Kuslan Budiman
Kuslan Budiman, (1935, Trenggalek, Jawa Timur - 2 Desember 2018, Naarden), adalah seorang penulis Indonesia, juga seorang eksil, akibat setelah peristiwa September 1965, sejumlah pengarang Indonesia terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau diperbolehkan pulang ke tanah air. Dari tangan mereka muncul fenomena yang dikenal sebagai "sastra eksil Indonesia".[1] Kuslan Budiman adalah salah satu penulis sastra eksil Indonesia yang tinggal di Belanda. BiografiKuslan Budiman lahir pada tahun 1935 di lereng Gunung Sengunglung, Jawa Timur. la pernah menjadi guru di Madiun pada tahun 1954. Kemudian melanjutkan sekolah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, dan tamat pada tahun 1962. Ketika tinggal di Republik Rakyat Tiongkok, Kuslan sempat belajar bahasa Cina di Institut Bahasa Asing Beijing tahun 1965; dan juga belajar di Akademi Drama dan Opera Pusat di Beijing pada tahun 1966.[2] Tahun 1971, ia pindah ke Moskow, belajar bahasa Rusia dan mengikuti kuliah ilmu kesenian di Institut Seni Industri – Seni Terapan tahun 1977 di Stroganovskoye. Hasil KaryaSejak tahun 1955, Kuslan telah menulis puisi, prosa, kritik dan esai baik dalam bahasa Indonesia maupun Jawa dan dimuat di berbagai majalah dan surat kabar. Selama tinggal di Yogya ia pernah menjabat sebagai anggota pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat, LEKRA di kota tsb. Dan bersama Amrus Natalsya, Djoko Pekik dan kawan-kawan lain mendirikan Sanggar Bumi Tarung, sebuah sanggar yang bersimpati pada perjuangan kaum tani. Selama tinggal di Eropa Barat, beberapa tulisannya dimuat di majalah Arena dan Kreasi dan juga terhimpun dalam kumpulan-kumpulan tulisan bersama. Kumpulan sajak Kuslan Budiman yang pertama, Tanah Kelahiran (Kreasi No.20) pada tahun 1994. Belakangan Kuslan juga menggunakan jalur internet untuk menyiarkan karya-karyanya baik yang asli maupun terjemahan. Rujukan
Pranala luar
|