Kabanti
'Kabanti adalah tradisi lisan dan tulisan yang berupa nyanyian atau syair di seluruh wilayah Kesultanan Buton. Pelantunnya disebut Pekabanti'. Tradisi kabanti ini muncul ketika penyebaran agama Islam di Buton tengah gencar-gencarnya dan termasuk di dalamnya budaya tulis menulis. Oleh sebab itu, kabanti ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Arab Melayu, dan Aksara Walio.[1] Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton terutama bagian Wakatobi pada saat itu telah menampilkan sisi kreativitas dan tingginya tingkat intelektual masyarakat tersebut dalam membentuk peradaban pada masa itu.[2] Masyarakat Buton pada umumnya memang menempatkan syariat Islam di atas segalanya. Hal itu terlihat dari falsafah Buton, "Bolimo karo sumanamo lipu, bolimo lipu sumanamo sara, bolimo sara sumanamo agama". Maknanya adalah, "Tidak perlu diri asalkan negara tetap utuh, tidak perlu negara asalkan hukum tetap tegak, tidak perlu hukum tegak asalkan agama dilaksanakan".[3] Isi Kabanti itu sendiri banyak mengambil dari syariat Islam yang kemudian digunakan selain sebagai hiburan, juga untuk menyampaikan kearifan lokal sebagai dasar karakter masyarakatnya.[4] Secara umum, kabhanti dapat dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan penggunaannya. Kabhanti merupakan salah satu warisan / aset budaya tanah air. Namun sayangnya kabhanti saat ini telah masuk kedalam ambang kepunahan yang diakibatkan oleh kurangnya generasi muda yang mau untuk mempelajari budaya ini serta akibat dari globalisasi yang membuat budaya ini semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Kabhanti saat ini hanya bisa dilantunkan oleh para pelantuntun kabhanti yang telah berusia lanjut / tua yang semakin hari semakin berkurang. Fungsi KabantiDalam penggunaannya, Kabanti memiliki beberapa fungsi, yaitu:[1]
E bue-bue anedo pei E anedo te ditemba-temba Ku ayun-ayun semasih bodoh masih harus ditimang-timang E ku-bumue-bue nggala-ne E mina anedo no-bahuli Aku akan mengayun-ayunnya dulu Sewaktu ia masih kecil E ku-bumue-bue nggalane E mondo-mo ku-sala te laro Aku akan mengayun-ayunnya dulu Sudah pernah aku menyalahi perasaanya e. sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi lainnya: hal ini diterapkan dengan penggunaan kabanti dalam tradisi ritual (pakande kandea). Atau dalam acara mangania kabuena dan acara mangania nu uwe. Dalam sebuah acara, kabanti digunakan sebagai pengantar tarian adat atau bagian dari tarian. Contohnya: tari pajogi dan tari lariangi. g. sebagai wadah menyampaikan protes sosial, contohnya pada teks I bait ke-11 hingga ke-13: E na boha-boha-nto salimbo E te paira na nsababu-no Beratnya kita sekampung Apa yang menjadi penyebabnya? E sababu te mingku paira E dimai-no kua iaku Sikap apa yang menjadi penyebabnya? Yang datangnya dariku E no-mingku toumpa namia? E no-awane na ngkakobea Bagaimana sikapnya orang? Mereka mendapatkan kebenaran Pada lirik kabanti di atas menggambarkan situasi masyarakat yang sudah tidak lagi memperlihatkan persahabatan, melainkan saling mencurigai dan menyalahkan.[5] Falsafah KabantiJabaran pada bait-bait kabanti mengarah pada falsafah Buton, yaitu bhinci bhinciki kuli atau biasa dikenal dengan istilah sara pataanguna atau 'hukum yang empat'. Falsafah tersebut tertuang pada empat prinsip hidup masyarakat Buton: pertama, sesama manusia harus saling menghormati; Kedua, sesama manusia harus saling peduli; Ketiga, sesama manusia harus saling menyayangi; Dan terakhir, sesama manusia harus saling memuliakan. Keempat falsafah ini yang menjadi tonggak karakter masyarakat khususnya di Wakatobi dan Buton pada umumnya.[3] Referensi
|