Kalosara

Kalosara atau yang biasa disebut juga dengan kalo merupakan sebuah simbol hukum adat pada kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kalosara digunakan dalam berbagai aturan hukum adat seperti hukum dalam bidang pemerintahan, pertanahan, perkawinan, pewarisan, utang-piutang, konflik dan penyelesainnya, serta banyak bidang lainnya.

Sejarah

Dalam masyarakat Suku Tolaki, Kalosara diyakini sebagai peninggalan seorang Ratu yang bernama Putri Wekoila. Ia diyakini sebagai keturunan Dewa dari langit yang mempersatukan dan memerintah di Kerajaan Konawe. Kalosara kemudian dihormati sebagai simbol Kerajaan Konawe secara turun-temurun dan dijadikan sebagai simbol penerapan hukum adat.[1]

Pemaknaan

Kalosara tersusun dari rotan yang dipilin melingkar, kain putih berbentuk segi empat, dan wadah berupa anyaman bermotif pakis yang berbentuk segi empat. Rotan ditempatkan di bagian atas, kemudian kain putih, dan terakhir anyaman segi empat. Ketiga benda ini melambangkan alam semesta yang terdiri dari dunia suci yang berada di bagian atas, dunia manusia di bagian tengah, dan dunia nista di bagian bawah.[2]

Penggunaan

Simbol Rumah Adat Tolaki

Bagian inti dari Rumah Laika yang disebut siwolembatohu menggunakan kaidah Kalo Sara sebagai pembentuknya. Bagian loteng digunakan sebagai tempat pingitan gadis remaja dan tempat menyimpan barang-barang berharga. Ini sesuai dengan susunan Kalo Sara dengan rotan yang ditempatkan paling atas. Kain putih berbentuk segi empat dilambangkan dengan bagian tengah rumah yang menjadi tempat berkumpulnya anggota keluarga. Sedangkan wadah berbentuk segi empat dilambangkan dengan kolong rumah yang menjadi tepat beternak kerbau. Ini menandakan bahwa pantang melakukakan kegiatan yang tidak benar atau buruk.[3]

Alat Komunikasi

Kalo Sara digunakan untuk memberitahukan masyarakat tentang peristiwa penting seperti wafatnya seseorang, pernikahan, penyampaian berita kepada pemerintah, dan sebagai undangan kepada tamu terhormat. Anggota masyarakat yang selalu menggunakan Kalo Sara untuk berkomunikasi dianggap memiliki etika yang baik. Sebaliknya, anggota masyarakat yang tidak menggunakan Kalo Sara untuk berkomunikasi dianggap sombong.[4]

Referensi

  1. ^ Jaya dan Ridwan 2013, hlm. 309.
  2. ^ Ramadan 2018, hlm. 152.
  3. ^ Ramadan 2018, hlm. 154.
  4. ^ Jaya dan Ridwan 2013, hlm. 309–310.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya