Jembatan Duwet
Jembatan Duwet (hanacaraka: ꦗꦼꦩ꧀ꦧꦠꦤ꧀ꦝꦸꦮꦼꦠ꧀) adalah sebuah jembatan di Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta & Bligo, Ngluwar, Magelang, Jawa Tengah,Indonesia. Jembatan Duwet ini yang telah menjadi semacam lambang daerah, menghubungkan propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang dipisahkan oleh Sungai Progo. Jembatan Duwet merupakan ikon Kabupaten Kulon Progo & Kabupaten Magelang yang paling terkenal. Terdapat tembus jalan menuju ke Candi Borobudur. Dibangun pada 1929.[1] StrukturPanjang Jembatan Ampera 56 m. Tinggi jembatan ini 7 m dari atas permukaan air, tinggi menara 6 m dari permukaan tanah dan jarak antara menara 7 m. SejarahJembatan Duwet atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah “Kretek Gantung” (Jembatan Gantung) dibangun pada tahun 1930 dan terletak di wilayah Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Jembatan Duwet merupakan penghubung antara dua wilayah yang dipisahkan oleh sungai Progo yaitu wilayah Banjarharja, Kalibawang, Kulon Progo, D.I. Yogyakarta dengan wilayah Ngluwar, Kabupaten Magelang. Tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda, Jembatan Duwet juga memiliki nilai historisnya tersendiri. Jembatan Duwet menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya di antaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III). Sementara itu pihak Belanda mengatur strategi dengan mengadakan aksi gerakan pembersihan di desa-desa yang dianggap sebagai kubu-kubu pertahanan gerilyawan. Aksi tersebut dilancarkan terus-menerus sehingga membuat rakyat merasa tidak aman dan nyaman. Gerakan Belanda yang bergerak dari arah timur juga memaksa rakyat berbondong-bondong mengungsi ke arah barat dan membaur dengan para pejuang lainnya. Para rakyat yang memutuskan mengungsi ke arah barat kemudian segera melakukan pergerakan melintasi sungai Progo dan menyebar ke berbagai daerah di sebelah barat Sungai Progo. Persebaran hunian para rakyat terletak di tiga daerah, yakni (1) Dusun Banaran, Desa Banjarsari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, (2) Kelurahan Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, (3) Kelurahan Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Ketiga tempat inilah yang menjadi pusat hunian sementara bagi rakyat yang berasal dari sebelah timur Sungai Progo. Diorama peledakan Jembatan Duwet di Dusun Duwet, Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo oleh para pejuang. Pada saat itu, wilayah barat sungai Progo yang didominasi oleh perbukitan Menoreh dan jauh dari pusat kota Yogyakarta menjadi tempat ideal bagi TNI untuk menerapkan strategi perang gerilya. Selain itu, wilayah tersebut juga merupakan daerah pusat perjuangan rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan. Berbagai upaya dilancarkan, salah satunya dengan mendirikan markas-markas perjuangan guna menjaga kelangsungan negara Republik Indonesia. Markas-markas perjuangan tersebut terletak di dua wilayah yaitu (1) Dusun Banaran, Desa Banjarsari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo dan (2) Kelurahan Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Markas yang terletak di Dusun Banaran menempati rumah Bapak Karyo Utomo di bawah pimpinan Kolonel TB Simatupang yang menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Ia ditugaskan untuk melakukan koordinasi terhadap pertahanan Jawa dan Sumatera serta mengatur hubungan dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS). Sementara itu untuk markas perjuangan yang terletak di wilayah Kelurahan Banjarasri menempati rumah keluarga Bapak Nitirejo yang dipimpin oleh Pangliman Tentara Teritorium Djawa (PTTD) Kolonel Abdul Haris Nasution. Selain mendirikan markas-markas perjuangan, para pimpinan beserta rakyat Yogyakarta juga mengambil kebijakan untuk melakukan sabotase terhadap Jembatan Duwet. Hal ini dilakukan guna menjaga keamanan ketika mengatur strategi menghadapi serangan Belanda. Perusakan Jembatan Duwet dilakukan dengan cara memotong tali jembatan. Para penduduk juga melakukan pemblokiran semua jalan darat yang menuju ke wilayah Kalibawang dengan meletakkan batang-batang pohon dan ranting-ranting bambu. Aksi perusakan jembatan dan pemblokiran jalan darat ini dilakukan oleh pemuda desa yang tergabung dalam Pager Desa (Pasukan Gerilyawan Desa) di bawah koordinasi Komando Onder Distrik Militer (KODM). Dengan dilancarkannya aksi tersebut maka berakibat terhadap jalur gerak Belanda yang semakin terbatas, terhentinya bantuan tentara Belanda yang datang dari Purworejo dan Magelang, serta ketidakbebasan pergerakan pasukan Belanda yang datang dari arah Kota Yogyakarta. Dengan demikian pasukan Belanda tidak dapat menembus wilayah Banjarharja dan markas-markas perjuangan dapat aman terkendali dari serangan Belanda sampai dengan Yogyakarta kembali ke tangan RI tanggal 29 Juni 1949.