KKI Warsi
Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI-Warsi) merupakan organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Warsi dideklarasikan pada 27 Desember 1991. Berkedudukan di Jambi, dengan wilayah kerja seluruh Indonesia. Warsi hadir untuk menyuarakan aspirasi masyarakat guna mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan secara ekologi bermanfaat secara ekonomi, sosial dan budaya. Fokus kerja KKI Warsi meliputi penyelamatan hutan tersisa dengan keanekaragaman hayati tinggi dan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Warsi juga fokus pada pemberdayaan masyarakat adat marginal yang ada di Provinsi Jambi; Orang Rimba, Bathin Sembilan, Riau; Talang Mamak dan Kalimantan Utara; Punan.[1] Sejarah pendirianWarsi didirikan oleh 12 NGO yang berasal dari beberapa daerah; yaitu Jambi: Gita Buana Yayasan Bakti Masyarakat, Sumatera Selatan: PKBI Sumsel, LBH Palembang, Yadarma, Yayasan Karya Desa, Bengkulu: Gemini, LPWP dan PKBI Bengkulu, Sumatera Barat: KOMMA, Bina Kelola dan Taratak. Fokus Warsi setelah resmi berdiri adalah sebagai aliansi dari tenaga penggerak konservasi atau commite organizer yang melakukan aktivitas konservasi dan pengorganisasian difasilitasi oleh NGO pendiri di masing-masing provinsi melalui aktivitas di lapangan untuk membuat pusat koordinasi dan informasi yang dinamakan sekretariat Warsi. Lembaga baru ini menjadi wahana komunikasi, kontak untuk membuka hubungan kerjasama, lobi dan advokasi, untuk pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik dan berkeadilan.[2] Seiring perkembangan waktu, Warsi tidak lagi membatasi diri di kalangan NGO saja, namun ia juga terbuka bagi para profesional dan perguruan tinggi serta kalangan lain yang tertarik dan berminat untuk mendukung konservasi dan pengembangan masyarakat. Dengan demikian, Warsi berusaha pula membuka diri lebih luas melalui dialog dengan berbagai pihak yang terlibat dalam konservasi dan upaya pengembangan masyarakat di empat provinsi se Sumbagsel. Yaitu dengan menjalin serta membina hubungan baik dengan pihak Pemda melalui Bappeda, Bappedalda, Dinas Kehutanan, BPN, Instansi Teknis Pemerintah (khususnya PHKA Departemen Kehutanan), masyarakat adat, perguruan tinggi, swasta, serta pihak lain yang peduli. Dalam rangka mengakomodir semua itu secara kelembagaan WARSI juga melakukan pembenahan diri. Satu di antara pembenahan yang dilakukan WARSI kala itu adalah terkait pergantian status lembaga ini. Tepat pada bulan Juli 2002 Yayasan Warsi berubah menjadi perkumpulan dengan nama baru Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Sejak perubahan bentuk tersebut WARSI tidak lagi menjadi singkatan Warung Informasi Konservasi. Namun Warsi telah dibakukan menjadi nama sebuah lembaga. Selain mengubah bentuk menjadi perkumpulan, terhitung sejak tanggal 6 Desember 2002, kantor Warsi resmi pindah ke Kota Jambi. Keputusan memindahkan kantor Warsi ke Kota Jambi itu dalam rangka menyambungkan kegiatan-kegiatan konservasi dan pemberdayaan masyarakat ke tingkat pembuat kebijakan hingga ke level pemerintah daerah dan nasional. Keputusan itu tentu saja tanpa mengesampingkan kedekatan dengan para pihak lainnya yang telah terbangun pada masa-masa sebelumnya. Dengan adanya perubahan bentuk dari yayasan menjadi perkumpulan, maka status kepemilikan Warsi juga mengalami perubahan secara mendasar. Kalau masih berbentuk yayasan maka anggotanya adalah jaringan NGO pendiri. Begitu mengalami perubahan menjadi sebuah perkumpulan maka anggotanya terdiri dari individu-individu yang terlibat ketika mendirikan, yaitu perwakilan dari 13 NGO tersebut, kemudian ditambah dengan semua staf yang bekerja di Warsi serta pihak lain yang memiliki fokus dan pandangan sama dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Dengan kata lain, Warsi semakin membuka diri dan memberi kesempatan kepada setiap staf yang bergabung untuk menjadi pemilik lembaga ini. Dengan demikian anggota Warsi berperan sebagai badan tertinggi dalam kepengurusan lembaga. Anggota yang punya kewenangan penuh memilih dewan pengurus yang kemudian memilih direktur yang akan menjadi komando lembaga. Anggota merupakan owner yang menentukan masa depan Warsi dalam mencapai visi dan misi serta tujuan hadirnya lembaga ini di tengah masyarakat. Sebagai lembaga yang terus tumbuh dan berkembang, aktivitas Warsi yang semakin banyak juga diiringi dengan peningkatan aset dan properti yang dimiliki Warsi. Semua aset Warsi ini harus bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya, namun jika pada suatu hari nanti oleh satu sebab dan lain hal Warsi memutuskan untuk berhenti dari segala kegiatannya dan lembaga ini ditutup maka semua aset dan properti Warsi dihibahkan ke lembaga sosial sejenis dan anggota tidak berhak untuk memilikinya. Aturan ini sengaja dibuat sesuai dengan cita-cita Warsi untuk menuju tercapainya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Jika Warsi tidak lagi mampu maka dengan penyerahan aset ini harapannya lembaga yang diserahkan aset bisa menjadi penerus langkah perjuangan Warsi. Program1. Konservasi dan Suku Adat MarginalPerlindungan dan Pemberdayaan Orang Rimba dan Talang Mamak di Kawasan Hutan dan Konsesi PerusahaanProgram ini bertujuan mewujudkan perlindungan serta pemberdayaan Orang Rimba dan Talang Mamak di Kawasan Hutan dan Konsesi Perusahaan baik itu di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) ataupun Orang Rimba dan Talang Mamak yang beraad di kawasan lain hingga ke kawasan konsesi perusahaan. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat SAM dengan melindungi sumber daya mereka dan memfasilitasi program kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan dari pemerintahProgram ini ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup Suku Adat Marginal (SAM) oleh percepatan optimalisasi pada akses mereka terhadap program pembangunan pemerintah. Secara khusus program ini juga ditujukan untuk peningkatan akses kesehatan dan kesadaran akan betapa pentingnya kesehatan terutama bagi ibu dan anak-anak dari komunitas SAM untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal, ketersediaan model layanan pendidikan yang optimal dan ruang publik ramah anak (RPRA) untuk anak-anak suku marjinal (SAM) yang sejalan dengan tradisi dan budaya mereka untuk tingkat pendidikan, serta model ketahanan pangan suku marginal (SAM) tersedia untuk deforestasi, perubahan iklim (kekeringan) dan konflik sosial. 2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan PemberdayaanMembangun Skema REDD dari bawah: Masyarakat sebagai Agen Perubahan untuk REDD yang transformatif dan BerkelanjutanDengan jejak rekam dan pengalamannya dalam pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (PHMB), khususnya di Sumatra Bagian Selatan, WARSI di gandeng Rainforest Foundation Norway (RFN)/NORAD, menjalankan program Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD. Program ini akan melakukan lobi dan advokasi agar masyarakat di dalam dan sekitar hutan berpartisipasi dalam penyusunan dan pengembangan rencana dan strategi REDD, serta pemerintah yang berwenang mengakui hak dan mengakomodasi kepentingan masyarakat tersebut dalam mekanisme REDD yang dikembangkan. Pengelolaan kolaboratif pemegang konsensi mempertahankan tutupan hutan tersisa, memperkuat dukungan perlindungan keanekaragaman hayati dan meningkatkan nilai manfaat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di lanskap TNKSMerupakan Program kolaboratif WARSI dengan TFCA Sumatra Selamat (Tropical Forest Conservation Action-Sumatra) untuk penyelamatan hutan alam di kawasan penyangga melalui perluasan wilayah hutan yang dikelola masyarakat dengan berbagai skema seperti hutan adat, hutan desa, Hkm, dan skema lokal lainnya seperti rimbo larangan, hutan lindung desa, dll. Selain itu, program ini juga melakukan penyusunan masukan yang dapat digunakan untuk revisi RTRW/K, berdasarkan hasil analisis lanskap, land use change, dan model pengelolaan mozaik di kabupaten Bungo dapat dikembangkan dan diaplikasikan di kabupaten lain yang menjadi lokasi proyek. Program ini, juga melakukan pengembangan usaha skala kecil berbasis sumberdaya hutan lestari yang saat ini telah dikembangkan di kabupaten Bungo dapat menjadi referensi untuk mencapai target fasilitasi kepada beberapa kelompok usaha dalam proyek ini. Mendorong Perubahan Kebijakan dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah yang Berorientasi Lingkungan dan Berbasiskan Pada Pembangunan Rendah KarbonTujuan umum dari program ini yaitu terjadinya pengelolaan hutan secara berkelanjutan di Propinsi Jambi. untuk mencapai tujuan tersebut, hal-hal yang akan dilakukan meliputi:
Green Livelyhood Aliance (GLA)Tujuan dari program ini yaitu terwujudnya Pengelolaan Sumber daya Alam secara Berkelanjutan dan Inklusif untuk meningkatkan kualitas ekosistem dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Program ini juga mendorong terciptanya tata kelola dan perencanaan tata ruang lokal, landscape management dental memaksimalkan koordinasi para aktor, pengelolaan sawit berkelanjutan, perlindungan hutan dan pengembangan mata pencaharian, pengelolaan lahan dan hutan berkelanjutan melalui perhutanan sosial. 3. Program Kebijakan dan AdvokasiTujuan program ini mendorong pemerintah dalam menghasilkan kebijak an yang memberi ruang partisipasi pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan SDA secara berkelanjutan, berkeadilan dan mensejahterakan masyarakat lokal. Untuk menjalankan program ini kegiatan yang dilakukan adalah:
4. Program Komunikasi, Informasi dan Pembelajaran Pengelolaan SDA Berbasis MasyarakatTujuan program ini adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat luas terhadap pentingnya konservasi dan pengelolaan SDA berkelanjutan, berkeadilan dan mensejahterakan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan melalui program ini adalah:
5. Program Manajemen PengetahuanTujuan Program ini adalah mencatat setiap pembelajaran yang didapatkan dari proses fasilitasi yang dilakukan bersama masyarakat. Kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan ini adalah:
Referensi
Pranala luar |