Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo

Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo merupakan keturunan ke-17 dari salah satu empu majapahit yang bernama Empu Tumenggung Supodriyo. Ia merupakan seorang pembuat keris. Kerahliannya membuat keris terasah sejak ia membatu ayahnya, Epu Djeno Harumbrodjo pada 1975. Sungkowo memang dinobatkan sebagai pewaris keterampilan dan ilmu leluhurnya. ia mengenal keris dari kakeknya yang bernama Empu Supowinangung, empu keris abdi dalem kepatihan Keraton Kesultanan Yogyakarta.[1]

Sepeninggalan Empu Djono tahun 2006, barulah Sungkowo fokus dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang empu. Dia lebih banyak mencurahkan waktunya sebagai empu keris daripada pekerjaannya di Depertemen Perindustrian Balai Kajian dan Batik DIY. Ia sering membolos dari pekerjaann itu sampai tiba masa pensiunnya Oktober 2009.

Seperti yang dianut bapaknya, Empu Sungkowo selalu mengadakan selamatan dan sesaji pada saat akan menggarap kerisnya, menyempuh, dan mewarangi. Ia pun berpuasa serta tidak tidur pada hari-hari tertentu. Salah satu pantangan dari pancernya, Empu Supodriyo, pada hari-hari tertentu tidak diperbolehkan bagi keturunannya menjalani segala aktivitas pembuatan keris. Apabila dilanggar, akan membawa dampak buruk atau karya keris tersebut menjadi bubrah.

Dalam penentuan pamor maupun tangguh yang akan dibuat, Empu Sungkowo juga harus melihat posisi sosial atau sosial masyarakat atau orang yang ingin memesan keris. Dicontohkan saja kebanyakan untuk golongan petani, pamor yang cocok adalah beres wutah ini membawa kemakmuran bagi yang membawanya. Sementara pamor dan tangguh lainnya berbeda apabila digunakan oleh pejabat. Berbrda dan raja, ia diperbolehkan memiliki semua pamor dan tangguh.

Keris karya Sungkowo dimiliki oleh banyak masyaraka lokal baik di wilayah Yogyakarta maupun daerah lain di Indonesia. Beberapa kaarya Empu Sungkowo ialah Duta Besar Spanyol, Venezuela, dan Amerika Serikat.

Referensi

  1. ^ M. Dahlan, Muhidin (2012). Almanak Seni Rupa Indonesia. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 514. 
Kembali kehalaman sebelumnya