Kecibeling

Kecibeling
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Angiosperma
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
S. crispa
Nama binomial
Strobilanthes crispa
Sinonim[1]
  • Hemigraphis crispa (L.) T.Anderson
  • Ruellia crispa L.
  • Sericocalyx crispus (L.) Bremek.
Bunga dari tanaman Keji beling

Kecibeling (Strobilanthes crispus) atau juga disebut keji beling, picah beling (Betawi), atau disebut juga ki beling (Sunda), enyoh kelo (Jawa)[2] adalah anggota Acanthaceae yang dapat menyembuhkan diabetes. Tumbuhan ini merupakan perdu yang berasal dari Madagaskar menyebar ke Indonesia dan tumbuh subur di Malaysia. Riset terbaru menunjukkan bahwa hanya sedikit riset ilmiah yang ada pada tumbuhan ini.[3]

Deskripsi

Keji beling adalah tumbuhan semak yang tingginya mencapai 1-2 m.[4] Batangnya beruas, bentuknya bulat, berambut kasar, dan warnanya hijau.[5] Percabangannya yang menyentuh tanah dan keluar dari akar sehingga bisa dipisahkan dari tanaman induk. Sementara itu, daunnya tunggal, bertangkai pendek, dengan duduk daun yang berhadapan. Helaian daunnya lanset, memanjang atau hampir jorong, tepinya bergerigi, dengan ujung dan pangkalnya yang meruncing, kedua permukaanya kasar. Pertulangan daunnya menyirip dan berwarna hijau.[5] Akarnya tunggang dan berwarna coklat muda.[4]

Perbungaannya majemuk dan berkumpul pada bulir padat. Mahkota bunga berbentuk corong, terbagi lima, berambut, dan berwarna kuning atau ungu. Benang sarinya berjumlah empat, berwarna putih, dan kuning.[4] Buahnya berbentuk gelondong, dan berisi 2-4 biji. Bijinya bulat, pipih, kecil-kecil, dan berwarna coklat.[5]

Habitat dan persebaran

Spesies ini tumbuh di hutan, tepi sungai, tebing-tebing, dan sering ditanam sebagai tanaman pagar di pekarangan atau taman. Keji beling tersebar dari Madagaskar sampai Indonesia,[2] dan tumbuh dari ketinggian 50-1.200 mdpl.[6] Tumbuhan ini juga mudah berkembangbiak di tanah subur, agak terlindung, dan tempat terbuka. Di Jawa, tanaman ini banyak terdapat di pedesaan yang tumbuh sebagai semak. Perbanyakan tanaman ini dilakukan dengan biji dan setek.[7][8]

Kemampuan dan manfaat

Di Malaysia dan Indonesia, keji beling ini digunakan untuk anti diabetes, diuretik, antisifilis, antioksidan, dan antimikroba,[9] dan laksatif. Umunya diseduh untuk dijadikan teh.[2] Zat kalium dari tumbuhan ini menyebabkan tumbuhan ini menyebabkan diuretik, sehingga dapat melarutkan batu yang terbentuk dari garam kalsium oksalat pada kantung empedu, kantung kencing, dan ginjal. Kecibeling juga diketahui mengandung polifenol, katekin, kafein, tanin, dan vitamin.[10] Adanya kandungan asam silikat menyebabkan penderita gastritis dilarang meminum rebusan keji beling.[5] Untuk mengurangi rangsangan pada lambung, lebih baik sewaktu merebus keji beling, dicampur dengan daun wungu.[11]

Catatan taksonomis

Tanaman lain, yakni kembang bugang diserupakan dengan tumbuhan melalui sebutannya oleh A.P. Dharma dalam bukunya.[12] Walaupun demikian, keji beling dan kembang bugang berbeda familia, yang mana kembang bugang berada di famili Verbenaceae[12] dan hal ini sudah diingatkan oleh Setiawan Dalimartha bahwa ada kepustakaan yang menamai kembang bugang dengan keji beling/keci beling.[13] Selain itu, sambang getih (Hemigraphis colorata) yang berkerabat dekat dengan sambiloto juga disebut keji beling dalam bahasa Jawa.[14]

Referensi

  1. ^ a b "Strobilanthes crispa". Plants of the World Online. Royal Botanic Gardens, Kew. Diakses tanggal 16 May 2021. 
  2. ^ a b c Abu Bakar et al. 2006, hlm. 152.
  3. ^ Yaacob et al. 2010, hlm. 2010.
  4. ^ a b c "Strobilanthes crispus BL" (PDF). Departemen Kesehatan. 15 November 2001. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-12-07. Diakses tanggal 1 January 2013. 
  5. ^ a b c d Dalimartha 2007, hlm. 39.
  6. ^ Dalimartha 2007, hlm. 38.
  7. ^ "Strobilanthes crispus BI". Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 16 June 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-28. Diakses tanggal 1 January 2013. 
  8. ^ Hariana 2005, hlm. 21.
  9. ^ Abu Bakar et al. 2006, hlm. 156.
  10. ^ Yaacob et al. 2010, hlm. 2.
  11. ^ Dalimartha 2007, hlm. 40.
  12. ^ a b Dharma 1987, hlm. 117.
  13. ^ Dalimartha 2007, hlm. 43.
  14. ^ Dalimartha 2003, hlm. 122.

Bacaan

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya