Kepulauan Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat
Nama lokal:
Kalano Muraha, Kolano Nguraha (Tidore)
Kalana Fat (Ma'ya)
Pemandangan panorama
Map kepulauan Raja Ampat
Kepulauan Raja Ampat di Indonesia
Kepulauan Raja Ampat
Kepulauan Raja Ampat
Lokasi di Indonesia
Geografi
Koordinat0°14′00″S 130°30′28″E / 0.2333115°S 130.5078908°E / -0.2333115; 130.5078908
KepulauanMelanesia
Jumlah pulau612
Pulau besarPulau Misool
Pulau Salawati
Pulau Batanta
Pulau Waigeo
Luas8,034.44 km2
Pemerintahan
NegaraIndonesia
ProvinsiPapua Barat Daya
Kabupaten dan KotaRaja Ampat dan Sorong
Kependudukan
Penduduk64.141 jiwa (Sensus 2020)[1]
Kepadatan7.98 jiwa/km2
Peta

Kepulauan Raja Ampat adalah gugusan kepulauan yang berlokasi di barat bagian Semenanjung Kepala Burung (Vogelkoop) Pulau Papua. Secara administrasi, gugusan ini berada di bawah Kabupaten Raja Ampat dan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Kepulauan ini sekarang menjadi tujuan para penyelam yang tertarik akan keindahan pemandangan bawah lautnya. Empat gugusan pulau yang menjadi anggotanya dinamakan menurut empat pulau terbesarnya, yaitu Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta.

Asal usul dan sejarah

Ada berbagai asal muasal Raja Ampat menurut mitos masyarakat yang memiliki berbagai versi. Secara garis besar bisa dibedakan menjadi dua, periode setelah tokoh Gurabesi dan sebelum Gurabesi.[2]

Periode sebelum Gurabesi

Menurut versi ini berdasarkan suku Kawe dan Wawiyai seperti yang dicatat Van der Leeden tahun 1979-1980, sebelum Gurabesi berkuasa, wilayah ini sudah memiliki kerajaan lokal dan dipimpin oleh raja yang saling bersaudara bergelar fun. Fun Giwar menguasai Waigeo, fun Tusan menguasai Salawati, dan fun Mustari yang menguasai Misool. Selain itu ada pula saudara keempat fun Kilimuri yang kemudian pergi ke Pulau Seram, saudara kelima fun Sem yang menjelma menjadi makhluk halus, dan Pin Take saudari keenam, dan saudara ketujuh yang membatu di Wawage, Waigeo Selatan. Mereka awalnya hidup bersama di Wawage tetapi kemudian bertengkar dan berpisah.[2]

Selanjutnya dari sejarah tersebut beredar mitos yang dipercaya masyarakat, bahwa saudara perempuan Pin Take hamil tanpa suami. Peristiwa itu menyebabkan saudara-saudaranya malu. Karena itu, dia dihanyutkan oleh saudara-saudaranya ke laut. Pin Take terdampar di Pulau Numfor dan bertemu dengan Manar Maker, seorang tokoh mitos masyarakat Biak-Numfor.[2]

Kemudian Pin Take melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Kurabesi. Ketika dewasa, Kurabesi kembali ke Kali Raja (Wawage) dan bertemu pamannya fun Giwar. Gurabesi, fun Giwar dan anak Giwar yang bernama Mereksopen, membantu Raja Tidore berperang melawan Raja Ternate.[2]

Sebagai hadiah kepada Kurabesi atas kemenangan melawan Ternate, dia dinikahkan dengan putri Sultan Tidore, Boki Taiba. Kurabesi dan istrinya kemudian menetap di Wauyai, Waigeo, Raja Ampat sampai akhir hidupnya.[3][2]

Periode setelah Gurabesi

Salah satu versi seperti yang dicatat F.C. Kamma akhir tahun 1930-an mengatakan, ada pemimpin dari Biak yang bermigrasi ke kepulauan ini, yang bernama Gurabesi (Kurabesi) atau disebut juga Sekfamneri. Dia kemudian bersama-sama dengan penduduk setempat menghentikan ekspansi orang Sawai yang berasal dari Patani, Halmahera Tengah ke kepulauan ini. Tempat orang Sawai berhasil dikalahkan dengan tipu muslihat Gurabesi kemudian dinamakan Bukorsawai (tengkorak orang Sawai) di Waigeo Utara.[2]