[2] KeistimewaanJembatan gantung yang dibangun Belanda pada 1930-an, menghubungkan warga antar provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang dipisahkan oleh Sungai Progo. Jembatan tua beralas kayu tersebut, masih berfungsi dan dimanfaatkan sebagai arus lalu lintas dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, pariwisata, perdagangan dan peternakan warga. Adalah Jembatan Duwet yang biasa disebut Kretek Gantung (Jembatan Gantung), letaknya di perbatasan dua provinsi, yakni Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. “Meski usianya tua, jembatan gantung ini masih kokoh berdiri untuk aktivitas warga. Bahkan saya nglaju setiap hari melintasi jembatan peninggalan Belanda ini,†ujar Adi, warga Yogyakarta yang bekerja sebagai ASN di DPRD Kabupaten Magelang, Jumat (13/12/2024). Baginya, melewati jalan alternatif dari Yogyakarta menuju tempat kerja di Kota Mungkid, Sawitan, Kabupaten Magelang, selain perjalanan lebih nyaman karena melewati Selokan Mataran dengan air yang mengalir jernih, ditambah areal pertanian yang sejuk dan hijau, membuat berjalanan lebih cepat dan lancar. “Yang jelas, tidak ada kemacetan, apalagi kesemrawutan arus lalu lintas oleh kendaraan roda empat, terlebih truk-truk pengangkut pasir. Bahkan sering kali saya menjumpai atau barengan dengan turis asing yang naik sepeda motor dari Jogja ke Borobudur melintas jembatan gantung ini,†tambahnya. Senada dikatakan Budiono (50), warga Kalibawang, Kulon Progo, hampir setiap hari melintasi jembatan gantung karena mencari rumput untuk pakan ternak di wilayah Desa Bligo, Kabupaten Magelang. Selain mencari rumput, nampak juga warga Bligo yang melintasi jembatan membawa dagangan sayuran dijual ke Kalibawang. “Kalau pas musim buah durian, areal jembatan gantung ramai didatangi para wisatawan yang rombongan naik sepeda untuk singgah istirahat sambal menikmati buah durian, dan mereka berfoto di atas jembatan yang saat dilewati sedikit ada ayunan,†ujarnya. Diketahui, pada musim hujan tahun ini, jembatan gantung sebagai penghubung wilayah antara Jawa Tengah (Bligo, Ngluwar, Magelang) dengan Kalibawang, Kulon Progo, mengalami longsor di area barat (Kalibangan) yang berakibat fondasi ambrol. Untuk mencegah oleh air hujan, tanah ditutup menggunakan terpal. Jembatan gantung Duwet, terdapat utas kabel besar melengkung di atas dan selasar jembatan bergantungan kepada dua kabel tersebut melalui kawat-kawat yang lebih kecil. Di kiri-kanan selasar terdapat pagar besi dengan konstruksi sederhana, dinding jembatan menggunakan kawat kasa di sisi luar. Aliran air Sungai Progo yang deras karena berhulu dari Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, dan melewati wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, air pada musim penghujan yang mengalir deras berwarna keruh di antara dinding-dinding batuan sungai bawah jembatan yang diapit oleh tebing dalam dan curam. Lewat jembatan Gantung Duwet, direkomendasikan pada sore hari, ketika senja bertengger di atas deretan bukit Menoreh, sembari menikmati sawah hijau di wilayah Desa Bligo (sisi timur Sungai Progo), sambil menelusuri Selokan Mataram yang membentang dari Sungai Progo di bendung Ancol, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang. Sumber sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyebutkan, jembatan Gantung Duwet, masuk bangunan cagar budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda. Jembatan Duwet juga memiliki nilai historis tersendiri, karena menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota, sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya diantaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III). Sedangkan Belanda mengatur strategi dengan mengadakan aksi gerakan pembersihan di desa-desa yang dianggap sebagai kubu-kubu pertahanan gerilyawan. Aksi tersebut dilancarkan terus-menerus, sehingga membuat rakyat merasa tidak aman dan nyaman. Gerakan Belanda yang bergerak dari arah timur, memaksa rakyat