Meraih Mimpi
Meraih Mimpi adalah film animasi 3-D musikal pertama dari studio animasi di Indonesia dan merupakan versi lokalisasi Indonesia dari film versi bahasa Inggrisnya, Sing to the Dawn yang pertama kali dirilis tahun 2008 di Singapura. Film Meraih Mimpi dirilis di bioskop-bioskop Indonesia pada 16 September 2009, di mana versi lokal ini dirilis oleh Kalyana Shira Films dengan Nia Dinata sebagai penulis naskahnya. Film versi bahasa Inggrisnya, "Sing to the Dawn" diadaptasi secara lepas berdasarkan novel berjudul sama yang mendapat penghargaan karya penulis kelahiran Myanmar, Minfong Ho, yang pertama kali diterbitkan tahun 1975 dan sangat populer di Singapura. Film tersebut diproduksi oleh Infinite Frameworks (IFW), sebuah studio animasi yang berbasis di Batam, Indonesia, di mana Phil Mitchell bekerja, dengan prakarsa dan dana dari pemerintah Singapura. Film tersebut dirilis tanggal 30 Oktober 2008 di Singapura, kemudian di Korea, Malaysia, dan Rusia. Film ini juga pernah diputar di Busan international Film Festival di Korea Selatan dan American film Market di Santa Monica, AS.[1] Versi film lokalisasi ini diisi dengan suara banyak aktor terkenal dari Indonesia, antara lain Uli Herdinansyah, Surya Saputra, Shanty, Cut Mini Theo, Indra Bekti, Jajang C. Noer, sedangkan dua tokoh utama dalam film ini diisi suaranya oleh penyanyi cilik Indonesia saat itu, yaitu Gita Gutawa dan Patton Otlivio Latupeirissa. SinopsisDana (Gita Gutawa) adalah seorang gadis cilik yang tinggal di sebuah desa kecil di Batam. Dia tinggal bersama adik kecilnya, Rai (Patton Latupeirissa), ayahnya Somad (Uli Herdinansyah), dan neneknya yang biasa disebut "Oma" (Jajang C. Noer). Desa tempat Dana tinggal tersebut dikuasai oleh Pairot (Surya Saputra), seorang pengusaha dan tuan tanah kejam tak berperasaan yang sering tampil menggunakan busana dan wig dengan dandanan ala Elvis Presley. Pairot membebani semua warga desa tersebut dengan pajak tanah yang keterlaluan dan kelewatan tinggi. Dia mengaku bahwa seluruh tanah desa tersebut adalah miliknya, setelah dia mengatakan pada warga desa bahwa dia memiliki surat warisan yang ditulis oleh Raja Ramelan, penguasa desa tersebut dulunya, yang mewariskan tanah desa tersebut pada Pairot. Peduduk desa tidak menyadari bahwa Pairot sedang merencanakan rencana jahat untuk mengusir warga desa dan menghancurkan desa tersebut untuk membangun sebuah kota perhotelan dan kasino ala Las Vegas di atasnya. Setelah mengetahui rencana jahat Pairot, Dana dengan bantuan adiknya terjun ke dalam sebuah perjuangan untuk menyelamatkan desa yang dicintainya. Dengan petunjuk dari Kakek Wiwien (Jose Rizal Manua) seorang lelaki penduduk desa yang tua tetapi gila, Dana juga berusaha untuk menemukan surat warisan Raja Ramelan yang asli. Usahanya tersebut membawa Dana dan adiknya ke dalam sebuah petualangan yang sangat mendebarkan layaknya film pemburu harta karun. Seiring jalan cerita, sebagai seorang perempuan, Dana banyak mengalami kesulitan dan juga kesedihan dalam segala macam hal. Salah satunya adalah bahwa Dana dipaksa oleh ayahnya untuk mengikuti tradisi patriarkis di kampungnya untuk dijodohkan dan dinikahkan, di mana ayahnya ingin menikahkannya dengan si bodoh Ben (Indra Bekti), anak lelaki Pairot. Namun dalam perjuangannya, Dana dan Rai juga dibantu oleh banyak teman yang unik, seperti serombongan binatang hutan lucu yang dapat saling berbicara satu sama lain, di antaranya burung kakatua bernama Kakatu (Cut Mini), gagak bernama Minah (Shanty), Kadal (Ria Irawan), sampai beruang bernama Tante Bear (Tike Priatnakusumah) Perjalanan Dana juga menjadi sangat unik, ketika ia sadar bahwa satu-satunya jalan untuk dapat berjuang melawan ketidakadilan pada dirinya adalah hanya dengan memenangkan kompetisi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di kota besar. Ditemani dengan binatang-binatang hutan dan Rai, Dana tidak hanya berhasil mendapatkan beasiswa, tetapi mereka juga menemukan rahasia tuan tanah akan identitasnya yang sebenarnya. Di penghujung cerita, film Meraih Mimpi adalah sebuah kisah perjuangan hidup seorang anak perempuan dan keluarganya yang mencintai binatang dan lingkungan, dan tak pernah berhenti bermimpi dan berjuang.