Gurabesi sendiri semakin terkenal dengan kepemimpinannya atas pulau-pulau di wilayah ini dan juga dengan petualangannya keluar wilayah Raja Ampat di Seram, Halmahera dan kerajaan di Maluku dalam rangka pengayauan dan perdagangan. Dalam petualangannya mengunjungi Tidore, dia dihadapkan dengan peperangan antara Kesultanan Tidore dengan Kesultanan Jailolo. Atas permintaan bantuan Sultan Tidore, Gurabesi membantu pasukan Tidore mengalahkan Jailolo. Berkat bantuan ini Gurabesi dinikahkan dengan Boki Tabai (putri Sultan Tidore) dan didukung oleh Tidore menjadi raja yang menguasai wilayah kepulauan Raja Ampat, yang memerintah dari Wai-kew, Waigeo. Ia juga akan memberikan sebagian upeti yang diterimanya kepada Tidore setiap musim angin timur (angin pasat). Ekspansi Gurabesi kemudian juga menyebar ke beberapa wilayah di Semenanjung Kepala Burung yang merupakan cikal bakal wilayah Papo-ua Gam Sio (sembilan negeri papoua).[2]

Kurabesi dan Boki Tabai dikisahkan tidak memiliki anak. Pada suaru hari ketika Boki Tabai dan Gurabesi menyusuri sungai Waikeo (Kali Raja di Distrik Tiplol Mayalibit) mereka menemukan beberapa butir telur (ada yang mengatakan enam atau tujuh). Empat butir di antaranya menetas menjadi empat orang pangeran yang berpisah karena pertengkaran atas kura-kura dan masing-masing menjadi raja yang berkuasa di Waigeo, Salawati, Misool Timur di Lilinta, dan Misool Barat di Waigama walau kemudian pergi ke Kalimuri (Seram). Sementara itu, telur kelima menjadi laki-laki tapi kemudian menghilang di alam gaib menjadi hantu, keenam menjadi perempuan, dan ketujuh menjadi menjadi batu Telur Raja (Kapatnai) yang dikeramatkan di Kali Raja.[4][5][2]

Dalam perjalanan sejarah, wilayah Raja Ampat telah lama dihuni oleh masyarakat bangsawan dan menerapkan sistem kerajaan yang terpengaruhi adat Maluku. Raja Ampat menjadi bagian klaim dari Kesultanan Tidore dengan hubungan dengan tokoh Gurabesi. Setelah Kesultanan Tidore takluk dari Belanda, Kepulauan Raja Ampat menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan selanjutnya Indonesia.

Daftar kerajaan

Berikut merupakan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah kepulauan Raja Ampat:[6]

  • Kerajaan Waigeo dengan pusat pemerintahannya di Weweyai, Pulau Waigeo
  • Kerajaan Salawati dengan pusat pemerintahannya di Samate, Pulau Salawati bagian utara.
  • Kerajaan Misool dengan pusat pemerintahannya di Lilinta, Pulau Misool bagian timur kemudian berpindah ke Sel Peleket di sebelah timurnya.
    • Kerajaan Waigama dengan pusat pemerintahan di Waigama, Pulau Misool bagian barat.
  • Kerajaan Sailolof dengan pusat pemerintahannya di Sailolof, Pulau Salawati bagian selatan.

Masyarakat

Masyarakat Kepulauan Raja Ampat umumnya nelayan tradisional yang berdiam di kampung-kampung kecil yang letaknya berjauhan dan berbeda pulau. Mereka adalah masyarakat yang ramah menerima tamu dari luar, apalagi kalau kita membawa oleh-oleh buat mereka berupa pinang ataupun permen. Barang ini menjadi semacam 'pipa perdamaian indian' di Raja Ampat. Acara mengobrol dengan makan pinang disebut juga "Para-para Pinang" sering kali bergiliran satu sama lain saling melempar mob, istilah setempat untuk cerita-cerita lucu.

Mereka adalah pemeluk Islam dan Kristen dan sering kali di dalam satu keluarga atau marga terdapat anggota yang memeluk salah satu dari dua agama tersebut. Hal ini menjadikan masyarakat Raja Ampat tetap rukun walaupun berbeda keyakinan.[7]

Berdasarkan etnis, penduduk Raja Ampat kebanyakan merupakan anggota suku Ma'ya, suku Amber, suku Moi, suku Efpan dan suku Biak yang merupakan pendatang diperkirakan sebelum abad ke 15. Suku Ma'ya memiliki 3 sub-suku, suku Kawei (Selpele dan Salyo, Waigeo Barat), suku Wauyai (Waigeo Selatan), suku Laganyan (Yefnu, Lopintol). Suku Amber awalnya menetap di pedalaman Waigeo sebelum berpindah ke pesisir utara Waigeo, Kabare, dan Teluk Manyalibit. Suku Matbat adalah penduduk asli Pulau Misool, sedangkan suku Moi adalah penduduk asli Pulau Salawati. Suku Moi terbagi atas dua kelompok berdasarkan dialek yaitu dialek Palli di Salawati utara, sub-suku Mocu, Fiawat, Kalobo, Kapatlap dan Solol. Sedangkan dialek Mosenah tinggal di Salawati selatan, sub-suku Madem, Kawit, dan Waliam. Suku Efpan hanya tinggal di kampung Duriankeri yang hanya berjumlah 15 orang pada tahun 1979. Suku Biak yang menetap di Kepulauan Raja Ampat, merupakan sub-suku Beser yang mendiami pulau-pulau Ayau, pesisir utara dan selatan Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Pam, Meoskapal, Pulau Kofiau, dan Pulau Yefman.[8]

Kekayaan sumber daya alam

Terumbu karang di Pulau Piaynemo, Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat merupakan tempat yang sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai objek wisata, terutama wisata penyelaman. Perairan Kepulauan Raja Ampat menurut berbagai sumber, merupakan salah satu dari 10 perairan terbaik untuk diving site di seluruh dunia. Bahkan, mungkin juga diakui sebagai nomor satu untuk kelengkapan flora dan fauna bawah air pada saat ini.

Dr. John Veron, ahli karang dari Australia, misalnya, dalam sebuah situs ia mengungkapkan, Kepulauan Raja Ampat yang terletak di ujung paling barat Pulau Papua, sekitar 50 mil sebelah barat laut Sorong, mempunyai kawasan karang terbaik di Indonesia. Sekitar 450 jenis karang sempat diidentifikasi selama dua pekan penelitian di daerah itu.[9]

Tim ahli dari Conservation International, The Nature Conservancy, dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan penilaian cepat pada 2001 dan 2002. Hasilnya, mereka mencatat di perairan ini terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75% dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, 700 jenis moluska, dan catatan tertinggi bagi gonodactyloid stomatopod crustaceans. Ini menjadikan 75% spesies karang dunia berada di Raja Ampat. Tak satupun tempat dengan luas area yang sama memiliki jumlah spesies karang sebanyak ini.

Ada beberapa kawasan terumbu karang yang masih sangat baik kondisinya dengan persentase penutupan karang hidup hingga 90%, yaitu di selat Dampier (selat antara Pulau Waigeo dan Pulau Batanta), Kepulauan Kofiau, Kepualauan Misool Tenggara dan Kepulauan Wayag. Tipe dari terumbu karang di Raja Ampat umumnya adalah terumbu karang tepi dengan kontur landai hingga curam. Tetapi ditemukan juga tipe atol dan tipe gosong atau taka. Di beberapa tempat seperti di kampung Saondarek, ketika pasang surut terendah, bisa disaksikan hamparan terumbu karang tanpa menyelam dan dengan adaptasinya sendiri, karang tersebut tetap bisa hidup walaupun berada di udara terbuka dan terkena sinar matahari langsung.

Spesies yang unik yang bisa dijumpai pada saat menyelam adalah beberapa jenis kuda laut katai, wobbegong, dan ikan pari Manta. Juga ada ikan endemik raja ampat, yaitu Eviota raja, yaitu sejenis ikan gobbie. Di Manta point yg terletak di Arborek selat Dampier, Anda bisa menyelam dengan ditemani beberapa ekor Pari Manta yang jinak seperti ketika Anda menyelam di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Jika menyelam di Cape Kri atau Chicken Reef, Anda bisa dikelilingi oleh ribuan ikan. Kadang kumpulan ikan tuna, giant trevallies dan snappers. Tapi yang menegangkan jika kita dikelilingi oleh kumpulan ikan barakuda, walaupun sebenarnya itu relatif tidak berbahaya (yang berbahaya jika kita ketemu barakuda soliter atau sendirian). Hiu karang juga sering terlihat, dan kalau beruntung Anda juga bisa melihat penyu sedang diam memakan sponge atau berenang di sekitar anda. Di beberapa tempat seperti di Salawati, Batanta dan Waigeo juga terlihat Dugong atau ikan duyung.

Karena daerahnya yang banyak pulau dan selat sempit, maka sebagian besar tempat penyelaman pada waktu tertentu memiliki arus yang kencang. Hal ini memungkinkan juga untuk melakukan drift dive, menyelam sambil mengikuti arus yang kencang dengan air yang sangat jernih sambil menerobos kumpulan ikan.

