Kontroversi lokasi Bandar Udara Internasional YogyakartaLokasi Bandar Udara Internasional Yogyakarta telah menjadi bahan kontroversi sejak pembangunannya pada 2012. Latar belakang penolakanWarga terdampak berasal dari lima desa, yakni Glagah, Kebonrejo, Palihan, Sindutan, dan Jangkaran.[1] General Manager (GM) Bandara Adisutjipto, Agus Pandu Purnama, menjelaskan wilayah New Yogyakarta International Airport (NYIA) meliputi 19 dusun, 2.700 kepala keluarga, dan 4.400 bidang tanah.[2] Warga terdampak NYIA mulai mengetahui kabar tentang pembangunan NYIA sejak tahun 2011.[3] Sosialisasi pembangunan NYIA dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas terkait, PT Angkasa Pura I, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kulon Progo pada 2014. Dalam sosialisasi tersebut, wilayah yang terdampak bandara yakni seluas 673 hektare. Ichsanuri, yang pada 2014 menjabat Sekretaris Daerah DIY, menyebutkan adanya informasi tentang mekanisme pembebasan lahan dan rencana pembangunan bandara melalui sosialisasi.[4] Penolakan warga terdampak muncul ke media massa sejak adanya unjuk rasa saat sosialisasi berlangsung. Warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) datang menyuarakan penolakan di Desa Glagah[5] dan Palihan.[6] Alasan warga menolak NYIA di antaranya karena pembangunan bandar udara internasional tersebut akan menghilangkan tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka sebagai petani. WTT didirikan pada 9 Desember 2012 yang beranggotakan petani pemilik lahan, petani penggarap, dan buruh tani.[7] Kehidupan warga yang sebagian besar merupakan perempuan petani juga mendapat sorotan jurnalis. Di desa Glagah misalnya, dari 2.157 orang, 1.100 orang adalah perempuan yang secara aktif menggarap lahan milik sendiri maupun sebagai buruh tani. Lahan pertanian di wilayah terdampak NYIA terbagi menjadi di sebelah utara Jalan Daendels yang menjadi sawah dan sebelah selatan yang menjadi tegalan. Para perempuan petani ini membentuk Persatuan Perempuan Anti Penggusuran (PPAP) pada tahun 2016.[1] Pembebasan lahanNYIA melibatkan sedikitnya 2.700 kepala keluarga yang terdampak dalam pembebasan lahan.[8] Pembebasan lahan untuk lokasi bandara ini mempergunakan sistem konsinyasi.[9] Pemilik tanah akan diberikan ganti rugi dengan cara melalui pengadilan pada proses pengadaan lahan untuk proyek yang didukung pemerintah.[9] Proses pembebasan lahan dengan sistem konsinyasi ini ditentang oleh warga sekitar karena dianggap tidak berdasar dengan adanya penolakan untuk proyek tersebut sejak awal.[9] Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) menyatakan bahwa sejak awal warga menolak rencana pembangunan bandara tersebut dengan tanpa syarat sehingga nilai ganti rugi dengan skema konsinyasi tidak berdasar.[9] Selain itu, tanah yang digunakan untuk pembangunan bandara merupakan lahan pertanian produktif yang menghasilkan buah dan sayur yang dapat menyuplai kebutuhan buah dan sayur di DIY.[10] Pada tanggal 28 November 2017, Ketua Ombudsman RI Perwakilan DIY, Budi Masturi meminta penundaan pengosongan lahan warga karena sedang melakukan investigasi terkait kemungkinan adanya maladministrasi dalam proses tersebut.[9] Proses pembebasan lahan ini diwarnai kericuhan yang melukai satu orang warga saat proses pembebasan lahan di Dusun Kragon II, Desa Palihan. Kericuhan ini dimulai saat warga menghadang 2 unit backhoe yang membersihkan areal tanaman cabai yang menurut warga belum dikonsinyasi. Aksi tersebut kemudian memicu adu mulut dan berakhir dengan adu fisik.[11] Meski mendapat perlawanan dari PWPP-KP dan relawan, PT Angkasa Pura I (Persero) menyatakan telah menyelesaikan pembebasan lahan untuk pembangunan NYIA pada bulan Maret 2018. Penyelesaian pembebasan ini ditandai dengan adanya penyerahan hasil pelaksanaan pengadaan tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY dengan total tanah seluas 587,30 hektare dan digunakan sebagai lokasi bandara sebanyak 3.492 hektare. PT Angkasa Pura I (Persero) telah memberikan ganti kerugian secara keseluruhan kurang lebih sebesar Rp 4,13 triliun.[12] Pemberian ganti rugi ini sesuai dengan Izin Lokasi Penetapan (ILP) bandara.