapi. Waktu sudah siang saatnya untuk makan tetapi yang mencari ikan belum juga pulang padahal nasi sudah masak. Ki Ageng Suta pun menyuruh para pencari ikan untuk pulang saja dan sesampainya dirumah mereka mengatakan “ Ora olih iwak olihe kesel thok!” (tidak dapat ikan, dapatnya cuma capek)” Ki Ageng Suta tersenyum kecut “Oalah..Golet iwak bae ora teyeng jare? (cari ikan saja tidak bisa?) kok mau berburu, sini kuwunya “. Alat yang biasa buat nangkap ikan itupun diminta lalu diletakkan dibawah risban yang didudukinya. “Tunggu sebentar yang masih lelah istirahat dulu”. Ki Ageng Suta belum selesai bicara Nyai Suta keluar dari dalam rumah sambil teriak menanyakan ikan yang akan digoreng “Endi iwake selek garep digoreng” (mana ikannya segera akan dimasak). Ki Ageng Suta akhirnya menyuruh pengikut Mbah Majir yang duduk berdekatan untuk mengambil kuwu yang ada dibawah tempat duduknya. Kuwu pun diangkat dan “Hah!! Ikan masih segar Ki Ageng apa ini benar ikan?” anak buah Mbah Majir semua ingin melihat “Benar! Ikan! Ini ikan beneran!” Suasana pun jadi rame penuh keheranan termasuk Mbah Majir yang dari tadi diam sambil nglinting rokok. Ki Ageng Sutaberdiri untuk menenagkan suasana. ‘Sudahlah sekarang ikan dicuci di belakang, suruh dimasak Nyai nanti kita makan bersama”. Setelah selesai makan rombongan Mbah Majir pulang, sesampainya dirumah Mbah Majir weling pada pada para pengikutnya “ Ingat malam jumat iki dina kang mirangna aku kabeh! Mula welingku aja pisan-pisan gawe rame-rame nang malaem Jumat nanging pada nggo merek maring sing gawe urip. (Ingat malam Jumat ini hari yang membuatku malu dan juga kita semua, maka pesanku jangan sekali-kali membuat acara rame-rame pada malam Jumat tetapi untuk mendkatkan diri pada sang pencipta)”. Pesan Mbah Majir ini akhirnya menjadi pantangan bagi masyarakat Kecamatan Purwanegara bagian selatan untuk tidak membuat acara pada malam dan hari Jumat kecuali acara pengajian.
Kejadian yang terjadi di Merden ternyata beritanya sampai di keraton. Raja pun memerintahkan beberapa utusan khusus untuk menghadapkan Ki Ageng Suta baik hidup maupun mati. Tapi utusan-utusan itu selalu gagal, seperti R. Wahyu, Adipati Trewela Cakra Kusuma semua kalah dan tunduk menjadi pengikutnya sampai meninggal dan dimakamkan di wilayah Merden. Akhirnya Raja memerintahkan seorang jawara dan pimpinan padepokan dari Tegalyang bernama Kyai Jamaludin. Dia memiliki kesaktian yang luar biasa tidak sembarang senjata mampu menembus tubuhnya. Sekalipun mampu menembus juga tidak mudah membunuhnya. Konon dia punya aji Jebug Thukul sekelas Rawa Rontek atau Panca Sona. Jamaludin orangnya gagah, tinggi besar, hidungnya mancung, kumisnya lebat simbar dada (dadanya penuh dengan rambut), kepalanya ditutupi sorban, konon Kyai Jamaludin merupakan turunan Arab Jawa. Singkat cerita perang pun terjadi, mulai wilayah perbatasan, dari peperangan ke peperangan sampai di kademangan Merden, Kyai Jamaludin selalu unggul. Segala perangkap dan sihir yang dipasang oleh Ki Ageng Suta bisa diatasi oleh Jamaludin. Sehingga korban di pihak Ki Ageng Suta cukup banyak, sampai pasukannya kocar kacir dan mayat pun bergelimpangan. Wilayah ini sampai sekarang dinamai Dukuh Glempang, sedangkan wilayah yang digunakan untuk Nisih (Ngungsi) sekarang dinamakan Dukuh Penisihan. Tempat yang digunakan untuk mengumpulkan pasukan ditengah-tengah penduduk sekarang ketelah Bala Tengah.
