Junichiro Tanizaki
Junichiro Tanizaki (谷崎 潤一郎 , Tanizaki Jun'ichirō, 24 Juli 1886 – 30 Juli 1965) adalah novelis dan penulis cerpen Jepang yang aktif mulai dari akhir zaman Meiji hingga pasca-Perang Dunia II. Sebagian karyanya menampilkan dunia seksualitas yang mengejutkan dan obsesi erotis yang destruktif. Sebagian dari karyanya yang tidak begitu sensasional, menggambarkan secara halus kehidupan keluarga dalam konteks perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat Jepang abad ke-20. Cerita yang ditulisnya sering mengisahkan pencarian identitas budaya yang membanding-bandingkan budaya Jepang dan budaya Barat. Namanya diabadikan dalam Penghargaan Tanizaki yang diberikan setahun sekali untuk penulis fiksi atau drama. Penghargaan ini mulai diberikan setelah Tanizaki meninggal dunia pada tahun 1965. BiografiMasa mudaTanizaki dilahirkan di tengah keluarga berada yang tinggal di kawasan Ningyocho, Nihonbashi, Tokyo. Keluarganya berasal dari kelas pedagang. Ayahnya memiliki usaha percetakan yang didirikan oleh kakek Tanizaki. Dalam Yōshō Jidai (Childhood Years, 1956), Tanizaki mengaku dimanja sewaktu kecil. Usaha ayahnya memburuk dengan drastis ketika ia beranjak dewasa. Ia harus mondok di rumah orang lain dan bekerja sebagai guru les. Tanizaki kuliah di Fakultas Sastra Universitas Imperial Tokyo, namun harus berhenti pada tahun 1911 karena tidak mampu membayar uang kuliah. Awal karierTanizaki memulai karier menulis pada tahun 1909. Karya pertamanya adalah drama satu babak, diterbitkan oleh majalah sastra yang ia termasuk salah seorang pendirinya. Selama beberapa tahun pertama berkarya sebagai penulis, Tanizaki merendahkan budaya Jepang karena sedang tergila-gila dengan budaya Barat dan semua hal yang modern. Pada 1922, ia bahkan bertindak keterlaluan dengan pindah di bagian kota Yokohama yang memiliki permukiman untuk orang asing. Ia sempat tinggal beberapa lama di rumah bergaya Barat, dan memulai gaya hidup bohemian. Ia juga dilaporkan pernah memiliki rencana untuk pergi ke Eropa dan menetap di sana. Keadaan hidupnya waktu itu tercermin dalam beberapa karya awalnya. Nama Tanizaki menjadi terkenal untuk pertama kalinya setelah menerbitkan cerpen Shisei (The Tattooer) pada tahun 1910. Dalam cerita tersebut, seorang seniman rajah menggambar seekor laba-laba besar di atas tubuh seorang wanita muda yang cantik. Setelah dirajah, kecantikan wanita itu berubah menjadi kekuatan kejam dan agresif, bagaikan perpaduan erotisisme dengan sado masokisme. Tema-tema femme fatale kembali diulanginya dalam banyak karya-karya awal Tanizaki, termasuk di antaranya: Kirin (1910), Shonen ("The Children", 1911), Himitsu ("The Secret," 1911), dan Akuma ("Devil", 1912). Di antara karya-karya lain Tanizaki yang diterbitkan pada zaman Taishō adalah Shindo (1916) dan Oni no men (1916), yang sebagian berupa autobiografi. Tanizaki menikah pada tahun 1915, namun pernikahan tersebut tidak membawa kebahagiaan. Ia bahkan menyuruh istrinya, Chiyoko untuk menyeleweng dengan Sato Haruo yang rekan sesama penulis sekaligus seorang sahabat Tanizaki. Tekanan psikologis waktu itu tercermin dalam beberapa karya-karya awalnya, termasuk drama panggung Aisureba Koso (Because I Love Her, 1921) dan novel Kami to Hito no Aida (Between Men and the Gods, 1924). Walaupun inspirasi beberapa tulisan kemungkinan berasal dari orang-orang di seputarnya dan kejadian yang dialaminya selama hidup, karya-karya Tanizaki jauh dari karangan bersifat autobiografi seperti halnya sebagian besar karya penulis seangkatan di Jepang. Ia pernah bekerja sebagai penulis skenario untuk studio film Taikatsu yang memproduksi film bisu. Tanizaki termasuk salah seorang pendukung Gerakan Film Murni dan merupakan tokoh penting yang membawa tema-tema modern ke dalam film Jepang.[1] Di antara skenario yang ditulisnya adalah Amateur Club (1922) dan A Serpent's Lust (1923). Film A Serpent's Lust diangkat dari cerita berjudul sama yang ditulis oleh Ueda Akinari. Inspirasi cerita yang ditulis Akinari sebagian berasal dari Ugetsu monogatari yang merupakan adikarya Mizoguchi Kenji pada tahun 1953. Hubungan Tanizaki dengan dunia layar perak dianggap penting untuk mengerti keseluruhan dari kariernya sebagai penulis.[2] Masa-masa di KyotoReputasi Tanizaki mulai mencuat mengikuti kepindahannya ke Kyoto setelah gempa bumi besar Kanto, 1 September 1923. Gempa yang menghancurkan gedung-gedung bersejarah dan kawasan permukiman di Tokyo menyebabkan minat dirinya berubah. Dari kecintaan sesaat terhadap dunia Barat dan modernitas, Tanizaki beralih kepada estetisisme, sejarah, Buddhisme, dan budaya Jepang, terutama kebudayaan daerah Kansai (Osaka, Kobe, Kyoto). Novel pertama yang ditulisnya pascagempa adalah Chijin no ai (Naomi, 1924-1925). Novel tersebut adalah novel pertama darinya yang betul-betul laris, berkisah tentang wanita muda yang independen, obsesi seksual, dan identitas budaya. Novel Manji (Quicksand, 1928–1929) mengisahkan lesbianisme dua wanita modern dari kalangan atas di Osaka. Ia bahkan memerlukan para asisten yang membantunya menguasai dan menulis novel dalam dialek Osaka. Karya selanjutnya adalah Tade kuu mushi (Some Prefer Nettles, 1928–1929) yang mengisahkan penemuan diri secara bertahap dari seorang pria Tokyo yang tinggal dekat Osaka, sehubungan dengan modernisasi pengaruh budaya Barat dan tradisi Jepang. Yoshinokuzu (Arrowroot, 1931) dipengaruhi bunraku dan teater kabuki sementara mengadaptasi teknik narasi seperti narasi gaya Eropa. Eksperimentasi dengan gaya naratif diteruskannya dengan Ashikari (The Reed Cutter, 1932), Shunkinsho (A Portrait of Shunkin, 1933), dan beberapa karya lain yang memadukan estetisisme tradisional dengan obsesi khas Tanizaki. Kebangkitan kembali minat Tanizaki dalam sastra klasik Jepang berpuncak pada penerjemahan novel klasik abad ke-11, Hikayat Genji ke dalam bahasa Jepang modern di tengah berlangsungnya Perang Pasifik. Ia juga menulis novel yang kemudian menjadi adikarya Tanizaki, Sasameyuki (A Light Snowfall), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai The Makioka Sisters (1943–1948). Novel tersebut menceritakan empat anak perempuan dari keluarga pedagang kaya di Osaka yang menyaksikan gaya hidup mereka yang elegan makin memburuk pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II (1930-an). Keluarga Makikoka sebelumnya terbiasa hidup dalam gaya kosmopolitan, memiliki teman dan bertetangga dengan orang Eropa, namun tanpa menderita krisis identitas budaya seperti lazim terjadi pada tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki. Periode pascaperangSeusai Perang Dunia II, Tanizaki kembali berjaya di dunia sastra dengan memenangi serangkaian penghargaan. Hingga dirinya meninggal pada tahun 1965, Tanizaki disebut-sebut sebagai pengarang kontemporer terbesar yang pernah dimiliki Jepang. Ia menerima anugerah Orde Kebudayaan dari Pemerintah Jepang pada tahun 1949. Keanggotaan kehormatan di American Academy and Institute of Arts and Letters diterimanya pada tahun 1964, dan sekaligus penulis Jepang pertama yang dihargai seperti itu. Shôshō Shigemoto no Haha (Captain Shigemoto's Mother, 1949–1950) adalah karya utama Tanizaki yang pertama pasca-Perang Dunia II. Ia kembali mengangkat tema yang lazim ditampilkannya, yakni kerinduan seorang anak laki-laki terhadap sosok ibu. Novel ini juga memperkenalkan tema baru berupa masalah seksualitas kalangan lanjut usia. Tema serupa kemudian ditampilkannya kembali dalam karya-karya berikut, seperti Yume no ukihashi (1959, Jembatan Impian) dan Kagi (The Key, 1956). Kagi ditulisnya sebagai novel psikologis yang mengerikan. Seorang dosen bahasa Inggris yang sudah tua mengatur istrinya untuk menyeleweng bersama lelaki muda agar hasrat seksual dirinya yang sudah loyo dapat pulih. Tokoh-tokoh ciptaan Tanizaki sering dimotivasi oleh kegandrungan terhadap nafsu erotis. Dalam salah satu dari novel terakhirnya, Futen Rojin Nikki (Diary of a Mad Old Man, 1961–1962), penulis buku harian menjadi lumpuh akibat stroke setelah mengalami rangsangan seksual berlebihan. Orang tua yang menulis buku harian itu, mencatat semua hasratnya pada masa lalu, serta usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk menyuap menantu dengan perhiasan murah karena minat fetisme terhadap kaki menantu. Tanizaki meninggal dunia akibat serangan jantung di Yugawara, Kanagawa, barat daya Tokyo, 30 Juli 1965, tidak lama setelah merayakan ulang tahun ke-79. PeninggalanSebagian besar dari karya-karya Tanizaki mengeksploitasi sensualitas, dan beberapa di antaranya secara khusus membahas erotisisme. Hampir semua karyanya dihiasi dengan ironi dan kalimat yang cerdas. Walaupun terutama dikenal sebagai penulis cerpen dan novel, Tanizaki adalah penulis serba bisa yang juga menulis puisi, drama, dan esai. BibliografiKarya terpilih
Terjemahan dalam bahasa Inggris
Catatan kakiReferensi
Pranala luar |