Kepulauan SakishimaKepulauan Sakishima (先島諸島 atau 先島群島 , Sakishima-shotō atau Sakishima-guntō) adalah gugus kepulauan di barat daya Kepulauan Ryukyu yang terdiri dari Kepulauan Miyako dan Kepulauan Yaeyama. Kepulauan ini berada di bawah administrasi Prefektur Okinawa, Jepang. Istilah Kepulauan Sakishima juga kadang-kadang mencakup Kepulauan Senkaku yang tidak berpenghuni, dan diklaim oleh RRT dan Taiwan. GeografiKepulauan Sakishima terdiri dari 44 pulau, 20 di antaranya berpenghuni.[1] Tiga pulau terluas di Kepulauan Sakishima adalah Pulau Iriomote (289,27 km²), Pulau Ishigaki (222,63 km²), dan Pulau Miyako (159,25 km²).[2] Pulau berpenghuni
SejarahKepulauan Sakishima pertama kali disebut dalam buku sejarah Shoku Nihongi (797) yang mencatat peristiwa tahun 714 tentang 52 orang penduduk dari Amami (奄美 ), Shigaki (信覚 ), Kumi (球美 ), dan pulau lainnya yang dijadikan upeti untuk Dazaifu oleh Ō no Ason Okeji (太朝臣遠建治 ). Shigaki kemungkinan merujuk kepada Pulau Ishigaki (石垣 ) sekarang, Kumi untuk Pulau Kume (久米 ), dan Komi (古見 ) adalah sebuah permukiman di Iriomote.[3] Sejarah Yuan (1370) mencatat adanya orang dari Mìyágǔ (密牙古) yang terdampar di Wenzhou pada tahun 1317 yang kemungkinan adalah catatan sejarah pertama dari Miyako (宮古 ).[3] Alat-alat batu dan alat-alat kerang dari 2.500 tahun lampau ditemukan dari ekskavasi bukit kerang di Kepulauan Sakishima. Alat-alat kerang dari periode yang sama juga ditemukan di Taiwan dan Filipina, tapi tidak ditemukan di Kepulauan Okinawa atau Amami. Oleh karena itu, kepulauan ini diperkirakan memiliki hubungan budaya yang lebih dekat dengan Taiwan, Filipina, dan wilayah lainnya. Barang tembikar mulai dibuat pada abad ke-11. Pada abad ke-15, di kepulauan ini bermunculan pemimpin setempat yang disebut anji. Pada waktu yang bersamaan, penguasa politik di Okinawa mulai memperbesar pengaruh mereka setelah menyadari pentingnya kepulauan terluar sebagai pelabuhan persinggahan pada rute pelayaran dagang. Yohanashiidu Tuyumya (与那覇勢頭豊見親 ) mempersatukan Miyako pada tahun 1365, dan membayar upeti kepada Raja Satto dari Kerajaan Chūzan di Okinawa.[4] Pada tahun 1500, anji dari Pulau Ishigaki bernama Oyake Akahachi (遠弥計赤蜂 atau 於屋計赤蜂 ) memimpin perlawanan terhadap Kerajaan Ryukyu. Raja Shō Shin menjawabnya dengan mengirimkan pasukan di bawah pimpinan anji dari Miyako bernama Nakasone Tuyumya (仲宗根豊見親 ). Setelah pemberontakan Oyake berhasil dipadamkan oleh Nakasone, Kepulauan Yaeyama dan Kepulauan Miyako berada di bawah kendali Kerajaan Ryukyu.[4] Pulau Yonaguni berada di bawah pemerintahan Kerajaan Ryukyu pada tahun 1510.[5] Sumber lain mengatakan Yonaguni tetap berdiri sendiri hingga tahun 1522, di bawah pemimpin wanita legendaris San'ai Isoba (サンアイ・イソバ ). Meskipun demikian, keberadaan pemimpin legendaris San'ai Isoba masih diperdebatkan, dan kemungkinan tidak pernah ada. Klan Shimazu dari Domain Satsuma Jepang menginvasi Kerajaan Ryukyu pada tahun 1609. Pada tahun 1637, Domain Satsuma membebani pajak sangat tinggi terhadap Kerajaan Ryukyu sehingga Pemerintah Kerajaan Ryukyu mengenakan pajak kepala terhadap penduduk pria/wanita berusia 15 tahun hingga 50 tahun,[5] tanpa memandang luas lahan pertanian yang dimiliki. Sebagai dampak tekanan kondisi ekonomi yang ekstrem, penduduk Kerajaan Ryukyu melakukan pembunuhan bayi dan cara-cara lain pembatasan populasi. Di Kubura, Pulau Yonaguni terdapat batu karang Kubura Bari. Wanita hamil diminta meloncati celah karang yang lebarnya 3 m (tinggi 7 m) sebagai bentuk pengendalian jumlah penduduk. Wanita yang tidak berhasil meloncat sampai ke seberang, jatuh hingga tewas atau bayi yang dikandungnya meninggal.[6] Penduduk Kepulauan Yaeyama dikenai pajak lebih tinggi dari penduduk Kepulauan Miyako sebagai pembalasan telah mendukung pemberontakan Oyake Akahachi. Kerajaan Ryukyu melarang migrasi penduduk antarpulau, dan mengisolasi mereka sehingga tidak dapat melakukan perlawanan kolektif. Gempa bumi Yaeyama 1771 menyebabkan tsunami yang menewaskan 12.000 orang, atau setengah dari populasi Sakishima. Korban tewas di Kepulauan Yaeyama mencapai 9.000 orang,[5] di Kepulauan Miyako 2.500 orang tewas.