Peninggalan prasejarah dan sejarah

Lukisan prehistoris di Pulau Misool

Di kawasan gugusan Misool ditemukan peninggalan prasejarah berupa cap tangan yang diterakan pada dinding batu karang. Uniknya, cap-cap tangan ini berada sangat dekat dengan permukaan laut dan tidak berada di dalam gua. Menurut perkiraan, usia cap-cap tangan ini sekitar 50.000 tahun dan menjadi bagian dari rangkaian petunjuk jalur penyebaran manusia dari kawasan barat Nusantara menuju Papua dan Melanesia.[10]

Sisa pesawat karam peninggalan Perang Dunia II bisa dijumpai di beberapa tempat penyelaman, seperti di Pulau Wai.

Pariwisata

Raja Ampat dapat dicapai dengan pesawat dari Jakarta atau Bali ke Sorong via Makassar atau Ambon dan Manado. Penerbangan memakan waktu kurang lebih 6 jam.

Dari Sorong, untuk ke Raja Ampat ada dua cara:

  1. Ikut tur dengan perahu pinisi atau
  2. Tinggal di resort Raja Ampat Dive Lodge.

Kebanyakan wisatawan yang datang ke Raja Ampat saat ini adalah para penyelam. Untuk yang bukan penyelam ada sejumlah pantai berpasir putih, gugusan pulau karst dan flora dan fauna endemik seperti cendrawasih merah, cendrawasih Wilson, maleo waigeo, beraneka burung kakatua dan nuri, kuskus waigeo, serta beragam jenis anggrek.

Ancaman terhadap kepulauan ini

Kekayaan keanekaragaman hayati di Raja Ampat telah membuat dirinya memiliki tingkat ancaman yang tinggi pula. Hal itu bisa dilihat dari kerusakan terumbu karang dan hutan. Kerusakan terumbu karang umumnya adalah karena aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bom, sianida dan akar bore (cairan dari olahan akar sejenis pohon untuk meracun ikan).

Usaha-usaha konservasi

Untuk menjaga kelestarian bawah laut Kepulauan Raja Ampat, usaha-usaha konservasi sangat diperlukan di daerah ini. Ada dua lembaga internasional yang konsen terhadap kelestarian sumber daya alam Raja Ampat, yaitu CI (Conservation International) dan TNC (The Nature Conservancy). Pemerintah sendiri telah menetapkan laut sekitar Waigeo Selatan, yang meliputi pulau-pulau kecil seperti Gam, Mansuar, kelompok Yeben dan kelompok Batang Pele, telah disahkan sebagai Suaka Margasatwa Laut. Menurut SK Menhut No. 81/KptsII/1993, luas wilayah ini mencapai 60.000 hektare.

Selain itu, beberapa kawasan laut lainnya telah diusulkan untuk menjadi kawasan konservasi. Masing-masing adalah Suaka Margasatwa Laut Pulau Misool Selatan, laut Pulau Kofiau, laut Pulau Asia, laut Pulau Sayang dan laut Pulau Ayau.

Referensi

  1. ^ Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2021.
  2. ^ a b c d e f g h Mansoben, Johszua Robert (1995). Sistem Politik Tradisional Di Irian Jaya. Jakarta: LIPI - RUL 1995. hlm. 232–246. ISBN 979-8258-06-1. 
  3. ^ Adelia, Jesslyn (2021-11-25). "Raja Ampat: Sejarah, Pesona Keindahan Alam dan Pantai". Kabar Wisata. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 2021-12-12. 
  4. ^ "Telur Ajaib, Simbol Toleransi Raja Ampat". detikTravel. 2020-05-29. Diakses tanggal 2023-03-09. 
  5. ^ "Raja Ampat Papua Barat Indonesia : Sejarah, Mitos, Asal Usul dan Kekayaan-nya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-03. Diakses tanggal 15 Maret 2019. 
  6. ^ Mansoben, Johszua Robert (1995). Sistem Politik Tradisional Di Irian Jaya. Jakarta: LIPI - RUL 1995. hlm. 242–246. ISBN 979-8258-06-1. 
  7. ^ "The Other Side of Raja Ampat". Tempo.co. Diakses tanggal 15 Maret 2019. 
  8. ^ Mansoben, Johszua Robert (1995). Sistem Politik Tradisional Di Irian Jaya. Jakarta: LIPI - RUL 1995. hlm. 229–231. ISBN 979-8258-06-1. 
  9. ^ Asdhiana, I Made, ed. (2014-03-26). "Jangan Mati Sebelum Lihat Raja Ampat..." Kompas.com. Diakses tanggal 15 Maret 2019. 
  10. ^ "7 Wisata Sejarah Di Pulau Papua". Diakses tanggal 15 Maret 2019. 

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya