Juldarigi
Juldarigi (Hangul: 줄다리기, juga chuldarigi) adalah sebuah olahraga Korea tradisional yang mirip dengan tarik tambang. Olahraga tersebut dipentaskan dalam perayaan-perayaan dan pertemuan-pertemuan masyarakat. Beberapa wilayah di Korea memiliki variasi juldarigi yang berbeda. Permainan tarik tambang serupa yang berhubungan erat dengan kegiatan pertanian ditemukan di komunitas pedesaan di seluruh Asia Tenggara. Hal ini tertulis dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO dari tahun 2015 sebagai "Ritual dan permainan tarik tambang" bersama dengan bentuk serupa lainnya di Kamboja, Filipina, dan Vietnam. Olahraga ini juga terdaftar sebagai Properti Budaya Takbenda Korea Selatan dari tahun 1969. SejarahGijisi merupakan daerah yang dikenal dengan Juldarigi-nya. Namun, kegiatan tersebut ternyata tidak ditemukan catatan khusus tentang asal usulnya di daerah tersebut, meski ada catatan tentang permainan tersebut dari Gu Jaseong. Menurut buku catatan tersebut, geografi Gijisi berbentuk seperti lipan, setelah dikutuk oleh seekor lipan yang berusia seribu tahun. Penduduk akan bermain tarik tambang menggunakan tali berbentuk lipan setiap tahun kabisat di area yang mewakili pinggang makhluk lipan tersebut sebagai upaya untuk menekan kekuatannya.[1] Gijisi Juldarigi secara harfiah berarti Juldarigi yang berasal dari Pasar Giji sehingga permainan ini umum dimainkan oleh para pedagang atau penjaja. Permainan dimulai di pasar yang dibuka di sepanjang pegunungan sebagai cara hiburan dan untuk mencegah nasib buruk, yang dikaitkan dengan lanskap berbentuk lipan. Permainan tersebut akhirnya menjadi ajang komersial bagi para pedagang dan dimainkan di berbagai lokasi. Namun, sejak ditetapkan sebagai aset budaya, tujuan permainan telah berubah. Gijisi Juldarigi kemudian menjadi semacam ritual untuk mengharapkan panen yang berlimpah, menggunakan tali yang melambangkan naga, dan dimainkan di ladang jelai di depan Heungcheok-dong. Kemudian, berkat penerimaan nasional yang baik, Museum Gijisi Juldarigi dan lapangan tarik tambang yang ditentukan dibangun di selatan Gijisi-ri pada tahun 2013, dan permainan tersebut telah dimainkan di lapangan tersebut sejak saat itu.[1] Signifikansi budayaJuldarigi adalah bagian penting dari beberapa perayaan pertanian, dan merupakan acara umum di festival bulan Daeboreum.[2] Seperti banyak tradisi rakyat pedesaan Korea, olahraga ini dianggap sebagai olahraga yang digunakan untuk meramal peristiwa masa depan, khususnya panen. Hasil dari prosesi ritual antara tim Timur dan Barat akan dipandang sebagai indikator kelimpahan (atau sebaliknya) panen padi tahun itu. Juldarigi dan olahraga rakyat serupa kemudian menjadi dominan di daerah persawahan di Selatan.[3] Hal ini disebabkan adanya asosiasi yang menyebarluas di Asia Tenggara antara naga (yang dianggap mirip dengan tali juldarigi) dengan hujan. Hal tersebut mengakibatkan juldarigi atau upacara tarik tambang serupa juga secara historis dipentaskan selama masa paceklik.[4] Sambungan dari dua tali yang digunakan (dengan satu tali yang lebih kecil ditempatkan melalui tali yang lain yang lebih besar) mengingatkan beberapa orang pada hubungan seksual, yang juga memunculkan asosiasi antara olahraga ini dengan kesuburan.[5] PeralatanTali jerami yang digunakan dalam juldarigi sangat besar, panjangnya mencapai 200 m dan diameter 1 meter. Beratnya bisa mencapai 40 ton.[6] Tali-tali ini terbuat dari jerami padi yang dipilin. Pilihan bahan ini bersifat simbolis, karena beras adalah biji-bijian pokok di daerah di mana juldarigi dipraktikkan.[7] Proses pembuatannya biasanya diadakan dengan acara komunal, yang mencerminkan sifat komunal dari penanaman padi. Dua tali digunakan, satu untuk setiap tim; mereka dihubungkan oleh balok kayu atau tunggul yang dikenal sebagai binyeomok, panjangnya sekitar tiga meter.[8][4] Tali yang dipegang oleh tim Timur disebut sutjul (Korea: 숫줄 "tali pria") dan tim Barat disebut amjul (Korea: 암줄 "tali wanita").[9][5] Karena ukuran tali yang besar, mereka tidak dapat digenggam secara langsung; pemain memasang tali samping yang lebih kecil ke tali utama untuk berfungsi sebagai pegangan dan mengacak ujungnya untuk memberikan pegangan tangan tambahan.[8][4] UpacaraUpacara menjelang permainan tarik tambang dimulai sekitar tengah malam menjelang ritual. Kedua tim memperbaiki tali masing-masing dan berdoa untuk mendapatkan kemenangan; ritus ini dikenal sebagai goyu (Hangul: 고유; Hanja: 告由). Selama waktu ini, tim menjaga tali mereka dari gangguan, serta mencegah anggota tim lawan melangkahinya (diyakini bahwa seorang wanita yang melangkahi tali saat itu akan membuat wanita tersebut mengandung bayi laki-laki). Hukuman bagi yang melanggar bisa jadi sangat berat. Terdapat catatan tentang seorang wanita yang dirajam sampai mati pada awal abad ke-20 karena pelanggaran semacam itu.[4] Tim kemudian berkumpul di lokasi ritual dan melakukan doa lebih lanjut pada keesokan harinya. Doa kali ini diadakan untuk keselamatan dan kemakmuran desa; pengorbanan juga dipersembahkan kepada Teojushin, dewi bumi. Ritual komunal ini disebut gosa (Hangul: 고사; Hanja: 告祀). Saat fajar, setelah selesainya upacara ini, kedua tim mengambil tali mereka ke lokasi. Hal ini melibatkan prosesi yang mana para peserta membawa bendera dan memakai kostum, dan disertai dengan musik perkusi. Kemudian ada segmen adu mulut yang diadakan bertahap mengenai hubungan dua tali juldarigi dan dianggap memiliki aspek simbolis mengenai hubungan seksual sehingga pada segmen ini, sindiran dan ejekan mesum dari tim lain merupakan hal yang biasa.[5][4] Setelah kedua tali diikat menjadi satu di sekitar binyeomok, maka ritual pun dimulai yang kemudian dimeriahkan teriakan dan sorak-sorai para pendukung. Kompetisi sebenarnya berlangsung singkat, dengan kemenangan biasanya ditentukan setelah satu tarikan (walaupun beberapa kontes dimainkan untuk yang terbaik menggunakan tiga tarikan). Karena asosiasi arah Barat dengan konsep kesuburan dan produktivitas, pertandingan sering kali ditetapkan untuk memastikan bahwa tim Barat menang (dan dengan demikian memastikan panen yang melimpah). Setelah merayakan di rumah pemimpin tim mereka, pemenang kemudian akan melanjutkan ke rumah pemimpin tim yang kalah untuk menyampaikan simpati mereka. Kegiatan ini sering menyerupai prosesi duka cita.[5] Kedua tali tersebut kemudian dapat diambil oleh tim pemenang, dibedah dan dijual; jerami yang diambil dari mereka diyakini memiliki sifat pelindung atau mengandung nutrisi yang tidak biasa.[4] Versi anak-anak yang dikenal sebagai gosat juldarigi (Hangul: 고삿줄다리기, "tarik-tambang bergang") sering dimainkan di jalan-jalan sebelum acara utama.[5][10] Varian daerahDua bentuk juldarigi dari Gijisi, yaitu Dangjin dan Gyeongsang, diakui sebagai Properti Budaya Takbenda Penting Korea.[11][12] Upacara varian Yeongsan yang biasanya diadakan di akhir tahun dan berbeda dari di tempat lain yang tidak mengadakan acara serupa pada waktu tersebut. Akan tetapi, upacara Yeongsan kemudian dipindahkan ke 1 Maret[13] pada pertengahan abad kedua puluh (untuk memperingati Gerakan 1 Maret, meski awalnya upacara ini diperuntukkan untuk festival bulan).[4] Pada tahun 2009, koin khusus 20000 dicetak di Korea Selatan untuk memperingati Juldarigi Yeongsan.[14][15][16] Di Gijisi, di mana olahraga ini telah dipraktikkan setidaknya selama 500 tahun,[17] pembagian tim tradisional Timur/Barat diganti dengan menjadi tim hulu dan hilir. Bentuk tali yang mirip lipan dikatakan mirip dengan cara penataan desa-desa di wilayah tersebut.[7] Gijisi juga merupakan rumah bagi museum yang didedikasikan untuk praktik juldarigi.[18] Festival Baekjung Miryang menampilkan bentuk unik dari olahraga ini yang disebut gejuldarigi (Hangul: 게줄다리기) atau "tarik tambang kepiting", yang merupakan keunikan Miryang.[19] Dalam versi ini, peserta diikat dengan tali ke cincin pusat, dan ditarik ke segala arah.[4] Permainan tarik-tambang komunal serupa terjadi di Laos, Kamboja dan Myanmar, dalam semua kasus memiliki hubungan dengan kesuburan dan prospek panen yang melimpah.[4] Referensi
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Juldarigi.
|