[4] Tsunami mengakibatkan salinitas tanah meningkat hingga sering terjadi bencana kelaparan. Populasi Kepulauan Yaeyama terus berkurang hingga awal periode Meiji. Setelah Restorasi Meiji 1872, Pemerintah Jepang membubarkan Kerajaan Ryukyu dan mengintegrasikannya sebagai bagian dari wilayah Jepang. Dinasti Qing menentang tindakan Jepang sekaligus mengklaim kedaulatan atas bekas Kerajaan Ryukyu. Jepang setuju menyerahkan Kepulauan Sakishima sebagai ganti Dinasti Qing memberi status "most favored nation" kepada Jepang dalam Traktat Persahabatan dan Perdagangan Tiongkok-Jepang. Dinasti Qing awalnya setuju, namun perjanjian batal disetujui setelah Li Hongzhang mengajukan keberatan. Dinasti Qing secara efektif melepas klaim kedaulatan atas Kepulauan Ryukyu, termasuk Kepulauan Sakishima, setelah dikalahkan Jepang dalam Perang Tiongkok-Jepang 1894-1995. Seusai perang, Kepulauan Senkaku yang tak berpenghuni juga dimasukkan sebagai wilayah Jepang. Namun berbeda kasus dengan Kepulauan Sakishima, RRT dan Republik Tiongkok Taiwan lalu mengklaim Kepulauan Senkaku dan menyebutnya sebagai Kepulauan Diaoyutai. Pemerintah Jepang lambat melakukan modernisasi Sakishima dibandingkan daratan utama Jepang atau bahkan daratan utama Okinawa. Hingga tahun 1937, Kepulauan Sakishima memakai Waktu Standar Barat (UTC+8), 1 jam lebih awal dibandingkan Waktu Standar Jepang Tengah (UTC+9). Pengumpulan pajak kepala yang membebani penduduk bahkan terus berlanjut hingga zaman Meiji. Pengusaha dari Prefektur Niigata Jissaku Nakamura bersama teknisi pabrik gula Seian Gusukuma, serta perwakilan petani Kama Nishizato dan Mōshi Taira memimpin gerakan penghapusan pajak kepala dan mengajukan petisi ke Pemerintah Meiji dan Parlemen Kekaisaran Jepang. Pajak kepala dihapus sejak tahun 1903 melalui keputusan parlemen tahun 1902.[4] Tidak seperti halnya Kepulauan Okinawa, Sakishima tidak dijadikan medan perang darat selama Perang Dunia II. Namun penduduk menderita akibat serangan udara terhadap Jepang dan bombardemen laut pada tahun 1945. Dimulai pada Juni 1945, Pemerintah Jepang memerintahkan penduduk Sakishima untuk mengungsi ke bagian utara Pulau Ishigaki dan Pulau Iriomote yang merupakan wilayah endemik malaria. Sebagai akibatnya, 3.647 orang tewas akibat malaria. Sebagai perbandingan, serangan udara hanya menewaskan 174 orang. Akibat adanya malaria, Kepulauan Sakishima menjadi berpenduduk jarang. Kawasan ini baru dinyatakan bebas malaria pada tahun 1961. Pada bulan Juni 1945, Kepulauan Sakishima mengalami kevakuman pemerintahan dan militer setelah kekalahan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di Okinawa. Sejumlah tentara garnisun merampok hasil pertanian dari lahan pertanian atau melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk setempat. Sebagai bentuk perlawanan, penduduk Ishigaki membentuk Asosiasi Komunitas Yaeyama yang bertindak sebagai pemerintah darurat. Sejumlah sejarawan menyebut Asosiasi Komunitas Yaeyama sebagai Republik Yaeyama. Pemerintah Pendudukan Amerika Serikat di Kepulauan Ryukyu menyatakan pendirian pemerintahan militer pada Desember 1945, serta memulihkan pemerintahan Subprefektur Miyako dan Subprefektur Yaeyama. Asosiasi penduduk setempat lalu dibubarkan. Perjanjian San Francisco 1952 menegaskan Kepulauan Sakishima sebagai wilayah Amerika Serikat. Kepulauan Sakishima dikembalikan kepada Pemerintah Jepang pada tahun 1972 bersama dengan wilayah lain Prefektur Okinawa. BudayaDi kepulauan ini terdapat tiga bahasa asli, bahasa Miyako di Kepulauan Miyako, bahasa Yonaguni di Yonaguni, dan bahasa Yaeyama di Kepulauan Yaeyama. Ketiganya termasuk rumpun bahasa Ryukyu yang tergolong bahasa Japonik. Referensi
|