[2] Pengisi suara
Lagu dalam filmDalam kedua film, baik "Sing to the Dawn" atau "Meraih Mimpi" terdapat lima lagu yang dinyanyikan di tengah-tengah film oleh para tokohnya. Untuk film "Meraih Mimpi", tiga lagu diadaptasi dari versi bahasa Inggrisnya, sedangkan dua lagu ("Duit - Duit" dan "Keluarga Binatang") adalah karya orisinal dari Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Ramondo Gascaro. Kedua lagu ini adalah lagu yang sama sekali berbeda dalam versi rilis bioskop kedua film ini.
ProduksiSebagai film animasi 3-D penuh, "Meraih Mimpi" adalah film kedua yang diproduksi di Indonesia setelah film animasi "Homeland" (2004).[3] Namun film ini kemudian disebut sebagai film animasi 3-D pertama di layar lebar, karena film inilah yang pertama kali ditayangkan secara luas di bioskop-bioskop di Indonesia dan juga internasional, sedangkan "Homeland" adalah proyek film animasi eksperimen dari Studio Animasi Kasatmata. Film "Sing to the Dawn" diproduksi oleh Infinite Frameworks (IFW), sebuah studio animasi yang berpusat di Batam, Indonesia. Phil Mitchell, sutradara film ini yang berkebangsaan Inggris, pada saat produksi film dan rilisnya bekerja sebagai Executive Creative Director di Studio Infinite Frameworks.[1][4] Film versi bahasa Inggris tersebut sudah dirilis pada tanggal 30 Oktober 2008 di Singapura, kemudian di Korea, Malaysia, dan Rusia. Film tersebut juga pernah diputar di Pusan international Film Festival di Korea Selatan dan American film Market di Santa Monica, AS. IFW mengadaptasi film ini dari novel klasik karya Minfong Ho, "Sing to the Dawn", atas permintaan pemerintah Singapura yang menginginkan supaya novel yang merupakan wajib baca di beberapa SD di Singapura tersebut untuk dibuat filmnya. Begitu mendapat tawaran, IFW langsung memulai produksi film "Sing to The Dawn". Film ini sendiri disebut sebagai "film karya anak bangsa" oleh Studio IFW, karena dari 150 animator di studio mereka, hampir semuanya orang Indonesia dan hanya lima orang ekspatriat, dengan jumlah total ekspatriat yang terlibat hanya 10 orang. Banyak animator dari Jogjakarta, Bandung, dan Solo yang juga direkrut dalam produksi film ini.[1][5] Sebaliknya di Singapura, media banyak menulis bahwa film ini adalah film Singapura karena prakarsa dan dana yang dikucurkan dari perusahaan MediaCorp Raintree Pictures dan Media Development Authority milik Singapura.[6] Produksi film ini dilakukan sepenuhnya di Batam selama tiga tahun dan memakan biaya sebesar 5 juta dollar AS. Setelah film versi bahasa Inggrisnya selesai dibuat pada tahun 2008, film "Sing to The Dawn" mulai didistribusikan ke berbagai negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia. "Sing to The Dawn" tidak langsung diluncurkan ke Indonesia karena IFW ingin memperkenalkan film tersebut ke penonton internasional terlebih dahulu.