Ketahanan pangan

Pertumbuhan produksi pangan per kapita selalu meningkat sejak tahun 1961. Sumber: Food and Agriculture Organization.
Kuburan massal anak-anak yang meninggal karena kelaparan di Afrika Timur
Peta kerawanan pangan ekstrem.[1]

Ketahanan pangan atau (keter)jaminan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.[2] Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya. Penilaian ketahanan pangan dibagi menjadi keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko. Meski berbagai negara sangat menginginkan keswadayaan secara perorangan untuk menghindari risiko kegagalan transportasi, namun hal ini sulit dicapai di negara maju karena profesi masyarakat yang sudah sangat beragam dan tingginya biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan.[3] Kebalikannya, keswadayaan perorangan yang tinggi tanpa perekonomian yang memadai akan membuat suatu negara memiliki kerawanan produksi.

World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.[2]

Kebijakan sebuah negara dapat mempengaruhi akses masyarakat kepada bahan pangan, seperti yang terjadi di India. Majelis tinggi India menyetujui rencana ambisius untuk memberikan subsidi bagi dua pertiga populasi negara itu. Rancangan Undang-Undang Ketahanan Pangan ini mengusulkan menjadikan pangan sebagai hak warga negara dan akan memberikan lima kilogram bahan pangan berharga murah per bulan untuk 800 juta penduduk miskinnya.[4]

Sejarah

Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi yang terkait dengan ketersediaan bahan pangan secara berkelanjutan. Kekhawatiran terhadap ketahanan pangan telah ada dalam sejarah. Sejak 10 ribu tahun yang lalu lumbung telah digunakan di Tiongkok dengan kekuasaan penggunaan secara terpusat di peradaban di Tiongkok Kuno dan Mesir Kuno. Mereka melepaskan suplai pangan di saat terjadinya kelaparan. Namun ketahanan pangan hanya dipahami pada tingkat nasional, dengan definisi bahwa negara akan aman secara pangan jika produksi pangan meningkat untuk memenuhi jumlah permintaan dan kestabilan harga. Definisi baru mengenai ketahanan pangan dibuka pada tahun 1966 di World Food Summit yang menekankan ketahanan pangan dalam konteks perorangan, bukan negara.[5][6]

Pilar ketahanan pangan

Ketersediaan

Kambing dapat menjadi sebuah solusi permasalahan ketahanan pangan global karena mudah dipelihara

Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui produksi, distribusi, dan pertukaran.[7] Produksi pangan ditentukan oleh berbagai jenis faktor, termasuk kepemilikan lahan dan penggunaannya; jenis dan manajemen tanah; pemilihan, pemuliaan, dan manajemen tanaman pertanian; pemuliaan dan manajemen hewan ternak; dan pemanenan.[8] Produksi tanaman pertanian dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan curah hujan.[7] Pemanfaatan lahan, air, dan energi untuk menumbuhkan bahan pangan sering kali berkompetisi dengan kebutuhan lain.[9] Pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat berubah menjadi pemukiman atau hilang akibat desertifikasi, salinisasi, dan erosi tanah karena praktik pertanian yang tidak lestari.[9]

Produksi tanaman pertanian bukanlah suatu kebutuhan yang mutlak bagi suatu negara untuk mencapai ketahanan pangan. Jepang dan Singapura menjadi contoh bagaimana sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya alam untuk memproduksi bahan pangan namun mampu mencapai ketahanan pangan.[3][10]

Distribusi pangan melibatkan penyimpanan, pemrosesan, transportasi, pengemasan, dan pemasaran bahan pangan.[8] Infrastruktur rantai pasokan dan teknologi penyimpanan pangan juga dapat mempengaruhi jumlah bahan pangan yang hilang selama distribusi.[9] Infrastruktur transportasi yang tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan harga hingga ke pasar global.[9] Produksi pangan per kapita dunia sudah melebihi konsumsi per kapita, namun di berbagai tempat masih ditemukan kerawanan pangan karena distribusi bahan pangan telah menjadi penghalang utama dalam mencapai ketahanan pangan.[10]

Akses

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.[7] PBB menyatakan bahwa penyebab kelaparan dan malagizi sering kali bukan disebabkan oleh kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan pangan karena kemiskinan.[11] Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau rumah tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan.[12] Kemampuan akses bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri.[13] Rumah tangga dengan sumber daya yang cukup dapat mengatasi ketidakstabilan panen dan kelangkaan pangan setempat serta mampu mempertahankan akses kepada bahan pangan.[10]

Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. (1) Akses langsung, yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri, (2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga membeli bahan pangan yang diproduksi di tempat lain.[8] Lokasi dapat mempengaruhi akses kepada bahan pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah tangga tersebut.[13] Meski demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan pangan tidak selalu menyebabkan seseorang membeli bahan pangan tersebut karena ada faktor selera dan budaya.[12] Demografi dan tingkat edukasi suatu anggota rumah tangga juga gender menentukan keinginan memiih bahan pangan yang diinginkannya sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang akan dibeli.[13] USDA menambahkan bahwa akses kepada bahan pangan harus tersedia dengan cara yang dibenarkan oleh masyarakat sehingga makanan tidak didapatkan dengan cara memungut, mencuri, atau bahkan mengambil dari cadangan makanan darurat ketika tidak sedang dalam kondisi darurat.[14]

Pemanfaatan

Ketika bahan pangan sudah didapatkan, maka berbagai faktor mempengaruhi jumlah dan kualitas pangan yang dijangkau oleh anggota keluarga. Bahan pangan yang dimakan harus aman dan memenuhi kebutuhan fisiologis suatu individu.[12] Keamanan pangan mempengaruhi pemanfaatan pangan dan dapat dipengaruhi oleh cara penyiapan, pemrosesan, dan kemampuan memasak di suatu komunitas atau rumah tangga.[7][8] Akses kepada fasilitas kesehatan juga mempengaruhi pemanfaatan pangan karena kesehatan suatu individu mempengaruhi bagaimana suatu makanan dicerna.[8] Misal keberadaan parasit di dalam usus dapat mengurangi kemampuan tubuh mendapatkan nutrisi tertentu sehingga mengurangi kualitas pemanfaatan pangan oleh individu.[10] Kualitas sanitasi juga mempengaruhi keberadaan dan persebaran penyakit yang dapat mempengaruhi pemanfaatan pangan[8] sehingga edukasi mengenai nutrisi dan penyiapan bahan pangan dapat mempengaruhi kualitas pemanfaatan pangan.[10]

Stabilitas

Stabilitas pangan mengacu pada kemampuan suatu individu dalam mendapatkan bahan pangan sepanjang waktu tertentu. Kerawanan pangan dapat berlangsung secara transisi, musiman, ataupun kronis (permanen).[8] Pada ketahanan pangan transisi, pangan kemungkinan tidak tersedia pada suatu periode waktu tertentu.[12] Bencana alam dan kekeringan mampu menyebabkan kegagalan panen dan mempengaruhi ketersediaan pangan pada tingkat produksi.[8][12] Konflik sipil juga dapat mempengaruhi akses kepada bahan pangan.[12] Ketidakstabilan di pasar menyebabkan peningkatan harga pangan sehingga juga menyebabkan kerawanan pangan. Faktor lain misalnya hilangnya tenaga kerja atau produktivitas yang disebabkan oleh wabah penyakit. Musim tanam mempengaruhi stabilitas secara musiman karena bahan pangan hanya ada pada musim tertentu saja.[8] Kerawanan pangan permanen atau kronis bersifat jangka panjang dan persisten.[12]

Stabilitas pangan merupakan taraf tertinggi dari tingkatan kepemilikan atau penguasaan pangan. Urutan tingkatan yang dimaksud mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah pertama: ketahanan pangan, kedua: kemandirian pangan, dan ketiga: ketangguhan atau stabilitas pangan.[butuh rujukan]

Tantangan untuk mencapai ketahanan pangan

Erosi tanah; angin meniupkan lapisan tanah atas yang kering

Degradasi lahan

Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah dan penurunan hasil.[15] Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia terdegradasi secara serius.[16] Di Afrika, jika kecenderungan degradasi tanah terus terjadi, maka benua itu hanya mampu memberi makan seperempat penduduknya saja pada tahun 2025.[17]

Hama dan penyakit

hama dan penyakit mampu mempengaruhi produksi budi daya tanaman dan peternakan sehingga memiliki dampak bagi ketersediaan bahan pangan. Contoh penyakit tanaman Ug99, salah satu tipe penyakit karat batang pada gandum dapat menyebabkan kehilangan hasil pertanian hingga 100%. Penyakit ini telah ada di berbagai negara di Afrika dan Timur Tengah. Terganggunya produksi pangan di wilayah ini diperkirakan mampu mempengaruhi ketahanan pangan global.[18][19][20]