[13] Pembebasan lahan yang akan digunakan untuk NYIA juga melibatkan pembebasan tanah terhadap Paku Alam Ground (PAG). PAG ini berstatus tanah magersari dan nantinya ditujukan sebagai wilayah pembangunan untuk kurang lebih 100 rumah baru bagi warga Kecamatan Temon yang terdampak pembangunan NYIA. Tanah magersari merupakan tanah milik Kraton (Sultan) dan Kadipaten (Pakualam) yang awalnya diberikan kepada abdi dalem serta sentana dalem sebagai tempat tinggal. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tanah magersari dapat digunakan oleh rakyat.[14] Lahan yang berada di tanah magersari ini diajukan oleh Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo, kepada Paku Alam X. Luasnya 11.290 meter persegi. Upaya ini didukung oleh Paku Alam X, bahkan ia meminta agar nantinya beberapa fasilitas penting seperti sekolah serta rumah ibadah ada di lahan relokasi.[15] Dampak sosialPenolakan terhadap pembangunan NYIA sudah dimulai sejak terbentuknya Wahana Tri Tunggal (WTT). Setelah WTT pecah, sebagian anggotanya membentuk Paguyuban Warga Penolakan Penggusuran-Kulonporogo (PWPP-KP). Hal tersebut memberi hambatan terhadap proses pembangunan NYIA. Mulanya, sikap menolak tanpa syarat menjadi prinsip WTT terhadap pembangunan NYIA, sampai pada akhirnya mereka menerima pembangunan dengan syarat adanya penilaian ulang aset bangunan, tanaman, dan sarana pendukung lain. Sementara itu, dari terbentuknya PWPP-KP hingga saat ini, sikap menolak tanpa syarat masih terus berlanjut.[16] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan, penanganan warga di area konflik NYIA tergolong baik dibandingkan dengan konflik di banyak daerah lain yang tingkat konfliknya lebih kompleks.[17] Di sisi lain, Komnas HAM memberi catatan buruk pada proses pengosongan lahan bakal NYIA. Komnas HAM menilai ada pelanggaran HAM yang terjadi dan tidak perlu dilakukan dalam pengosongan lahan yang ditempati warga.[18] Pemerintah menuturkan tujuan dibangunnya NYIA sebagai pendukung konektivitas dan mencapai pemerataan pembangunan. Sementara menurut PWPP-KP, pembangunan NYIA akan menambah catatan jumlah penggusuran sekaligus terusirnya warga lokal untuk kepentingan properti dan industri pemodal besar. Pada tahun 2016, Komnas HAM mencatat proyek NYIA telah mengakibatkan konflik agraria meningkat.[19] Disampaikan oleh mantan anggota WTT, sejumlah permasalahan masih dihadapi warga terdampak pembangunan NYIA: masalah konsiyasi, minimnya lapangan pekerjaan bagi warga terdampak, dan uang ganti rugi yang belum diterima.[20] Selain konflik di atas, konflik horizontal antar warga penolak dan penerima pembangunan NYIA sudah terjadi sejak lama. Konflik tersebut dimulai dari terbentuknya WTT, di mana kerap terjadi warga yang tergabung dalam WTT dikucilkan. Contohnya dalam hal pemakaman, warga yang setuju dengan pembangunan NYIA tidak bersosialisasi atau membantu pemakaman.[21] Pasca pecahnya WTT, lahir PWPP-KP. Konflik baru muncul di antara mantan anggota WTT. Ada yang dituduh sebagai pengkhianat, bahkan dijuluki mahluk halus.[22] AMDALAMDAL NYIA diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tanggal 17 Oktober 2017. Sebelumnya, penetapan AMDAL ini sempat menjadi kontroversi. Dari sisi hukum, penetapan AMDAL yang dilakukan setelah keluarnya Surat Keputusan Gubernur DIY tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara dinilai cacat hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.[23] Sebabnya, jika mengacu Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,[24] AMDAL harus disusun pemrakarsa pada tahap perencanaan usaha dan/atau kegiatan, bukannya pada tahap pelaksanaan seperti yang terjadi. Saat itu, tahap pelaksanaan telah sampai pada tahap ganti rugi lahan, baru AMDAL dibuat.[25] Halik Sandera, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta sempat mengatakan bahwa AMDAL NYIA tidak layak lanjut sebab tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Jawa-Bali yang dibahas dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012.[26] Penetapan lokasi bandara di kawasan lindung geologi dari bencana tsunami juga tidak sesuai Perda DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DIY.