Mbaru NiangMbaru Niang adalah rumah adat di permukiman suku Manggarai yang terletak di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mesa, Kabupaten Manggarai. Bentuk dan falsafahNama Mbaru Niang terdiri dari dua kata yakni Mbaru dan Niang. Kata Mbaru berarti rumah, sedangkan kata Niang berarti tinggi dan bulat. Penamaan ini mewakili bentuk Mbaru Niang yakni kerucut yang meruncing ke atas. Bentuk Mbaru Niang dimaknai sebagai suatu falsafah kehidupan suku Manggarai di Kampung Wae Rebo. Suku Manggarai memiliki bahwa keseimbangan terwakili melalui bentuk lingkaran. Sehingga bentuk rumah dan bentuk kampung buatan suku-suku Manggarai menggunakan pola lingkaran.[1] Mbaru Niang dibangun sebanyak tujuh rumah yang disusun berbentuk melingkar pada tanah yang datar. Pada bagian tengah lingkaran terdapat sebuah altar yang bernama Compang. Keberadaan Compang sebagai titik pusat dari ketujuh Mbaru Niang dan menjadi lokasi paling sakral bagi suku Manggarai di Wae Rebo. Altar Compang digunakan untuk menyembah Tuhan dan roh-roh leluhur.[1] LokasiMbaru Niang terletak di permukiman tradisional suku Manggarai di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mesa, Kabupaten Manggarai. Lokasi Kampung Wae Rebo ini berada pada titik koordinat 8°46'8.88" Lintang Selatan dan 120°17'1.81" Bujur Timur. Posisinya berada di ketinggia 1.120 meter di atas permukaan laut pada Lereng Gonto Ponto yang mencapai ketinggian 1.782 meter di atas permukaan laut.[2] PembangunanRancangan lamaRancangan lama dari Mbaru Niang hanya terdiri dari satu pintu tanpa jendela. Pintu terletak di bagian depan dan berfungsi sebagai jalur keluar dan jalur masuk. Kondisi di dalam rumah Mbaru Niang sangat gelap karena tidak ada jendela. Namun kondisi mengenai bagian dalam Mbaru Niang lama tidak diketahui karena tidak adanya informasi. Namun diperkirakan bahwa di dalam rancangan Mbaru Niang lama tidak terdapat kamar tidur yang memisahkan tiap keluarga di dalamnya. Hal ini karena jumlah penghuni rumah Mbaru Niang mencapai ratusan orang sehingga diduga mereka hanya tidur di lantai. Ruang kosong pada rancangan lama Mbaru Niang diperkirakan hanya satu tanpa kamar. Fungsi ruang kosong ini utamanya untuk tidur, makan dan diskusi.[3] Proses pembangunan Mbaru Niang oleh para leluhur diawali dengan upacara adat. Setelah itu disiapkan bahan bangunan dari sekitar hutan yang mengelilingi Kampung Wae Rebo untuk membangun tujuh rumah. Bahan bangunan yang digunakan ialah kayu worok, papan dari kayu ajang, balok kayu dari kayu uwu dan atap dari daun lontar dan ijuk. Atap dibangun mulai dari puncak hingga hampir menyentuh tanah. Jumlah bangunan sebanyak tujuh yang merupakan bentuk penghormatan atas tujuh arah mata angin dari tujuh puncak gunung di sekeliling Kampung Wae Rebo.[4] Mbaru Niang rancangan lama dianggap sebagai bentuk asli dari Mbaru Gendang suku Manggarai. Sebelum tahun 1960-an, Mbaru Niang rancangan lama masih banyak ditemukan di Manggarai. Namun masyarakat Manggarai mulai mengganti model rumahnya setelah dekade tersebut. Mbaru Niang yang dipertahankan hanya yang terletak di Desa Todo dan di Kampung Wae Rebo. Namun Mbaru Niang di Desa Tobo telah mengalami pemugaran beberapa kali. Sedangkan Mbaru Niang di Kampung Wae Rebo telah roboh sebagian setelah dekade 1990-an.[5] Rancangan baruPada tahun 2008, tim Arsitektur Indonesia mencatat bahwa Mbaru Niang yang tersisa di Kampung Wae Rebo hanya ada empat. Sementara menurut masyarakat lokal jumlah awalnya ada tujuh rumah. Tim Arsitektur Indonesia kemudian mengadakan konservasi bangunan Mbaru Niang.[6] Setelah diadakan konservasi, jumlah Mbaru Niang kembali menjadi tujuh. Masing-masing diberi nama Niang Gendang, Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gena Keto, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro. Niang Gendang menjadi gudang penyimpanan gendang. Sementara Mbaru Niang lainnya merupakan milik masing-masing klan di Wae Rebo.[7] Mbaru Niang kemudian dibuat menjadi enam tingkatan secara vertikal. Masing-masing lantai dari bawah ke atas dinamai Ngaung, Tenda, Lobo, Lentar, Lempe Rae dan Hekang Code. Ngaung merupakan bagian kaki bangunan Mbaru Niang. Fungsi dari Ngaung untuk kegiatan menenun, menganyam dan tempat penyimpanan peralatan berkebun. Tenda merupakan lantai pertama Mbaru Niang yang merupakan tempat utama bagi penghuni untuk melakukan berbagai kegiatan. Kemudian Lobo merupakan lantai kedua dalam Mbaru Niang. Fungsinya khusus sebagai gudang penyimpanan bahan makanan. Lentar merupakan lantai ketiga di dalam Mbaru Niang. Fungsi Lentar sebagai gudang penyimpanan ketika panen mengalami kegagalan. Lantai keempat ialah Lempe Rae yang khusus digunakan untuk menyimpan benih. Sedangkan lantai tertinggi pada Mbaru Niang disebut Hekang Code. Di dalam Hekang Code hanya terdapat altar persembahan untuk leluhur. Bagian ini hanya digunakan ketika diadakan upacara pengatapan bangunan.[8] Teknologi bangunanMbaru Niang menggunakan teknologi ikatan bangunan yang lebih kuno dibandingkan dengan teknologi paku. Karena tidak menggunakan paku terjadi ketidakrigidan pada bangunan Mbaru Niang. Keadaan ini menghasilkan kekokohan bangunan yang lebih lentur sehingga tahan terhadap guncangan yang diakibatkan oleh gempa bumi.[6] PenghargaanRumah adat Mbaru Niang dinilai sangat langka karena hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo yang terpencil di atas pegunungan. Usaha untuk mengonservasi Mbaru Niang telah mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-Pasifik tahun 2012 dan menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur tahun 2013.[9][10] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|