mengungsi ke arah barat dan membaur dengan para pejuang lainnya. Kala itu, rakyat yang memutuskan mengungsi ke arah barat kemudian segera melakukan pergerakan melintasi Sungai Progo, dan menyebar ke berbagai daerah di sebelah barat Sungai Progo. Kemudian melakukan sabotase terhadap Jembatan Duwet, dengan cara memotong tali jembatan agar belanda tidak bisa melintas. Jembatan gantung yang dibangun Belanda pada 1930-an, menghubungkan warga antar provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang dipisahkan oleh Sungai Progo. Jembatan tua beralas kayu tersebut, masih berfungsi dan dimanfaatkan sebagai arus lalu lintas dalam kegiatan ekonomi, pendidikan, pariwisata, perdagangan dan peternakan warga. Adalah Jembatan Duwet yang biasa disebut Kretek Gantung (Jembatan Gantung), letaknya di perbatasan dua provinsi, yakni Dusun Duwet, Kelurahan Banjarharja, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, dengan Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. “Meski usianya tua, jembatan gantung ini masih kokoh berdiri untuk aktivitas warga. Bahkan saya nglaju setiap hari melintasi jembatan peninggalan Belanda ini,†ujar Adi, warga Yogyakarta yang bekerja sebagai ASN di DPRD Kabupaten Magelang, Jumat (13/12/2024). Baginya, melewati jalan alternatif dari Yogyakarta menuju tempat kerja di Kota Mungkid, Sawitan, Kabupaten Magelang, selain perjalanan lebih nyaman karena melewati Selokan Mataran dengan air yang mengalir jernih, ditambah areal pertanian yang sejuk dan hijau, membuat berjalanan lebih cepat dan lancar. “Yang jelas, tidak ada kemacetan, apalagi kesemrawutan arus lalu lintas oleh kendaraan roda empat, terlebih truk-truk pengangkut pasir. Bahkan sering kali saya menjumpai atau barengan dengan turis asing yang naik sepeda motor dari Jogja ke Borobudur melintas jembatan gantung ini,†tambahnya. Senada dikatakan Budiono (50), warga Kalibawang, Kulon Progo, hampir setiap hari melintasi jembatan gantung karena mencari rumput untuk pakan ternak di wilayah Desa Bligo, Kabupaten Magelang. Selain mencari rumput, nampak juga warga Bligo yang melintasi jembatan membawa dagangan sayuran dijual ke Kalibawang. “Kalau pas musim buah durian, areal jembatan gantung ramai didatangi para wisatawan yang rombongan naik sepeda untuk singgah istirahat sambal menikmati buah durian, dan mereka berfoto di atas jembatan yang saat dilewati sedikit ada ayunan,†ujarnya. Diketahui, pada musim hujan tahun ini, jembatan gantung sebagai penghubung wilayah antara Jawa Tengah (Bligo, Ngluwar, Magelang) dengan Kalibawang, Kulon Progo, mengalami longsor di area barat (Kalibangan) yang berakibat fondasi ambrol. Untuk mencegah oleh air hujan, tanah ditutup menggunakan terpal. Jembatan gantung Duwet, terdapat utas kabel besar melengkung di atas dan selasar jembatan bergantungan kepada dua kabel tersebut melalui kawat-kawat yang lebih kecil. Di kiri-kanan selasar terdapat pagar besi dengan konstruksi sederhana, dinding jembatan menggunakan kawat kasa di sisi luar. Aliran air Sungai Progo yang deras karena berhulu dari Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, dan melewati wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, air pada musim penghujan yang mengalir deras berwarna keruh di antara dinding-dinding batuan sungai bawah jembatan yang diapit oleh tebing dalam dan curam. Lewat jembatan Gantung Duwet, direkomendasikan pada sore hari, ketika senja bertengger di atas deretan bukit Menoreh, sembari menikmati sawah hijau di wilayah Desa Bligo (sisi timur Sungai Progo), sambil menelusuri Selokan Mataram yang membentang dari Sungai Progo di bendung Ancol, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang. Sumber sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyebutkan, jembatan Gantung Duwet, masuk bangunan cagar budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara dua wilayah di dua provinsi yang berbeda. Jembatan Duwet juga memiliki nilai historis tersendiri, karena menjadi saksi sejarah peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Peristiwa Agresi Militer Belanda II menyebabkan Kota Yogyakarta berpindah tangan ke pihak Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan TNI mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ke luar kota, sesuai arahan Panglima Besar Angkatan Perang guna mengadakan perang gerilya. Para pemimpin TNI yang bertugas mengatur pertahanan dan memimpin gerilya diantaranya