Klaustrofobia

Goa sebagai tempat berbahaya untuk penderita klaustrofobia

Klaustrofobia (dari bahasa Latin claustrum "tempat tertutup" dan Yunani phóbos "takut") adalah sebuah fobia terhadap tempat-tempat sempit dan terjebak. Klaustrofobia umumnya dikategorikan sebagai neurosa kecemasan yang dapat menyebabkan serangan panik yang tiba-tiba, atau kecemasan saat berada di lift, kereta api atau pesawat udara. Sekitar 5-7% populasi dunia mengidap klaustrofobia, tetapi hanya sebagian kecil yang mendapatkan perawatan untuk kelainan ini.[1]

Deskripsi umum

Klaustrofobia merupakan salah satu jenis fobia.[2] Penderitanya mengalami rasa takut di dalam ruang tertutup yang berukuran sempit.[3] Rasa takut ini bersifat berlebihan.[4] Ciri fisik penderita klaustrofobia adalah berkeringat, merasa pusing dan tidak bisa bernapas. Selain itu, tekanan darahnya tinggi dan detak jantungnya menjadi tidak beraturan.[5] Ciri lainnya adalah mulutnya menjadi kering dengan tubuh yang gemetaran disertai sakit kepala dan mati rasa.[6]

Gejala

Gejala klaustrofobia adalah adanya rasa takut terhadap ruang tertutup yang dirasakan selama sekurangnya enam bulan.[5] Gejala klaustrofobia dapat muncul sejak masa kanak-kanak ataupun remaja. Perasaan yang timbul darinya adalah kekhawatiran tidak bisa bernapas, kehabisan oksigen atau kekurangan ruang gerak di ruang yang sempit.[5]

Pemicu

Klaustrofobia dapat dipicu oleh beberapa tempat seperti lift, terowongan, kereta bawah tanah dan pintu putar. Pemciu lainnya berbentuk ruangan seperti ruangan yang terkunci, toilet umum, kamar ganti, dan kamar hotel dengan jendela yang tertutup. Klaustrofobia juga dapat dipicu oleh kendaraan seperti pesawat dan mobil dengan pengunci pintu terpusat. Pemicu lainnya adalah pencitraan resonansi magnetik.[5]

Aturan medis

Klaustrofobia merupakan salah satu efek samping dari penggunaan alat bernama penekan saluran udara positif berkelanjutan. Namun, efek samping ini jarang terjadi.[7] Penderita klaustrofobia berat dilarang untuk mengikuti tes pencitraan resonansi magnetik.[8] Alasannya adalah pemeriksaan dilakukan di dalam ruang tertutup dengan waktu yang lama.[9] Namun, penderita klaustrofobia berat dapat mengikuti tes menggunakan mielografi tomografi terkomputasi.[10]

Pemeriksaan pasien klaustrofobia masih dapat dilakukan dengan pencitraan resonansi magnetik pada ruangan terbuka yang telah disesuaikan untuk penderita fobia.[11] Jenisnya ada dua. Pertama, pencitraan resonansi magnetik dengan lubang yang berdiameter lebih luas. Kedua, pencitraan resonansi magnetik dengan bagian sisi yang sepenuhnya terbuka.[12] Klaustrofobia pada penggunaan pencitraan resonansi magnetik juga dapat diatasi dengan pemberian obat sedatif kepada pasien.[13]

Fenomena

Makam kepausan di Basilika Santo Petrus

Kondisi klaustrofobia sering terjadi kepada para peziarah makam kepausan di Basilika Santo Petrus. Penyebabnya adalah jumlah peziarah yang sangat banyak, sedangkan ukuran jalan pemakaman bawah tanah sangat sempit dan berbentuk lorong. Klaustrofobia terjadi ketika antrean peziarah berhenti secara tiba-tiba. Karena kondisi ini, peziarah yang mengunjungi pemakaman bawah tanah tidak diizinkan mengambil foto, berdoa, bernyanyi ataupun meletakkan objek apapun di dekat makam.[14]

Dalam budaya populer

Dalam serial film "SpongeBob SquarePants" di salah satu episode-nya diceritakan bahwa Squidward mengaku bahwa ia mengidap klaustrofobia saat terjebak di dalam sumur harapan bersama Spongebob dan Patrick.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ (Inggris)Phobias: A Handbook of Theory, Research, and Treatment. Chichester ;New York: Wiley, 1997.
  2. ^ Effendy, Elmeida (2021). Amin, M. M., dkk., ed. Gejala dan Tanda Gangguan Psikiatri (PDF). Medan: Yayasan Al-Hayat. hlm. 17. 
  3. ^ Astari, R., dan Triana, W. (2018). Fatmawati, Fatimah, ed. Kamus Kesehatan Indonesia-Arab (PDF). Sleman: Trussmedia Grafika. hlm. 217. ISBN 978-602-5747-22-9. 
  4. ^ Nevid, Jeffrey S. (2021). Gangguan Psikologis: Konsepsi dan Aplikasi Psikologi. Diterjemahkan oleh Chozim, M. Nusamedia. hlm. 23. 
  5. ^ a b c d Muslimin 2021, hlm. 54.
  6. ^ Muslimin 2021, hlm. 54-55.
  7. ^ Sesarini, P. M., dan Astutha, A. R. (Maret 2017). Putra, I. D. G. A. E., dan Pradiptha, I. P. V., ed. "Efektivitas Continous Positive Airway Pressure (CPAP) Pada Obstructive Sleep Apnea (OSA)" (PDF). ENT Update. PT. Percetakan Bali. 1 (1): 242. ISBN 978-602-1672-81-5. 
  8. ^ Yueniwati, Yuyun (2018). Kenali Tumor Orbita Melalui Pencitraan. Malang: UB Press. hlm. 71. ISBN 978-602-432-475-9. 
  9. ^ Satyanegara, dkk., ed. (2010). Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 107. ISBN 978-979-22-6478-4. 
  10. ^ Suyasa, I. K., dkk. (2018). Suyasa, I Ketut, ed. Penyakit Degenerasi Lumbal: Diagnosis dan Tata Laksana (PDF). Denpasar: Udayana University Press. hlm. 181. ISBN 978-602-294-280-1. 
  11. ^ Asman, A., dkk. (2022). Martini, N. M., ed. Asuhan Keperawatan Sistem Pernapasan Berbasis SDKI, SLKI dan SIKI. Bandung: Penerbit Media Sains Indonesia. hlm. 27. ISBN 978-623-362-684-2. 
  12. ^ Yueniwati, Yuyun (2016). Erlangga, Ruri, ed. Pencitraan pada Stroke. Malang: UB Press. hlm. 173. ISBN 978-602-203-923-5. 
  13. ^ Sudarsa, I Wayan (2019). Buku Ajar Bedah Onkologi. Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 35. ISBN 978-602-473-676-7. 
  14. ^ Thavis, John (2014). Buku-Buku Harian Vatikan [The Vatican Diaries]. Diterjemahkan oleh Sitepoe, Eta. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 15. ISBN 978-602-02-4021-3. 

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya