Karamo

Karamo adalah seni pertunjukan dalam menggambarkan aktivitas menari dalam kebudayaan orang Saweri (Isirawa) yang dilakukan dalam pada waktu tertentu sebagai wujud kegembiraan, ungkapan syukur, dan kebanggaan atas dilakukannya kegiatan-kegiatan budaya tertentu. Waktu pertunjukan pelaksanaan Karamo dilakukan pada saat membawa anak turun tanah, memindahkan tulang-belulang leluhur yang telah meninggal dunia, dan pada saat kegiatan tertentu lainnya. Karamo sendiri merupakan istilah bahasa yang digunakan dalam Bahasa Isirawa, Kampung Siaratesa, Distrik Sarmi Selatan, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Pertunjukan Karamo biasanya dilakukan berupa tarian yang dilakukan dalam bentuk formasi dua pihak yang saling berhadapan, yang bertujuan dalam ajang memamerkan prestasi untuk mendapatkan sebuah pujian. Dalam pertunjukan ini, terdapat beberapa gerakan dasar tarian, antara lain: memegang panah, memukul tifa, melangkah-langkah dengan melakukan sedikit lompatan. Sedangkan gerakan utamanya adalah berupa gerakan maju mundur yang diikuti sesuai dengan irama lagu, serta memainkan pucuk ninbun. Adapun nilai budaya yang disampaikan dalam pertunjukan Karamo ini adalah kehidupan yang dijalani perlu disyukuri, dan dirayakan secara nyata, sehingga dapat membangkitkan optimisme positif dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik. Dimana kehidupan yang dijalani pada hari ini harus lebih baik dari hari yang sudah dilalui, dan dihari yang akan datang harus lebih baik dari kehidupan yang dijalani pada hari ini. Pertunjukan Karamo sendiri berfungsi sebagai:

  1. Pertunjukan Karamo sebagai arena mencari jodoh. Dimana, pada saat pertunjukan biasanya anak laki-laki maupun seorang anak perempuan akan memperhatikan para penari yang masih sendiri. Hal yang diamati dari seorang penari Karamo yakni sikap dan tingkah laku serta kelincahan seseorang dalam menarikan tarian Karamo, apakah seorang gadis itu sopan dan baik, ataupun seorang anak laiki-laki itu sopan dan baik, serta bagaimana ia memegang sebuah panah dan pandai tidaknya dalam menabuh tifa.
  2. Pertunjukan Karamo sebagai arena memperoleh kebahagiaan. Dimana, dalam syair lagu yang dikarang merupakan lagu menuangkan perasaan damai, menceritakan keindahan alam dan kejadian yang di alami, dengan dikarang oleh orang Isiwara sendiri.
  3. Pertunjukan karamo sebagai arena interaksi. Dimana, semua orang baik itu dari anak kecil, remaja, pemuda, dan orang dewasa bisa berpartisipasi dalam menari. Bahkan dapat berinteraksi dengan orang dari kampung yang lainnya, dan dengan orang dari etnis yang berbeda.[1]

Referensi

  1. ^ Srisumarnisjahril (14 Februari 2019). "Karamo". www.budaya-indonesia.org. Perpustakaan Digital Budaya Indonesi. Diakses tanggal 21 Februari 2019. 
Kembali kehalaman sebelumnya