[27] Selain itu, penetapan AMDAL NYIA juga menjadi kontroversi karena proses pembuatannya yang dikebut, sementara pembangunan tersebut akan dilakukan di lokasi rawan bencana. Pada 1 Agustus 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan artikel berjudul "Temuan LIPI Perkuat Bukti Pembangunan Bandara Kulon Progo di Kawasan Rawan Bencana".[28] Dalam artikel tersebut, Lembaga Geoteknologi LIPI menemukan deposit atau endapan tsunami di dekat bakal lokasi NYIA. Eko Yulianto, Kepala Geoteknologi LIPI mengatakan bahwa penemuan deposit tsunami di dekat kawasan NYIA diperkirakan berusia 300 tahun. Potensi gempa di kawasan itu, berdasarkan sebaran deposit tsunami, bisa mencapai magnitude sembilan (M9) lebih. Dengan demikian, jika terjadi tsunami di Kawasan NYIA, gelombang akan mencapai bagian apron, terminal, hingga runaway-nya.[28] Widjo Kongko, Peneliti Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Universitas Gajah Mada (BPPT-UGM) juga mengatakan bahwa kawasan NYIA sangat rawan terdampak tsunami.[28] KekerasanPembangunan NYIA mengalami resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT), Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), dan Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP). Minimnya dialog yang memadai dan kerasnya kebijakan yang bersikukuh merealisasikan proyek semakin menyulut resistensi politik rakyat yang kemudian bermanifestasi menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan.[29] Kapolres Kulon Progo AKBP, Irfan Rifai, membenarkan terdapat belasan aktivis yang diamankan dan dibawa ke Polres Kulon Progo karena dugaan provokasi warga sekitar. Pada 5 Desember 2017, sebanyak lima belas orang relawan aksi solidaritas diciduk aparat saat berlangsung pembersihan lahan pembangunan bandara di Temon, dua belas orang diamankan saat pagi di Desa Palihan, dan tiga orang saat sore di Desa Glagah untuk dimintai keterangan karena dianggap memrovokasi warga. Pada malam harinya, aktivis dilepas oleh polisi karena tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum. Tindakan kekerasan juga terjadi pada anggota pers mahasiswa yang bersolidaritas sekaligus mengerjakan peliputan di Kulon Progo.[30] Pada Selasa, 9 Januari 2018, rilis yang diterbitkan Jogja Darurat Agraria tentang kekerasan berulang yang dilakukan aparat kepada warga dan relawan di Kabupaten Kulon Progo menyebutkan sempat terjadi aksi dorong-mendorong antara warga dan aparat. Salah satu aparat memrovokasi dengan mengacungkan jari tengah mengarahkannya ke warga. Hal tersebut mengakibatkan bentrokan antara warga dan aparat. Aparat bertindak represif dengan mendorong lalu memukul warga dan relawan. Relawan dijambak, diseret, kepalanya dipojokkan, serta menjatuhkan relawan dan menginjaknya dengan sepatu. Relawan juga dipukul di bagian kepala hingga membuat memar dan berdarah. Terdapat sebelas relawan dan warga yang dipukul dan diseret sampai mengalami luka dengan tiga orang di antaranya ditangkap aparat untuk dibawa ke Polres Temon karena dianggap menghalangi proses pembangunan bandara.[31] Situs-situs bersejarahGunung Lanang, Gunung Putri, dan Gunung Sinongko adalah kompleks petilasan di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Meskipun bernama gunung, namun sesungguhnya masing-masing adalah Astana yang dibangun di atas gundukan. Kompleks petilasan ini berada di dalam kawasan pembangunan NYIA, yakni di Desa Sindutan dekat kompleks Radar TNI Angkata Udara Pantai Congot. Kompleks ini berdekatan dengan petilasan Aji Saka, Raja Jawa yang dikisahkan menciptakan aksara Jawa. Di pucuk Gunung Lanang berdiri bangunan bernama Astana Jingga dan Badraloka Mandira. Sedangkan di Gunung Sinongko terdapat sumur yang mengalirkan air ke kolam bernama Tirta Kencana. Sebelum melakukan ritual, seseorang harus mensucikan diri dahulu di Tirta Kencana, kemudian bersemedi di Gunung Lanang.[32] Mbah Muhdi, warga Desa Sindutan yang bertanggung jawab membersihkan Gunung Lanang, menceritakan bahwa pejabat dan tokoh masyarakat[33] sering mengunjungi tempat tersebut khususnya pada malam Satu Suro. Pada malam Satu Suro selalu berlangsung ruwatan di Gunung Lanang.