Lepet
Lepet dibuat dengan cara mengukus beras ketan hingga setengah matang, lalu dicampur kelapa parut, daun pandan, dan garam. Selanjutnya dibungkus daun janur dengan cara dililitkan dalam bentuk silinder memanjang, lalu diikat tali. Tali pengikat biasanya adalah serat janur atau serat daun kelapa, atau tali apa saja. Bungkusan-bungkusan lepet ini kemudian dikukus lebih lanjut sampai matang sempurna. Seiring berjalannya waktu, Ketan tidak lagi menjadi satu-satunya bahan dasar pembuatan lepet. Bahan baku dan cara pengolahan yang digunakan untuk pembuatan lepet telah disesuaikan, seperti berisi kacang tanah, kacang merah, kacang tolo[2], kacang koro, atau jagung. Karena beberapa daerah khususnya di daerah Jawa Barat mengganti ketan dengan jagung dan membungkusnya dengan “ klobot ” (kulit jagung) yang kemudian disebut dengan “ leupeut”. Masyarakat Sunda biasanya mengonsumsi lepet isi kacang bersama dengan tahu Sumedang.[3] Di wilayah Jakarta, dikenal dua jenis lepet —satu diisi kacang merah, dan satu lagi dimakan dengan " kinca " (saus gula merah kelapa). Selain itu, daun pandan hutan (jelutuk), digunakan sebagai pembungkus pengganti janur.[4] Di Sumatera dan Semenanjung Malaya, dikenal penganan dengan nama lepat, namun resep dan cara pembuatannya berbeda. Lepat adalah ketan yang menggunakan isian campuran gula aren dan kelapa parut, dan menggunakan pembungkus daun pisang, sementara lepet menggunakan daun janur, ada yang tanpa isi dan ada pula yang dicampur kacang. SejarahLepet telah menjadi makanan populer sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Kemudian, pada abad ke-15 hingga ke-16, tepatnya di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, masyarakat Jawa, yang dipengaruhi oleh pendekatan persuasif Sunan Kalijaga, salah satu “ walisongo ”, menyimbolkan lepet bersama dengan ketupat atau “ kupat " dalam bahasa Jawa.[5][6] Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id. Lepet adalah makanan yang disajikan saat Lebaran. Kata lepet berasal dari kata ‘silêp’ yang berarti ‘kubur atau simpan’ dan ‘rapêt’ yang berarti ‘rapat’. Peribahasa yang terkenal tentang lepet adalah 'mangga dipun silêp ingkang rapêt' yang berarti ‘mari kita kubur yang rapat'.[7] Bentuk lepet sangat unik karena menyerupai mayat. Lepet juga diberi tali tiga melingkar seperti pembungkus jenazah. Inilah yang mempertegas bentuknya yang menyerupai mayat. Secara filosofis, ditali tiga seperti mayat ini berarti kesalahan seyogyanya tidak menjadi dendam sampai mati.[8][9] TradisiDi daerah Banyuwangi, Jawa Timur, lepet secara tradisional disajikan pada acara " selapan ", yang dirayakan 35 hari setelah bayi lahir dan sering kali bertepatan dengan upacara pemberian nama. Lepet dipandang sebagai simbol harapan bagi keselamatan bayi baru lahir.[10] Di daerah Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, lepet tidak hanya dihidangkan pada saat Lebaran namun juga pada saat Idul Adha (di bulan Islam Dzulhijjah ) dan “ Sedekah Ruwah ” (upacara menyambut bulan puasa)[11] Di daerah Pemalang, Jawa Tengah, lepet digunakan dalam upacara " Baritan ", sebuah tradisi yang dikenal sebagai " Sedekah Laut " (hadiah ke laut) di kalangan nelayan tradisional. Nelayan mengakui kesalahan mereka, seperti membuang sampah sembarangan dan mencemari lingkungan, yang dapat berdampak negatif terhadap hasil tangkapan mereka. Sebagai bentuk permintaan maaf dan permohonan izin, mereka berharap bisa terhindar dari bencana di laut. Permintaan maaf dan izin seperti itu dipandang sebagai etika yang baik dan sopan dalam beraktivitas.[12] Di daerah Jepara, Jawa Tengah, lepet digunakan dalam upacara "Lomban", sebuah tradisi yang dikenal sebagai "Sedekah Laut" (hadiah ke laut) di kalangan nelayan tradisional.[13] Di daerah Kudus, Jawa Tengah, lepet disajikan sebagai pelengkap acara “ Sewu Kupat ” (1000 kupat ), yaitu tradisi masyarakat sekitar Gunung Muria yang melambangkan luapan kegembiraan mereka dalam merayakan Lebaran.[14] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|