Kakao di Sulawesi SelatanKakao di Sulawesi Selatan telah menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia. Provinsi Sukawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Indonesia. Salah satu varietas kakao yang termasuk jenis varietas unggulan ialah kakao masamba yang diproduksi di Kabupaten Luwu Utara. Peningkatan ekspor kakao di Sulawesi Selatan sempat terjadi pada dekade 1990-an dan berakhir pada dekade 2000-an akibat hama dan penyakit tumbuhan. ProduksiKakao telah menjadi salah satu komoditas utama di Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Provinsi Sulawei Selatan sebagai salah satu dari empat provinsi yang menjadi sentra produksi kakao nasional. Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah memberikan anggaran untuk penyediaan fasilitas pengembangan kakao dan industri pengolahan kakao. Peningkatan produksi juga diusahakan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia dengan memberikan bantuan benih kakao dari klona unggulan.[1] Varietas unggulanKakao masambaKakao masamba memiliki dua varietas yakni kakao MCC 01 dan kakao MCC 02. Kedua varietas ini dibudidayakan di Kabupaten Luwu Utara. Salah satu desa penghasil kakao masamba di Kabupaten Luwu Utara yakni Desa Salulemo di Kecamatan Baebunta. Ukuran buah yang dihasilkan oleh kakao masamba MCC 01 dan kakao masamba MCC 02 lebih besar dibandingkan dengan ukuran kakao pada umumnya. Petani dapat memperoleh satu kilogram kakao tiap 11 hingga 13 buah kakao dengan rata-rata berat kakao sebanyak 700 hingga 900 gram per buah. Sementara varietas kakao lain hanya dapat memproduksi sekitar separuh dari berat produksi kakao masamba. Setiap kilogram dihasilkan dari 20-23 buah kakao.[2] PerdaganganPada tahun 1996, harga jual kakao di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan. Penyebabnya ialah kondisi menurunnya nilai tukar dari rupiah terhadap dolar. Petani di Sulawesi Selatan memfokuskan kakao sebagai komoditas utama untuk ekspor dengan penjualan terhitung dalam dolar. Kondisi ini hanya bertahan hingga mendekati tahun 2000. Pada awal tahun 2000, pohon kakao milik petani di Sulawesi Selatan mengalami penuaan dan mulai terserang hama dan penyakit tumbuhan.[3] Penanganan penyakitProyek PRIMAPada tahun 2003, Kementerian Luar Negeri Belanda mendanai sebuah proyek bernama Proyek Pest Reduction and Integrated Management (Proyek PRIMA). Proyek ini bertujuan untuk mengadakan pengendalian terpadu yang menurunkan serangan hama. Pengadaan Proyek PRIMA merupakan bagian dari penyelesaian masalah keberadaan spesies ngengat penggerek buah kakao yakni Conopomorpha cramerella yang merusak dan mengurangi hasil panen kakao di Indonesia sebesar 40%. Proyek PRIMA dikelola oleh Mars Incorporated dengan memberikan hasil penelitian dan mengadakan penyuluhan atasnya.[4] Proyek PRIMA di Sulawesi Selatan dirintis di wilayah sekitar Kelurahan Noling. Sebanyak 734 petani dilibatkan dengan lahan kebun kakao sekitar 1.000 hektar yang saling berdekatan. Kawasan Proyek PRIMA kemudian dibagi menjadi 8 zona yang memiliki staf lapangan pada masing-masing zona.[5] Mars Incorporated juga membangun sebuah pusat pengembangan kakao bernama Pusat Pengembangan Kakao Mars di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.[6] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|