Kuntowijoyo
Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. (juga dieja Kuntowidjojo; 18 September 1943 – 22 Februari 2005) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.[2] BiografiKuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980. Ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan terakhir menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, dan menjadi peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketika kuliah di UGM, ia pernah menjadi sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi). Sampai tahun 1971 ia menjadi ketua Studi Grup Mantika, tempat ia bergaul dengan Arifin C. Noer.[3] Ia meninggal dunia akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningoencephalitis. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. KepenulisanKalau kebanyakan pengarang lain mulai dengan menulis sajak, kemudian menjadi mantap dalam menulis prosa, maka sebaliknya dengan Kuntowijoyo. Ia sejak masih duduk di SMA menulis cerita pendek, kemudian drama, esai, roman. Baru ketika ia bermukim di Amerika Serikat untuk mencapai gelar MA dan Ph.D., ia menulis sajak, sekaligus dua buah kumpulan Isyarat (1976) dan Suluk Awang Uwung (1976).[4] Cerpennya dimuat dalam majalah ''Horison'', harian ''Kompas'', dan terpilih menjadi cerpen terbaik harian Kompas, yakni Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1994), Sampan Asmara dan Pistol Perdamaian (1995). Tulisannya berupa esai juga banyak dimuat di surat kabar. Gagasannya yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tetapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP. PenghargaanDramanya Rumput-Rumput Danau Bento (1969) mendapatkan Hadiah Harapan sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia. Dramanya berjudul Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas (1972) dan Topeng Kayu memperoleh hadiah dalam sayembara Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta 1972 dan 1973, yaitu Hadiah Harapan dan Hadiah Kedua. Novelnya Pasar mendapat hadiah dalam Sayembara Mengarang Roman Panitia Tahun Buku Internasional DKI 1972 (terbit sebagai buku tahun 1994).[5] Pada tahun 1986 ia mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.Tahun 1999 ia menerima SEA Write Award dari kerajaan Thailand.[6] Kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga mendapatkan penghargaan Hadiah Penulisan Sastra 1999 dari Pemerintah RI melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ia juga mendapat penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Penjinak Ular (2001).[7] Pendidikan
Karier
Penghargaan
Hasil KaryaKarya sastranya adalah sebagai berikut:
Sebagai seorang sejarawan, analisis dan pemikirannya ditulis dengan pendekatan disiplin ilmu sejarah dan bersifat kesejarahan telah banyak diterbitkan menjadi buku, diantaranya yakni [9]
Pranala luar
Rujukan
|