Kuil Ching Nan
Ching Nan Jinja (鎮南神社 , Chinnan Jinja, terj. har. 'Kuil Chinnan')[a] adalah kuil Shinto yang pernah berdiri di Kota Malang, Jawa Timur Indonesia. Kuil ini dibangun oleh militer Jepang selama pendudukan mereka di Indonesia antara tahun 1942 dan 1945. Nama "Ching Nan" berarti "mendominasi wilayah selatan atau menguasai negara-negara di selatan Jepang."[1] Kuil ini dibangun sebagai tempat ibadah bagi para pengikut Shintoisme, agama asli Jepang, dan didedikasikan untuk Amaterasu Omikami, Dewi Matahari dan dewi tertinggi dalam Shintoisme.[1][2] Ada sekitar 1.600 kuil Shinto (Jinja) di luar Jepang, dan di Indonesia terdapat 11 kuil, salah satunya Ching Nan Jinja. Jika masih berdiri, kuil ini akan menjadi salah satu kuil Shinto terbesar di Indonesia, kedua terbesar setelah kuil Hirohara (sekarang Medan Club, Kota Medan),[3][4] dan menjadi kuil Shinto paling selatan di Asia.[5] LokasiLokasi kuil ini telah menjadi subjek diskusi di kalangan sejarawan dan pengamat warisan budaya di Kota Malang, karena tidak ada sisa-sisa kuil yang ditemukan atau dicatat. Diduga kuil ini berlokasi di dan sekitar bekas lintasan pacuan kuda Kota Malang, yang kini telah berubah menjadi area sekolah dan perumahan; yang lainnya adalah situs gedung Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Malang saat ini. Kemungkinan lainnya berada di Jl. Bengawan Solo.[6] Pada tahun 2017, melalui penelitian yang ekstensif oleh para peneliti dari Universitas Kanagawa, keberadaan kuil ini kemudian dikonfirmasi memang pernah ada di Kota Malang.[6][7] Diasumsikan bahwa kuil ini tidak berada di gedung Poltekkes Malang, melainkan di sebelah utara Jl. Pahlawan Trip yang dulunya merupakan asrama Korps Brimob dan sebelumnya juga merupakan lintasan pacuan kuda.[2][7][5] Meskipun demikian, sejarawan Tjahjana Indra Kusuma menantang posisi ini dengan merujuk pada peta Allied Geographical Section tahun 1943–1944. Peta yang dimaksud menunjukkan kuil 'Ching Nan' di Kota Malang berada di dekat MTsN-MAN 2 Malang, dan mungkin berada di sekitar TMP Untung Suropati Malang.[8] Publikasi Nieuwe Courant juga mencatat lokasinya berada di samping sebuah pemakaman.[9] Ini sesuai dengan gambar arsip (disimpan oleh Nationaal Archief) dari kuil bekas yang terletak di dekat pemakaman dan di atas tanjakan dengan jalan terlihat di belakangnya.[10] Oleh karena itu, berbeda dengan asumsi sebelumnya, kini dipercayai bahwa kuil tersebut tidak terletak langsung di lintasan pacuan kuda, melainkan di sebelah utara jalur kereta decauville atau lori PG Keboen Agoeng, yang melintas sejajar di sepanjang selatan atau timur Jl. Jakarta.[9] SejarahKuil Ching Nan, yang pada saat itu disebut "Djinja", dibangun pada tahun 1944. Awalnya, Kantor Staf Umum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tidak menyetujui pembangunan kuil tersebut. Namun, administrasi militer setempat melanjutkan pembangunannya atas inisiatif sendiri,[5] mengikuti saran Jenderal Tanaka, sosok terkemuka yang dikenal karena sentimen anti-Eropanya dan dukungan kuatnya terhadap sistem Asia Raya. Pembangunan ini juga diawasi oleh seorang arsitek Jepang ternama.[9] Kuil Ching Nan, yang terbuat dari kayu jati tua istimewa, diakui sebagai karya kerajinan yang mengesankan dan memiliki arti penting sebagai tempat ziarah bagi tokoh-tokoh Jepang terkemuka di Indonesia. Kuil ini memegang peran sentral dalam mengadakan berbagai perayaan, upacara, parade, pertemuan, dan selebrasi. Terutama, kuil ini menarik perhatian bukan hanya dari resimen-resimen Jepang tetapi juga dari parade yang mewakili beragam kelompok seperti Tionghoa, Arab, Jerman, dan Indonesia. Parade-parade ini pernah menampilkan elemen-elemen khas seperti naga, tarian, dan pakaian tradisional, yang menyoroti identitas budaya masing-masing.[9] Dalam salah satu acara, Nieuwe Courant melaporkan bahwa perwakilan Jerman yang berkunjung ke kuil Ching Nan seperti Eugen Ott, utusan Jerman dari Tokyo, dan Ernst Ramm, konsul jenderal Jerman dari Mukden, diperlakukan secara terpisah dari otoritas Jepang, meskipun kedua belah pihak saling bekerja sama. Mereka ditempatkan di sudut yang telah ditentukan untuk mereka sendiri, menjauh dari para pejabat Jepang.[9] PenghancuranSetelah kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, para prajurit Jepang membakar habis kuil Ching Nan, mengakhiri keberadaannya. Mungkin karena takut akan penodaannya.[9][5] Catatan
Referensi
|