Melihat kenyataan dengan kekalahan perang dimana-mana serta kehebatan Ki Jamaludin yang sakti mandraguna Ki Ageng Suta mengajukan gencatan senjata dan berjanji akan membicarakan kemungkinan penyerahan dirinya yang perlu dipersiapkan dengan baik. Mendengar penjelasan dari utusan Ki Ageng Suta, Kyai Jamaludin pun beritikad baik menerima gencatan senjata tersebut.
Pada saat gencatan senjata, ternyata dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Ageng Suta untuk mengatur siasat mengalahkan Kyai Jamaludin. Langkah pertama yang diambil Ki Ageng Suta adalah konsolidasi pasukan yang terdiri dari para jawara dari luar kademangan, murid padepokan, masyarakat kademangan dan sekitarnya. Langkah kedua menyebar telik sandi untuk menyusup. Langkah ketiga mengempur dengan strategi cupit urang. Telik sandi yang khusus mendekati dan merayu Jamaludin adalah anak angkatnya seorang reog/tayub yang saat itu sangat terkenal karena kecantikan dan kepandaiannya menari diatas panggung serta kekuatan magisnya untuk menghipnosis masa penonton. Ronggeng ini ditugasi khusus menghibur dan menggoda Jamaludin dan pasukannya karena menurut berita Jamaludin suka pada tayub. Aksi pun dimulai dengan tanggapan keliling dari rumah ke rumah sampai ke pasukan Jamaludin mendirikan perkemahan.
Karena desakan anak buahnya Jamaludin berkenan mengundang ronggeng tersebut untuk menghibur pasukannya. Pada saat hiburan dimulai orang pun mulai terkesima dengan penampilan ronggeng yang cantik lincah dan suaranya sangat merdu, minuman yang sudah di campur dengan ramu-ramuan yang memabukan sudah dipersiapkan oleh telik sandi untuk dihidangkan tanpa ada kendala semua bisa berjalan dengan lancar. Makin malam makin rame makin mabuk, semua pasukan termasuk juga Jamaludin yang sudah terkena minuman yang memabukan. Pada saat kondisi sedang lengah karena sedang mabuk berat secara serentak pasukan Ki Ageng Suta menyerang pasukan Jamaludin. Semuanya habis terbantai tinggal Kyai Jamaludin yang masih bertahan hidup sekalipun dalam kondisi mabuk dia masih mempu membunuh puluhan pasukan musuh yang mendekat mengepung Jamaludin. Tombak, panah, pedang segala senjata yang dibawa dihantamkan kepadnya tetapi tak satu pun yang mampu membunuhnya.
Dalam kondisi tidak sadar ia berteriak-teriak “Saya mau mati asal bersama ronggeng”. Dengan serentak tanpa dikomando Ronggeng pun dibunuh bersama-sama, karena begitu kalapnya ingin membunuh Jamaludin, Ronggeng jadi sasaran kesadisan sampai mati terpotong-potong. Melihat Ronggeng telah mati di depan mata, Jamaludin mengikhlaskan untuk mati bersama Ronggeng tersebut dengan memberitahu pengapesannya. Kematian ronggeng yang terpotong-potong masih membuat rebutan dalam pemakaman. Yang akhirnya mereka mengubur potongan jasad di daerahnya masing-masing sesuai yang didapat. Ada yang membawa tangan, kaki, perut dan kepala, sehingga sampai sekarang kuburan ronggeng (Setana Ronggeng) ada dimana-mana di desa-desa sekitar Merden.
Perang besarpun telah usai dengan kemenangan pada pihak Ki Ageng Suta dengan menggunakan strategi dan siasat yang jitu. Kekuatan dan kekuasaan Ki Ageng Suta pun semakin kokoh tak tergoyahkan sehingga sering berbuat yang arogan. Para pendukungnya yang merasa berjasa dan mendapat perlindungan dari Ki Ageng Suta mereka sering menampakan kesombongan seolah-olah tidak ada kekuatan yang akan berani mengusiknya.