Keanekaragaman genetika dari kerabat liar gandum dapat digunakan untuk memperbarui varietas modern sehingga lebih tahan terhadap karat batang. Gandum liar ini dapat diseleksi di habitat aslinya untuk mencari varietas yang tahan karat, lalu informasi genetikanya dipelajari. Terakhir varietas modern dan varietas liar disilangkan dengan pemuliaan tanaman modern untuk memindahkan gen dari varietas liar ke varietas modern.[21][22]

Krisis air global

Kanal irigasi telah menjadikan kawasan padang pasir yang kering di Mesir menjadi lahan pertanian

Berbagai negara di dunia telah melakukan importasi gandum yang disebabkan oleh terjadinya defisit air,[23] dan kemungkinan akan terjadi pada negara besar seperti China dan India.[24] Tinggi muka air tanah terus menurun di beberapa negara dikarenakan pemompaan yang berlebihan. China dan India telah mengalaminya, dan negara tetangga mereka (Pakistan, Afghanistan, dan Iran) telah terpengaruh hal tersebut. Hal ini akan memicu kelangkaan air dan menurunkan produksi tanaman pangan.[25] Ketika produksi tanaman pangan menurun, harga akan meningkat karena populasi terus bertambah. Pakistan saat ini masih mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya, namun dengan peningkatan populasi 4 juta jiwa per tahun, Pakistan kemungkinan akan melirik pasar dunia dalam memenuhi kebutuhan pangannya, sama seperti negara lainnya yang telah mengalami defisit air seperti Afghanistan, Ajlazair, Mesir, Iran, Meksiko, dan Pakistan.[26][27]

Secara regional, kelangkaan air di Afrika adalah yang terbesar dibandingkan negara lainnya di dunia. Dari 800 juta jiwa, 300 juta penduduk Afrika telah hidup di lingkungan dengan stres air.[28] Karena sebagian besar penduduk Afrika masih bergantung dengan gaya hidup berbasis pertanian dan 80-90% penduduk desa memproduksi pangan mereka sendiri, kelangkaan air adalah sama dengan hilangnya ketahanan pangan.[29]

Investasi jutaan dolar yang dimulai pada tahun 1990an oleh Bank Dunia telah mereklamasi padang pasir dan mengubah lembah Ica yang kering di Peru menjadi pensuplai asparagus dunia. Namun tinggi muka air tanah terus menurun karena digunakan sebagai irigasi secara terus menerus. Sebuah laporan pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa industri ini tidak bersifat lestari.[30] Mengubah arah aliran air sungai Ica ke lahan asparagus juga telah menyebabkan kelangkaan air bagi masyarakat pribumi yang hidup sebagai penggembala hewan ternak.[31]

Perebutan lahan

Kepemilikan lahan lintas batas negara semakin meningkat. Perusahaan Korea Utara Daewoo Logistics telah mengamankan satu bidang lahan yang luas di Madagascar untuk mebudidayakan jagung dan tanaman pertanian lainnya untuk produksi biofuel. Libya telah mengamankan 250 ribu hektare lahan di Ukraina dan sebagai gantinya Ukraina mendapatkan akses ke sumber gas alam di Libya. China telah memulai eksplorasi lahan di sejumlah tempat di Asia Tenggara. Negara di semenanjung Arab telah mencari lahan di Sudan, Ethiopia, Ukraina, Kazakhstan, Pakistan, Kamboja, dan Thailand. Qatar berencana menyewa lahan di sepanjang panyai di Kenya untuk menumbuhkan sayuran dan buah, dan sebagai gantinya akan membangun pelabuhan besar dekat Lamu, pulau di samudra Hindia yang menjadi tujuan wisata.[32][33][34]