[1][4] "Sing to The Dawn" baru dilokalisasi ke dalam versi Indonesia pada tahun 2009 dengan judul "Meraih Mimpi". Nia Dinata direkrut untuk membantu proses lokalisasi naskah dan skenario film, dan Erwin Gutawa (komposer dan ayah dari Gita Gutawa) diminta langsung untuk mengkomposisi ulang musik yang akan mengiringi film. Selain bahasa, lagu pengiring dalam film itu pun dirombak total untuk ditayangkan di Indonesia. Film "Meraih Mimpi" akhirnya dirilis di bioskop-bioskop Indonesia pada tanggal 16 September 2009 oleh Kalyana Shira Films. Dalam merilis film ini, Kalyana Shira Films selain bekerja sama dengan IFW juga berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan asing dan lokal lainnya seperti Mediacorp Raintree Pictures, Scorpio East Pictures, Indika Pictures, bahkan Media Development Authority dari Singapura. Perbedaan versi Indonesia dengan internasionalPenataan musik dan lagu pengiring film dalam versi lokalisasi Indonesia juga dirombak total oleh juga Erwin Gutawa, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Ramondo Gascaro, di mana mereka memasukkan unsur instrumen yang biasa digunakan dalam orkes melayu, seperti akordeon (bekerjasama dengan Riza Arshad), perkusi dan juga solo biola. [5] Lagu pengiring di mana para tokoh bernyanyi pun versi bahasa Indonesianya harus disesuaikan dengan gerakan bibir dari versi rilis internasionalnya. Perbedaan film dengan novel asliSelain lokalisasi nama para karakter dalam film, setting cerita dalam film "Meraih Mimpi" juga berbeda, di mana Pulau Batam menjadi latar cerita, sedangkan di buku novelnya latar cerita adalah sebuah desa kecil di Thailand. Menurut tanggapan media Jakarta Globe, film "Meraih Mimpi" dengan durasi yang relatif pendek (93 menit) banyak diisi dengan adegan-adegan petualangan yang seru dan tegang, dan juga adanya binatang-binatang yang berbicara akan menarik dan menghibur penontonnya anak-anak dan muda.[4] Namun atas keinginan untuk menjadi sebuah hiburan, film "Meraih Mimpi" dianggap menjadi berbeda dan kehilangan bobot dibanding novel aslinya ("Sing to the Dawn"). Banyak karakter tokoh yang diubah, seperti Pairot yang tidak pernah berdandan seperti Elvis di novel aslinya. Salah satu perbedaan yang mencolok dari novel aslinya adalah di mana binatang-binatang teman Dana (Dawan, nama tokoh aslinya) tidak ada dalam novel, dan cerita pokok dalam novel adalah tentang hubungan Dana dengan keluarganya dan konflik-konflik yang dialaminya sebagai seorang perempuan di desa tradisional Asia Tenggara. Film "Sing to the Dawn" tidak berpusat ke cerita tersebut, tetapi berpusat ke rencana jahat Pairot untuk menggusur desa tempat latar cerita. Perbedaan signifikan yang membedakan film ini dengan novelnya adalah kurang diulasnya konflik yang dialami Dana sebagai perempuan mengenai hak-hak feminis dengan ayahnya, Somad (Somchai) yang menjodohkannya dengan Ben (Bens). Setelah Dana memenangkan beasiswa sedangkan adiknya Rai (Kwai) menjadi juara kedua, Somad, ayah Dana berkata pada Rai bahwa Dana pasti akan memberikan beasiswanya pada Rai, karena Somad tidak percaya bahwa wanita membutuhkan pendidikan. Adegan ini merujuk pada perseteruan yang akan dialami Dana dan Rai, tetapi tidak seperti novelnya, perseteruan yang sangat penting dan menjadi cerita pokok dalam novel aslinya tersebut sama sekali tidak dikembangkan dalam film "Meraih Mimpi".[4] Dalam tayang perdana film "Sing to the Dawn" di Jurong Bird Park, Singapura, Minfong Ho berpendapat bahwa film ini dengan bukunya adalah dua karya yang terpisah, dan jangan dibandingkan satu sama lain. Menurut Minfong Ho, film "Sing to the Dawn" telah berhasil menunjukkan karakter dan semangat Dawan / Dana. Film tersebut juga menggunakan animasi sehingga banyak memberi canda secara visual dan juga humor dengan binatang yang saling berbicara. Minfong Ho berkata bahwa bila dia yang memberi penilaian untuk film tersebut, dia akan memberinya 11 dari 10.[7] Kameo
Rujukan
Catatan kaki
Pranala luar
|