Tapi hukum Tuhan bicara lain, bahwa kekuatan manusia ada batasnya dan sangat terbatas. Diatas langit masih ada langit. Disaat keadilan dan kebenaran telah dicampakan kedholiman telah melanda dimana-mana munculah seorang pemuda yang selalu tampil membela rakyat kecil. Pemuda itu adalah Raden Jiwa Yuda anak ketiga dari Raden Suta Wijaya yang dibawa kakeknya Panembahan Heru Cokro dari Pancamanis Daerah Nusakambangan. Dengan kepandaian dalam ilmu bela diri dan olah kanuragan serta keberanian membela yang benar dan selalu berpihak pada rakyat kecil dan yang lemah dalam waktu singkat R. Jiwa Yuda jadi sangat terkenal dan merakyat. Keberadaanya di Kademangan Merden yang belum begitu lama sudah sangat diperhitungkan bahkan ditakuti dan disegani oleh orang-orang Ki Ageng Suta. Ketakutan itu bukan karena nama besar ayahnya R. Sutawijaya tetapi memang karena kelebihan yang dimilikinya. Beberapa kali orang Ki Ageng Suta mencoba kemampuannya tetapi semua bisa dikalahkan dengan mudah. Melihat kenyataan ini Ki Ageng Suta bertindak sangat hati-hati untuk mengambil sikap, apalagi dia semakin tua, masyarakat banyak sekali yang berpihak kepada R. Jiwayuda yang sebenarnya memang ahli waris kademangan Merden. Diukur dari ilmu kanuragan dan bela dirinya, Ki Ageng Suta mengakui kehebatannya dan juga senjata yang dimilikinya yakni Pedang Siwarak dan Tombak Sibuntal. Melihat kemampuan dan kehebatan Raden Jiwa Yuda maka Ki Ageng Suta mengutus orang kepercayaannya untuk menemui Raden Jiwa Yuda guna menyampaikan bahwa Ki Ageng Suta akan segera menyerahkan kekuasaan kademangan kepada Raden Jiwa Yuda dengan satu syarat Ki Ageng Suta dan keluarganya tidak diganggu dan diusik dengan masalah yang sudah terjadi. Raden Jiwa Yuda menyanggupi selama ia mau bertobat dan tidak mengulangi perbuataan dholimnya. Ikrar pun telah disepakati bersama. Mulai saat itu Raden Jiwa Yuda memangku jabatan Demang Merden dan tidak lama kemudian Ki Ageng Suta meninggal dunia. Tak lama kemudian Perang Diponegoro berkobar Raden Jiwa Yuda pergi meninggalkan kademangan untuk memnuhi seruan jihad melawan penjajah Belanda.
Gemek merupakan burung piaraan yang paling populer di tlatah Banyumas. Hampir setiap rumah memiliki burung Gemek (puyuh) ini, karena jenis burung yang palingmudah dipelihara dan manfaatnya cukup banyak. Kalau yang betina bisa bertelor setiap hari dan yang jantan disamping untuk cekekeran dengan suaranya yang nyaring seperti ayam alas, juga sering dimanfaatkan untuk aduan. Yang paling rame orang pelihara gemek saat itu untuk diadu, dari rakyat biasa sampai Bupati semua senang melihat atau mengadu gemek. Saat itu gemek yang paling terkenal dan tak terkalahkan adalah Gemek Watu Gilig dari tlatah Kademangan Merden. Gemek Watu Gilig secara fisik memiliki bentuk yang sempurna atau memiliki katuranggan yang sangat baik seperti: 1. Kulitnya putih dengan ekor agak ngawet. 2. Kepalanya besar dan bulunya lebat. 3. Lehernya agak lemas dengan peregangan kerap (Kalung Tepung). 4. Cucuknya agak bujel. 5. Matanya bulat dan rata. 6. Pupunya mukang gasir (seperti kaki jangkrik hutan) dengan garis yang garing. Ciri-ciri Gemek Watugilig yang sering keluar: 1. Ules (bentuk bulu) lurik semu klawu (blirik agak ungu) ciri seperti ini orang mengatakan Rayung. 