Ki Empu Djeno Harumbrodjo
Masa KecilDilahirkan pada 8 Juli 1929, Empu Djeno merupakan anak bungsu dari Ki Supowinangun, pembuat keris Kepatihan Keraton Yogyakarta. Empu Djeno merupakan keturunan ke-15 dari Empu Supa atau dikenal sebagai Empu Tumenggung Supodriyo, seorang pembuat keris pada abad ke-13 saat pemerintahan Kerajaan Majapahit.[5] Sejak usia 15 tahun, Empu Djeno telah membantu ayahnya membuat keris benda keramat lainnya. Pada tahun 1963, ayahnya meninggal dunia dan sejak saat itu Empu Djeno mendapatkan tiga mimpi yang sama, yaitu ayahnya menyuruh Empu Djeno menempa besi dan membuat keris. Sejak saat itu, dia berniat mewariskan pekerjaan keluarga, yaitu menjadi pembuat keris (Empu Keris). Pada tahin 1970, bersama dengan dua saudaranya, Yoso Pangarso dan Genyodiharjo, Empu Djeno mulai mencoba-coba teknik pembuatan keris di Dusun Jitar, Sumberagung, Moyudan, Sleman. Hal ini dikarenakan ayahnya belum pernah mengajarkan teknik pembuatan keris secara khusus. Pada tahun 1977, Empu Djeno pindah ke Dusun Gatak, Sleman, dan disinilah dia mulai membuat sendiri peralatan kerjanya.[1] Proses Pembuatan KerisSebagai benda yang dipercaya memiliki kekuatan kesaktian, sebuah keris dapat memiliki kekuatan magis yang ditentukan oleh permintaan si pembuat keris dan pemiliknya. Dalam setahun, Empu Djeno hanya dapat membuat kurang lebih dua keris. Saat membuat keris, Empu Djeno memerlukan data pelanggan yang di antaranya meliputi hari dan tanggal lahir, pekerjaan, dan akan lebih baik bila dia dapat bertemu dengan pelanggan langsung sehingga dapat mengetahui karakter pelanggannya. Dua hal yang harus dipersiapkan dalam pembuatan keris adalah persiapan material dan spiritual. Persiapan material meliputi 12 kg besi, 0.5 kg nikel, 100 gram meteorit, dan 50 kantong arang kayu jati. Setelah diolah menjadi kodokan (bentuk dasar) keris, bahan-bahan tersebut menyusut menjadi sekitar 1 kg akibat proses pemanasan dan penempaan.[6] Bentuk keris yang telah selesai, beratnya tinggal ± 300 gram. Secara spiritual, persiapan yang harus dilakukan adalah puasa, meditasi, tidak tidur selama beberapa hari, dan tindakan spiritual lainnya, seperti tapa brata dan upacara sesaji. Intinya, berdoa kepada Tuhan YME agar proses kerja dan hasilnya sesuai dengan rencana. Pada proses awal pembuatan keris, potongan besi akan dibakar hingga memanjang mencapai ukuran tertentu dan kemudian dilipat menjadi dua. Proses penempaan dan pelipatan ini diulang berkali-kali hingga mencapai jumlah lipatan yang diinginkan atau tergantung dari model (disebut juga tangguh) keris itu sendiri. Untuk menciptakan model (tangguh) Blambangan, Empu Djeno perlu membuat 16 lipatan, sedangkan untuk tangguh Mataram dibutuhkan 256 lipatan, dan untuk tangguh Sendang Sedayu harus terdiri dari 4.096 lipatan. Setelah mencapai jumlah lipatan yang diinginkan, sebilah baja disisipkan pada bagian tengah besi tempaan tersebut sebagai penguat. Umumnya keris memiliki bentuk lurus atau berkelok yang disebut keris Luk. Setelah lempengan dibentuk sesuai keinginan, Empu Djeno kemudian melakukan pengikiran untuk menciptakan guratan yang disebut pamor pada keris. Guratan tersebut akan terlihat jelas setelah dibasuh dengan campuran arsenikum dan jeruk nipis.[6] Beberapa keris buatan Empu Djeno adalah: Jangkung, Jalak, Pendowo, Luk Gangsal, Sempono Luk Pitu, Penimbal Luk Songo, Sabuk Inten Luk Sewelas, dan Palung Sari Teluk Lelulas.[1] Beberapa pameran yang pernah diikuti oleh Empu Djeno adalah pameran di Keraton Yogyakarta (1984-1988), Sumberagung (1977), Universitas Gajah Mada (1980), Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung (September 1999). Selain itu, dia juga pernah memamerkan karyanya di H. Ambarukmo, SMP Muh. Gedongan, Museum Sonobudoyo, TMII, dan secara rutim dalam perayaan Sekaten di Keraton Yogyakarta.[3] Empu Djeno sering mengajarkan keterampilan pembuatan keris kepada generasi muda di tempat tinggalnya dan pada tahun 2006, dia mewariskan ketrampilannya ke anaknya, yaitu Empu Sungkowo. Pelajaran praktik pembuatan keris juga diberikan Empu Djeno di Institut Seni Indonesia dan program Profil Budaya di TVRI.[3] PenghargaanBeberapa penghargaan yang pernah diterima oleh Empu Djeno adalah penghargaan dari Kedaulatan Rakyat atas kontribusinya dalam melestarikan budaya leluhur (2004) dan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma (2003). Selain itu, Empu Djeno juga pernah memperoleh Piagam dan Plakat Seni Cabang Tosan Aji dari Pemda DI Yogyakarta pada tahun 1985 serta piagam dari Keraton Yogyakarta.[3] Referensi
|