Perubahan iklim

Fenomena cuaca yang ekstrem seperti kekeringan dan banjir diperkirakan akan meningkat karena perubahan iklim terjadi.[35] Kejadian ini akan memiliki dampak di sektor pertanian. Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai Nil akan menjadi padang pasir di mana aktivitas budi daya tidak dimungkinkan karena keterbatasan air.[36] Dampak dari cuaca ekstrem mencakup perubahan produktivitas, gaya hidup, pendapatan ekonomi, infrastruktur, dan pasar. Ketahanan pangan pada masa depan akan terkait dengan kemampuan adaptasi budi daya bercocok tanam masyarakat terhadap perubahan iklim. Di Honduras, perempuan Garifuna membantuk meningkatkan ketahanan pangan lokal dengan menanam tanaman umbi tradisional sambil membangun metode konservasi tanah, melakukan pelatihan pertanian organik dan menciptakan pasar petani Garifuna. Enam belas kota telah bekerja sama membangun bank benih dan peralatan pertanian. Upaya untuk membudidayakan spesies pohon buah liar di sepanjang pantai membantu mencegah erosi tanah.[37]

Diperkirakan 2.4 miliar penduduk hidup di daerah tangkapan air hujan di sekitar Himalaya.[38] Negara di sekitar Himalaya (India, Pakistan, China, Afghanistan, Bangladesh, Myanmar, dan Nepal) dapat mengalami banjir dan kekeringan pada dekade mendatang.[39] Bahkan di India, sungan Ganga menjadi sumber air minum dan irigasi bagi 500 juta jiwa.[40][41] Sungai yang bersumber dari gletser juga akan terpengaruh.[42] Kenaikan permukaan laut diperkirakan akan meningkat seiring meningkatnya temperatur bumi, sehingga akan mengurangi sejumlah lahan yang dapat digunakan untuk pertanian.[43][44]

