Kerajaan Rappang

Kerajaan Rappang adalah kerajaan yang terletak di kawasan timur Nusantara.[1] Masyarakat Kerajaan Rappang bekerja sebagai petani, terutama di bidang produksi beras.[2] Kerajaan Rappang dipimpin oleh Arung Rappang yang bernama Lapakallongi.[3] Peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan Kerajaan Rappang yaitu fragmen keramik Vietnam (abad 14-15), fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16), dan fragmen keramik Ming (abad 15-16). Serta masjid tua, mata uang kuno berbentuk keping, dan makam yang luas.[4]

Kehidupan masyarakat

Masyarakat Kerajaan Rappang bekerja sebagai petani, terutama di bidang produksi beras. Keunggulan pada surplus beras mulai terindikasi sekitar abad 15-16.[2] Kerajaan Rappang dan Kerajaan Sidenreng menjalin hubungan untuk kepentingan agrikultur yang dalam hal ini padi/beras.[5] Kerajaan Rappang adalah salah satu bagian dari lima gabungan kerajaan yang terbentuk pada abad ke-15 Masehi. Kerajaan ini terkenal sebagai penghasil beras terbesar di Sulawesi Selatan dan menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni Luwu, Bone, dan Gowa.[6]

Politik

Kerajaan Rappang merupakan salah satu Kerajaan yang menentang pemerintah Hindia Belanda dan ingin menguasai perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara, namun usaha yang dilakukan tidak berhasil.[1] Pasukan Hindia Belanda dengan kekuatan tiga kompi pasukan infantri dan dua kompi marsose yang berkedudukan di Parepare mulai melancarakan serangan militer ter-hadap Kerajaan Rappang dan Sidenreng di bawah pimpin oleh Letkol Benne-kom bersama Residen Brugman, berhasil menduduki Kerajaan Rappang. [7]

Kerajaan Rappang menguasai daerah Kulo, Benteng, Baranti, Panrong, Manisa, Dea, dan Simpo. Wilayahnya juga berbatasan dengan Massenrempulu (Enrekang), Sidenreng di sebelah utara, Si-denreng di sebelah timur dan selatan, serta Alitta dan Sawitto di sebelah barat Kerajaan Alitta yang merupakan kerajaan terkecil di Ajataparang. Luas kera-jaan ini diperkirakan tidak melebihi 90 paal persegi. Kerajaan ini berbata-san dengan Sawitto di sebelah utara, Sidenreng dan Rappang di sebelah timur, Sidenreng dan Suppa di sebelah selatan, serta Sawitto dan Suppa di sebelah barat.[8]

Raja-raja

Kerajaan Rappang dipimpin oleh Arung Rappang yang bernama Lapakallongi.[3] Pada puncak kejayaannya, Kerajaan Rappang adalah salah satu bagian dari konfederasi persekutuan Lima Ajatappareng yang dibentuk pada masa kekuasaan Lapancaitana menjadi Datu Suppa ke-7 (1582-1603), yang merangkap sebagai Addatuang Sawitto ke-7 dan arung Rappang ke-7. Pada tahun 1582, Lapancaitana mengundang dua raja Ajatappareng yaitu Addatuang Sidenreng Lapateddungi (1523-1564) pada tahun 1544, ia terlebih dahulu singgah di Suppa sebelum melanjutkan perjalanan ke Siang dan Gowa. Versi lain menceritakan bahwa putra sulung berkuasa di Sawitto anak ke-dua berkuasa di Sidenreng dan yang bungsu berkuasa di Alitta. Ke dua versi ini menceritakan bahwa anak ke-tiga berkuasa di Rappang[4]

Peninggalan arkeologi

Peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan Kerajaan Rappang yaitu fragmen keramik Vietnam (abad 14-15), fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16), dan fragmen keramik Ming (abad 15-16). Jejak arkeologis lain yang berkaitan dengan Kerajaan Rappang adalah banyak dan luasnya sebaran makam, bukan hanya makam raja-raja lokal akan tetapi juga ditemukan makam kuna ulama dari luar Indonesia antara lain dari Mekkah, Turki dan masih ada dikenal dari Arab Saudi. Selain makam juga terdapat masjid tua, mata uang kuno berbentuk keping, diantaranya adalah mata uang bertuliskan huruf Arab berangka tahun 1500-an tertera gambar ayam jantan[4]

Dan juga fragmen keramik Vietnam (abad 14-15) dan fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16) di kerajaan Sidenreng dan Rappang[9]

Referensi

  1. ^ a b Amir, Masgaba, dan Kila 2019, hlm. 73.
  2. ^ a b Wahyuni 2013, hlm. 468.
  3. ^ a b Muhaeminah dan Makmur 2015, hlm. 129.
  4. ^ a b c Muhaeminah dan Makmur 2015, hlm. 133.
  5. ^ Wahyuni 2013, hlm. 469.
  6. ^ Muhaeminah dan Makmur 2015, hlm. 126.
  7. ^ Amir, Masgaba, dan Kila 2019, hlm. 76.
  8. ^ Amir, Masgaba, dan Kila 2019, hlm. 72.
  9. ^ Muhaeminah dan Makmur 2015, hlm. 131.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya