Kartinah
Kartinah adalah sebuah film Indonesia tahun 1940 yang kini dianggap film hilang. Ditulis dan disutradarai Andjar Asmara, film ini merupakan film pertama yang digarap Andjar dan menceritakan seorang suster yang jatuh cinta dengan atasannya. Diproduseri The Teng Chun dan New Java Industrial Film, Kartinah mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda dan dengan iklan mesin jahit. Biarpun tidak dinilai tinggi oleh kritikus, aktor-aktor baru yang bermain dalam film ini meningkatkan kemampuan produksi New Java Industrial Film. Alur ceritaSuria (Astaman), seorang pemimpin Badan Persiapan Serangan Udara (Luch Bischermen Diens, atau LBD), jatuh hati pada suster Kartinah (Ratna Asmara), yang juga bekerja pada LBD. Namun, ia sudah menikah dengan Titi (Tante Han), seorang wanita yang sudah tidak waras. Biarpun paman Suria (R. Inoe Perbatasari) menyarankan agar Suria mengambil Kartinah sebagai istri kedua, Kartinah menolak: ia merasa dirinya sebagai wanita modern yang tidak tergantung pada adat.[1] Dalam sebuah serangan udara, Titi mengalami luka berat; sehingga kesadarannya pulih kembali. Ia menjelaskan bahwa ia dan Suria telah lama pisah ranjang dan berharap kalau Kartinah sudi menerima Suria sebagai suaminya. Kartinah dan temannya semasa kecil, dr. Rasyid (Rasjid Manggis), berusaha untuk menyelamatkan Titi tetapi tidak berhasil. Setelah itu, Kartinah menikahi Suria.[1] ProduksiAndjar Asmara, yang menyutradarai Kartinah, pernah menjadi redaktur majalah film Doenia Film (1929–1930) serta penulis untuk kelompok sandiwara Dardanella.[2] Ia diundang The Teng Chun, seorang produser film keturunan Tionghoa yang menjadi pemilik Java Industrial Film;[3] Andjar juga menulis skenario film.[4] Beberapa pemain diambil dari Dardanella, termasuk Astaman, Ali Yugo, dan Rasjid Manggis, sementara R. Inoe Perbatasari pernah bekerja dengan Andjar di Bolero.[5] Kartinah merupakan film pertama Andjar dan sebagian besar pemainnya.[2] Andjar dan istrinya, Ratna, diberi uang sebanyak 1.000 gulden untuk kerja mereka, Andjar sebagai sutradara dan Ratna sebagai pemain. Mereka juga mendapatkan 10 persen dari hasil film Kartinah. Honor ini, dua kali lipat yang diberikan kepada bintang film di studio lain, dimungkinkan karena subsidi dari LBD.[6] Uang dari LBD dan Kantor Dalam Negeri digunakan untuk biaya produksi, sehingga dapat menampilkan adegan dan efek yang mahal, termasuk adegan kebakaran yang dahsyat[5] dan serangan udara pertama dalam sinema Hindia Belanda.[7] Namun, menurut sosiolog Indonesia A. Budi Susanto film ini mengutamakan cerita cinta, sehingga peran LBD diabaikan.[8] Uang juga didapatkan dari iklan: sebuah mesin jahit bermerek Singer dan dua majalah lokal.[5] Kartinah awalnya akan diberi judul Kartini. Namun, ini menjadi kontroversial karena judul tersebut terlalu dekat dengan tokoh emansipasi wanita Indonesia, Kartini. Syuting mulai pada awal tahun 1940 dan banyak dikunjungi kelompok-kelompok lokal.[9] Filmnya dibuat dalam format hitam putih.[4] Rilis dan penerimaanKartinah dirilis pada akhir tahun 1940, dalam periode intelektualisme yang tinggi terhadap film lokal. Biarpun penonton mempunyai harapan tinggi untuk film ini, para akademik merasa kurang puas; mereka beranggapan bahwa Kartinah menjadi hiburan belaka dan tidak mempunyai nilai pendidikan.[9] Namun, masuknya pemain baru memperlancar kerja Java Industrial Film sehingga bisa mendirikan dua studio baru, satu untuk film laga dan misteri.[5] Kartinah bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[10] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[11] RujukanCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|