Semua dampak dari perubahan iklim ini berpotensi mengurangi hasil pertanian dan peningkatan harga pangan akan terjadi. Diperkirakan setiap peningkatan 2.5% harga pangan, jumlah manusia yang kelaparan akan meningkat 1%.[45] Berubahnya periode dan musim tanam akan terjadi secara drastis dikarenakan perubahan temperatur dan kelembaban tanah.[46]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ [1][pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b FAO Agricultural and Development Economics Division (June 2006). "Food Security" (PDF) (2). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-05-18. Diakses tanggal June 8, 2012. 
  3. ^ a b Food self-sufficiency rate fell below 40% in 2010 Diarsipkan 2012-04-26 di Wayback Machine., Japan Times, Aug. 12, 2011
  4. ^ "RUU Pangan Kontroversial India Disetujui". BBC. 3 September 2013. 
  5. ^ Raj Patel (20 Nov 2013). "Raj Patel: 'Food sovereignty' is next big idea". Financial Times. Diakses tanggal 17 Jan 2014. 
  6. ^ Food and Agriculture Organization (November 1996). "Rome Declaration on Food Security and World Food Summit Plan of Action". Diakses tanggal 26 October 2013. 
  7. ^ a b c d Gregory, P. J.; Ingram, J. S. I.; Brklacich, M. (29 November 2005). "Climate change and food security". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 360 (1463): 2139–2148. doi:10.1098/rstb.2005.1745. 
  8. ^ a b c d e f g h i FAO (1997). "The food system and factors affecting household food security and nutrition". Agriculture, food and nutrition for Africa: a resource book for teachers of agriculture. Rome: Agriculture and Consumer Protection Department. Diakses tanggal 15 October 2013. 
  9. ^ a b c d Godfray, H. C. J.; Beddington, J. R.; Crute, I. R.; Haddad, L.; Lawrence, D.; Muir, J. F.; Pretty, J.; Robinson, S.; Thomas, S. M.; Toulmin, C. (28 January 2010). "Food Security: The Challenge of Feeding 9 Billion People". Science. 327 (5967): 812–818. doi:10.1126/science.1185383. 
  10. ^ a b c d e Tweeten, Luther (1999). "The Economics of Global Food Security". Review of Agricultural Economics. 21 (2): 473–488. Diakses tanggal 15 October 2013. 
  11. ^ United Nations Committee on Economic, Social, and Cultural Rights (1999). The right to adequate food. Geneva: United Nations. 
  12. ^ a b c d e f g Ecker and Breisinger (2012). The Food Security System (PDF). Washington, D.D.: International Food Policy Research Institute. hlm. 1–14. 
  13. ^ a b c Garrett, J and Ruel, M (1999). Are Determinants of Rural and Urban Food Security and Nutritional Status Different? Some Insights from Mozambique (PDF). Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute. Diakses tanggal 15 October 2013. 
  14. ^ "Food Security in the United States: Measuring Household Food Security". USDA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-09-18. Diakses tanggal 2008-02-23. 
  15. ^ "The Earth Is Shrinking: Advancing Deserts and Rising Seas Squeezing Civilization". Earth-policy.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-10. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  16. ^ Ian Sample in science correspondent (August 30, 2007). "Global food crisis looms as climate change and population growth strip fertile land". The Guardian. UK. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  17. ^ "Africa may be able to feed only 25% of its population by 2025". News.mongabay.com. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  18. ^ Robin McKie and Xan Rice (April 22, 2007). "Millions face famine as crop disease rages". The Guardian. UK. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  19. ^ "Billions at risk from wheat super-blight". New Scientist Magazine (2598): 6–7. April 3, 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-09. Diakses tanggal 2007-04-19. 
  20. ^ "IRAN: Killer fungus threatens wheat production in western areas". Alertnet.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-09-18. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  21. ^ Hanan Sela, University of Haifa, Israel See DIVERSEEDS short video Diarsipkan 2009-03-05 di Wayback Machine.
  22. ^ Vincent HA, Wiersema J, Dobbie SL, Kell SP, Fielder H, Castañeda Alvarez NP, Guarino L, Eastwood R, Leόn B, Maxted N. (2012), A prioritised crop wild relative inventory to help underpin global food security. (in preparation) [pranala nonaktif permanen]
  23. ^ "Water Scarcity Crossing National Borders". Earth-policy.org. September 27, 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-07-08. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  24. ^ "India grows a grain crisis". Asia Times. July 21, 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-21. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  25. ^ "Outgrowing the Earth". Globalenvision.org. November 23, 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-11. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  26. ^ "The Food Bubble Economy". I-sis.org.uk. April 12, 2002. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  27. ^ Global Water Shortages May Lead to Food Shortages-Aquifer Depletion Diarsipkan 2007-07-04 di Archive.is. Greatlakesdirectory.org.
  28. ^ "Conference on Water Scarcity in Africa: Issues and Challenges". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-01. Diakses tanggal 18 March 2013. 
  29. ^ "Coping With Water Scarcity: Challenge of the 21st Century" (PDF). Diakses tanggal 18 March 2013. 
  30. ^ Felicity Lawrence (September 15, 2010). "How Peru's wells are being sucked dry by British love of asparagus | Environment". The Guardian. UK. Diakses tanggal 2011-03-16. 
  31. ^ Lawrence, Felicity (September 15, 2010). "Big business clear winner in Peru's asparagus industry | Global development | guardian.co.uk". The Guardian. UK. Diakses tanggal 2011-03-16. 
  32. ^ Rich countries launch great land grab to safeguard food supply, The Guardian, November 22, 2008
  33. ^ "Arable Land, the new gold rush : African and poor countries cautioned". En.afrik.com. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  34. ^ "Futehally, Ilmas, The Geopolitics of Food, Virtue Science". Virtuescience.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-01-08. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  35. ^ Harvey, Fiona. 2011. Extreme weather will strike as climate change takes hold, IPCC warns
  36. ^ Strategic Foresight Group (March 2013). "Blue Peace for the Nile". 
  37. ^ Climate & Development Knowledge Network. 2012. Managing Climate Extremes and Disasters in the Agricultural Sector: Lessons from the IPCC SREX Report
  38. ^ "Big melt threatens millions, says UN". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-19. Diakses tanggal 2014-01-05. 
  39. ^ [email protected] (July 24, 2007). "Glaciers melting at alarming speed". People's Daily. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  40. ^ "Ganges, Indus may not survive: climatologists". Rediff.com. December 31, 2004. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  41. ^ Singh, Navin (November 10, 2004). "Himalaya glaciers melt unnoticed". BBC News. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  42. ^ "Glaciers Are Melting Faster Than Expected, UN Reports". ScienceDaily. March 17, 2008. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  43. ^ "Issues In Food Security" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-11-06. Diakses tanggal November 13, 2011. 
  44. ^ Loading the Climate Dice July 22, 2012 Paul Krugman
  45. ^ "Impacts of Climate Change on Food Security". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-16. Diakses tanggal 2014-01-05. 
  46. ^ "Issues In Climate Change" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-11-06. Diakses tanggal November 13, 2011. 

Bahan bacaan terkait

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya