Manten kucingManten kucing adalah suatu warisan budaya takbenda berupa ritual untuk meminta diturunkannya hujan di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Manten berarti pengantin, sedangkan kucing berarti hewan kucing. Ritual tersebut dilakukan dengan mengarak lalu memandikan kucing jantan dan betina di telaga coban. Manten kucing dulunya digunakan sebagai salah satu ikhtiar warga untuk meminta hujan di kala musim kemarau panjang. Selain itu, manten kucing memiliki fungsi sosial sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan berkah dari Allah, sebagai media pembelajaran untuk peduli hewan dan lingkungan sekitar, sebagai media sosialisasi yang mengakrabkan masyarakat, sebagai sarana hiburan, serta akhir-akhir ini digunakan sebagai media promosi pariwisata khususnya di daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganggap tradisi manten kucing sebagai hal yang menistakan agama karena ada salah satu kecamatan yang melaksanakan tradisi tersebut dengan cara menikahkan kucing sesuai dengan cara menikahkan manusia secara Islam.[1][2] Istilah manten dalam manten kucing sama sekali bukan mengarah kepada mengawinkan sepasang kucing, melainkan mengarak kucing menuju telaga coban untuk dimandikan (ngedus kucing), dengan rangkaian barisan kirab manten kucing: cucuk lampah: putri domas; te manten kucing; pager ayu; barisan mudo taruno; barisan kejawen; sesepuh Desa Pelem; kesenian reog kendang; kesenian jaranan senterewe; dan kesenian tiban. Sedangkan prosesi ngedus kucing (prosesi inti) meliputi pembacaan doa oleh dongke; ngedus kucing di telaga coban; prosesi selamatan; dan ritual tari tiban. Pemilihan kucing yang dimandikan tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena dalam prosesinya kedua kucing harus berasal dari sisi barat dan timur desa. Kedua kucing lalu dimasukkan ke dalam keranjang dan dibawa oleh dua orang yang masing-masing membawa satu ekor kucing. Setelah sampai di telaga coban, kedua kucing dimandikan lalu dibacakan mantra, lalu didudukkan di pelaminan untuk diarak. Ritual ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, yang bermula ketika seorang pendatang bernama Eyang Sangkrah memandikan dua ekor kucing di telaga coban, lalu turunlah hujan.[3] Referensi
|