[34] Selain tempat petilasan yang terkenal ke luar Kulon Progo tersebut, dalam kawasan pembangunan NYIA terdapat pula tempat keramat bagi warga setempat. Salah satu tempat keramat yang hancur karena proses pengosongan lahan adalah Makam Mbah Drajat. Makam ini terletak di Dusun Sidorejo, Desa Glagah.[35] Sumardi, warga penolak NYIA menjelaskan bahwa makam tersebut bukan benar-benar diisi jenazah manusia, melainkan untuk menguburkan kain yang terkena bercak darah salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro.[36] Hilangnya ekosistem burungPembangunan NYIA dapat mengganggu proses migrasi beberapa jenis burung. Hal ini karena letak bandar udara yang cukup strategis, berada di wilayah pesisir pantai yang disinggahi kawanan burung. Sebelum proses pembangunan dimulai, tak jarang beberapa warga masih dapat melihat puluhan kawanan burung singgah dan melintasi wilayah pesisir Kulon Progo. Beberapa kawanan burung yang sering dilihat warga tak hanya berasal dari wilayah Yogyakarta, namun juga beberapa wilayah Indonesia dan negara lain. Hal ini disebabkan adanya jalur migrasi burung di pesisir selatan Kulon Progo yang sering disebut jalur terbang Asia Timur-Australia.[37] Warga sekitar pesisir Kulon Progo sering melihat setidaknya 44 jenis burung. Di antaranya yaitu dara laut jambul, trinik semak, dara laut kecil dan kedidip putih yang sering terlihat bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Selain itu, juga sering terlihat burung endemik Indonesia yang saat ini sudah terancam punah yaitu cerek jawa (Charadrius javanicus).[37] Komunitas pengamat burung Bird Watching mencatat kehadiran burung migran (pendatang) sering dijumpai sebelum proyek bandara ini dimulai. Kawanan burung migran sering terlihat bergabung dengan kawanan burung dara laut jambul. Burung dara laut jambul adalah burung penetap di muara Sungai Progo, sungai terbesar yang berada di wilayah DIY.[37] Pada buku Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan oleh Yayasan Kutilang Indonesia pada tahun 2015, tercatat bahwa Pantai Trisik dan sekitarnya memiliki keanekaragaman jenis burung yang paling tinggi se-Jawa dan Bali. Pada pengamatan terakhir pada tahun 2015, tercatat dua jenis burung imigran baru yang berhasil diidentifikasi di sekitar Pantai Trisik yaitu cerek kalung besar (Chanradrius hiaticula) dan kedidi dada coret (Calidris melanotos). Burung- burung ini berasal dari daratan Siberia, Mongolia, dan sekitarnya. Pergerakan burung migran ini melewati jalur penerbangan Asia Timur-Australia menuju selatan dengan tujuan Papua, Selandia Baru dan Australia. Setiap tahunnya, burung- burung ini melakukan migrasi untuk menghindari cuaca ekstream seperti musim dingin.[37] Pembangunan NYIA yang mengusung konsep aerocity akan menggunakan luas wilayah yang tidak sedikit. Hal ini juga dapat memberikan dampak kebisingan dan semakin sedikitnya tempat bagi kawanan burung tersebut untuk mencari makan di wilayah pesisir.[37] Selain itu, berdasarkan sifatnya, burung cerek krenyut suka mencari makan di area terdampak lapangan terbang yang dekat dengan pantai. Hal ini tentu akan membahayakan pesawat yang melintas.[37] Berdasarkan catatan Birdlife (2014), di area Pantai Glagah yang termasuk area lapangan terbang merupakan habitat penting untuk burung cerek jawa yang saat ini terancam punah. Cerek jawa merupakan jenis burung penetap, burung ini biasa bertelur di semak- semak sekitar wilayah pantai.[37] Terancamnya ekosistem pantai dapat mengancam keberadaan burung-burung yang tinggal di wilayah pesisir. Komunitas pengamat Burung Pantai Indonesia (BPI) menyatakan bahwa keberadaan burung pantai penting sebagai indikator ekosistem. Ada lebih dari 200 jenis burung pantai di seluruh dunia dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Indonesia melalui jalur pantai. Burung- burung tersebut mengembara ribuan kilometer untuk menghindari musim dingin. Namun, lokasi persinggah migrasi burung terancam hilang karena aktivitas manusia yang mengalihfungsikan lahan pesisir sebagai bandara dan pembangunan lain.[38] Saat ini, Indonesia terdaftar sebagai negara yang memiliki habitat ideal untuk burung- burung pantai imigran maupun lokal. Karena itu, pembangunan bandara NYIA dapat mengurangi fungsi ekosistem pantai sebagai tempat burung-burung pantai berkembang biak dan hidup.[38] Referensi
|