2. Kadang keluar dengan bulu wido hijau agak ungu, orang menyebutnya Jemethi. Sayangnya Gemek Watu Gilig tidak setiap saat keluar dan setiap orang bisa mendapatkannya. Konon Gemek ini peliharaan R. Sutawijaya dari pemberian kakek gurunya Panembahan Heru Cokro dari Panca manis Nusakambangan. Burung ini sengaja dilepas bebas dialas Watu Gilig dari arah kademangan sebelah utara kurang lebih satu kilometer. Watu Gilig saat itu merupakan padang ilalang ditengah-tengahnya mengalir sungai Karang Lo. Ditengah-tengah padang ilalang ada gundukan batu hitam yang rata kurang lebih 1,5 meter. Orang menyebutnya batu sembahyangan karena dulu di pakai R. Sutawijaya (Demang Merden) untuk melakukan ibadah sholat terutama kalau sedang menyendiri. Jarang ada orang yang berani ke daerah situ karena takut kesambet, setannya galak-galak (jahat). Di batu sembahyangan ini Gemek Watu Gilig sering terlihat bertengger di atas batu. Kehebatan Gemek Watu Gilig sudah tidak asing lagi dan selalu menjadi incaran para penggemar burung Gemek kabar ini pun jadi perhatian khusus Bupati Banyumas saat itu. Sampai akhirnya mengutus orang untuk memesan Gemek Watu Gilig. Setelah mengetahui maksud kedatangan utusan Bupati untuk memesan Gemek Watu Gilig, Ki Demang merasa berat hati karena Gemek Watu Gilig baru saja diberikan pada sahabatnya seorang Cina yang baru saja masuk Islam. Keberatan hatinya pun disampaikan pada utusan Bupati tersebut. Tapi sang duta memaksa untuk dicarikan yang lainnya saja karena kalau gagal ia akan kena marah Bupati. Namun Ki Demang tetap tidak mau berbohong pada siapapun apalagi pada Bupati. Utusan Bupati pun pulang dengan tangan hampa karena tidak bisa mendapatkan Gemek Watu Gilig. Untuk menutupi kekecewaan itu utusan mencari gemek pada penduduk yang kebetulan beternak gemek yang terbaik. Sesampainya di kabupaten, gemek ditaruh di kandang yang telah dipersiapkan. Begitu dimasukan ke kandang dan langsung berbunyi cekeker-cekeker dan sebentar-sebentar bunyi. Bupati pun senang melihatnya karena sehat, lincah dan jinak. Pada bulan berikutnya pertarungan gemek dimulai di alun-alun dengan peserta cukup banyak. Orang-orang banyak yang bertaruh kalau gemek sang Bupati akan menang karena baru didapatkan dari Kademangan Merden. Setelah sampai akhir ternyata gemek yang tak terkalahkan adalah milih Babah Asan seorang Cina dari Cirebon, Bupati merasa wirang (malu) karena gemek andalannya terkalahkan. Babah Asan sebagai pemenang diberi kehormatan untuk mampir di kabupaten. Sambil duduk dan ngobrol santai bupati memancing Abah Asan untuk menceritakan soal gemek miliknya dan asal muasalnya. Abah Asan pun cerita apa adanya. Mendengar cerita yang dibeberkan oleh Abah Asan, Bupati marah besar dan merasa tersinggung karena sudah dibohongi oleh Demang Merden. Pada hari berikutnya Bupati mengadakan paseban dan mengundang Demang Merden. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalannya bupati langsung memarahinya dengan mencaci maki, Demang Merden hanya terdiam sambil menahan emosinya. Dan akhirnya bupati menjatuhkan hukuman dengan pemberhentian dengan tidak hormat pada Citra Drana dari jabatan Ddemang Merden. Dan pemerintahan dinyatakan demisioner. Citra Drana pulang dengan hati yang massgul bukan karena jabatannya diambil tetapi tidak diberi kesempatan padanya untuk menjelaskan persoalan tersebut. Dari beberapa sumber menjelaskan kenapa bupati begitu marah terhadap Demang Merden antara lain: 1. Keluarga Kademangan Merden banyak yang mendukung pada pangeran-pangeran yang melakukan perlawanan pada penjajah seperti Demang Jiwa Yuda, KH. Musa keponakan Jiwa Yuda dll. 2. Sering mengkritik kebijakan Bupati yang terlalu dekat dengan Belanda. Jadi masalah Gemek bukan persoalan pokok yang menjadikan kademangan dibekukan tetapi ada kepentingan politik dibalik persoalan Gemek. Pranala luar |