adalah Jenderal Soedirman (Panglima Besar TNI), Kolonel Djati Koesomo (Kepala Staf Angkatan Perang), TB Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), dan Letkol Soeharto (Komandan Wehrkeise III). Sedangkan Belanda mengatur strategi dengan mengadakan aksi gerakan pembersihan di desa-desa yang dianggap sebagai kubu-kubu pertahanan gerilyawan. Aksi tersebut dilancarkan terus-menerus, sehingga membuat rakyat merasa tidak aman dan nyaman. Gerakan Belanda yang bergerak dari arah timur, memaksa rakyat mengungsi ke arah barat dan membaur dengan para pejuang lainnya. Kala itu, rakyat yang memutuskan mengungsi ke arah barat kemudian segera melakukan pergerakan melintasi Sungai Progo, dan menyebar ke berbagai daerah di sebelah barat Sungai Progo. Kemudian melakukan sabotase terhadap Jembatan Duwet, dengan cara memotong tali jembatan agar belanda tidak bisa melintas.[3] InsidenJembatan gantung yang berlokasi di Padukuhan Duwet II, Kalurahan Banjarharjo, Kapanewon Kalibawang, Kulonprogo resmi ditutup pada Rabu (22/3/2023). Jembatan bernama Jembatan Duwet tersebut ditutup lantaran tebing penyangga jembatan itu ambrol pada Sabtu (18/3/2023) lalu. Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan (Disbud) Kulonprogo, Siti Isnaini mengaku telah menggelar pertemuan dengan beberapa pihak guna membahas penanganan jembatan gantung yang masuk dalam Bangunan Cagar Budaya (BCB) tersebut. Advertisement “Kami sudah rapat, Senin [20/3/2023] kemarin. Pihak yang kami undang itu yang kompeten terhadap penanganan [cagar budaya] itu. BPBD juga termasuk. Dari situ kemudian dihasilkan kesepakatan untuk menutup jembatan,” kata Isnaini, Rabu. Isnaini menambahkan bahwa menurut pantauan Pemerintah Kalurahan Banjarharjo, setidaknya per dua jam terdapat lebih dari 200 kendaraan yang melintasi Jembatan Duwet. Padahal intensitas kendaraan yang tinggi dapat menambah beban jembatan, sehingga dapat membuat kerusakan tebing lebih besar. “Kami tidak punya kewenangan untuk menutup jembatan. Jadi kemarin kami bersurat kepada Polres untuk menutup jembatan. Itu kalau tidak segera ditutup takutnya memperparah kerusakan tebing sungai. Selain itu ketika kami ke lapangan, ada tambahan retakan dan itu mengkhawatirkan,” katanya. Jelasnya, Disbud masih membahas terkait anggaran penanganan jembatan tersebut. Ke depan, Disbud masih akan berkoordinasi dengan Bappeda, BKAD, BPBD, dan DPUPKP. Sebelumnya, Disbud memiliki wacana untuk menggunakan anggaran Biaya Tak Terduga (BTT). Hanya saja, BPBD telah menjelaskan terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi guna mengakses BTT seperti penanganan masih dalam status tanggap darurat. Padahal status tanggap darurat akan segera berakhir. “Status tanggap darurat itu segera berakhir, padahal juga sudah perpanjangan. Karena itu Kepala Pelaksana BPBD mengatakan tidak mungkin untuk menggunakan BTT. Kalau tidak bisa BTT, berarti pakainya prosedur reguler,” ucapnya. Selain BTT, Disbud mewacananakan untuk mengakses Dana Keistimewaan (Danais) guna perbaikan tebing penyangga jembatan yang ambrol tersebut. Laporan kejadian tersebut pun sudah dilaporkan kepada Pj. Bupati Kulonprogo dan Sekretaris Daerah. Jembatan duwet tersebut, kata Isnaini merupakan jalan alternatif menuju Jawa Tengah. Di sebelah Barat masuk ke dalam Padukuhan Duwet II, Kulonprogo, DIY, sedangkan di sebelah Timur masuk ke dalam wilayah Magelang, Jawa Tengah. Lebih jauh, Isnaini menerangkan bahwa jembatan duwet pernah dihacurkan oleh pejuang Indonesia untuk menghambat perjalanan tentara Belanda masuk ke Jogja. Jembatan tersebut direkonstruksi pada 1959 pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada 2015, rehabilitasi fisik dilakukan guna memperkuat jembatan seperti penggantian mur-baut, lantai kayu, pemasangan tambatan angin dan wire mesh sebagai pengamanan. “Nah, pada 2016 dibangun lah tebing atau talut pada sisi Barat sepanjang 30 meter guna penguatan konstruksi jembatan,” lanjutnya. Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Kulonprogo, Joko Satyo Agus Nahrowi mengatakan bahwa tebing penyangga yang ambrol tersebut telah sampai ke bagian pondasi. “Kami lihat kemarin itu fondasinya juga sudah mulai retak. Padahal waktu ambrol itu belum ada retakan,” kata Joko dihubungi, Rabu. Joko menambahkan longsoran tebing tersebut memiliki ketinggian sekitar 27 meter, lebar 30 meter, dan ketebalan lima meter.[4] Lihat pula
Referensi
Pranala luar |