Jaranan Kediri

Pertunjukan Jaranan di Kediri

Seni Jaranan Kediri adalah jenis kesenian kuda lumping yang berkembang di Kediri, Jawa Timur. Kesenian Jaranan atau Jathilan dari Ponorogo masuk ke Kediri pada abad 19 masa Hindia Belanda.

Sejarah

Jaranan Kediri berkembang di Kediri karena banyak warok Ponorogo yang mengambil bocah kecil dari Nganjuk, Madiun, Tulungagung, Trenggalek, dan Kediri yang dijadikan sebagai gemblak. Namun, mantan Gemblak di Kediri merasa malu menjadi Gemblak yang menarikan tarian anyaman kuda setelah kembali di Kediri, Barulah pada abad ke 19 setelah kabar Ranggawarsita sang pujangga Jawa yang kabur dari Pondok Pesantren Tegalsari Gebang Tinatar melakukan ngamen Jathilan di Madiun bersama pengawalnya mulai diminati kembali oleh mantan Gemblak di Kediri untuk menarikan jathilan atau jaranan, karena Ranggawarsita ternyata masih keponakan dari bupati Kediri.[1]

Ranggawarsita mahir memainkan Jathilan karena sering berkumpul dengan para Warok Ponorogo dibandingkan belajar di Pondok, sehingga Ranggawarsita yang memiliki paras rupawan menjadi idola para warok dan mendapatkan kasih sayang serta diajarkan tentang kesenian Jathilan. Untuk mengembangkan kesenian Jathilan atau jaranan yang ada di kediri, para seniman yang mantan Gemblak belajar tari jaranan ke Tulungagung yang merupakan pengasingan dari perkumpulanan Jaranan Thek Ponorogo atau Reyog Thek dari Ponorogo.[1]

Seniman Jaranan Kediri merasa memiliki kesenian Jaranan Sepenuhnya karena pada alur kisah Jaranan menceritakan pula kerajaan Kediri, sehingga mengangap bahwa kesenian Jaranan berasal dari Kediri untuk menutupi adanya sejarah hubungan bahwa banyak remaja kediri era Kolonial dijadikan Gemblak seorang Warok dari Ponorogo. Padahal mula adanya Kesenian Jaranan di kediri karena banyakan remaja Kediri diambil asuh oleh Warok dari Ponorogo sebagai Gemblak, sehingga dalam Jaranan Kediri sangat familiar penyebutan Bopo untuk pawang, yang sejarahnya seorang warok yang mengasuh Gemblak dari Kediri ini.

Pada setelah Indonesia merdeka, Jaranan Kediri tidak jauh beda dengan Jaranan Thek di Ponorogo, dari segi pakaian masih terlihat seperti pakaian yang digunakan pada penari Reog Ponorogo begitu juga musiknya, hanya saja pada Jararan Kediri tidak ada Slompret karena pada kala itu belum ada yang mampu memainkan Slompret.[2] Barulah pengaruh Reog Ponorogo di Kediri yang di gemari juga oleh warga kediri sehingga dimasukan unsur Slompret kedalam arasemen musik pada jaranan Kediri secara bertahap pada beberapa Grup dengan mengacu nada slompret kaset pita Reog Ponorogo Sardulo Seto pimpinan Mbah Misdi.

Kisah

Adapun Dalam kisah yang digunakan oleh seniman jaranan Kediri yang dikaitkan dengan terjadinya Reog Ponorogo untuk dipergunakan menutupi sejarah bahwa banyaknya anak-anak kecil dari Kediri menjadi Gemblak seorang Warok di Ponorogo sebagai berikut :

Dikisahkan Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit yang memiliki nama lain Kilisuci. Dia adalah orang kediri yang sangat cantik. Pada waktu itu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia akan menjadi suaminya.

Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.

Jaranan di Kediri terdapat Topeng Barongan Naga Baruk Klinting

Dari beberapa pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertarung terlebih dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Pertarungan tersebut dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. Dalam pertempuran itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo, rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.

Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.

Dalam perjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto. Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.

Karena Dewi Songgo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Pujangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit mengubah nama tempat itu menjadi Ponorogo. Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana diarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong.

Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono maka diciptakanlah kesenian Reog Ponorogo oleh Raja Ponorogo saat itu di Wengker, yang dimana di dalam kesenian Reog terdapat tarian jathilan (Kuda Lumping) menyebar hingga kediri karena banyaknya remaja kediri dipinang oleh warok untuk sebagai gemblaknya. sehingga Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama, Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini[3]

Dalam penyebutan, singo barong sering biasa disebut Sima dalam bahasa jawa kuno yang berarti singa. sedangkan macan atau gembong disebut Sardula yang berarti harimau, turonggo yang merupakan bahasa jawa kuno berarti Kuda. Hal ini mempengaruhi nama - nama jaranan di kediri seperti adanya nama singo yang diambil dari tokoh singo barong, Menggolo yang diambil dari tokoh warok Ponorogo, Suro yang diambil dari nama depan tokoh-tokoh warok Ponorogo seperti Suro Menggolo, suro bangsat, suro Handoko, dan Turonggo yang diambil dari nama kuda.

Peralatan

Pada pertunjukan Jaranan Kediri diperlukan berbagai peralatan kesenian sebagai berikut :

  1. Kuda Lumping, Penari di bagian ini menggunakan anyaman bambu berbentuk hewan kuda. dilengkapi pakaian penunjang seperti udeng, baju, celana, sempyok dada panjang jathilan ponorogo, sabuk epek timang dan selendang.
  2. Celeng, Penari di bagian ini menggunakan kulit hewan bisa juga menggunakan anyaman bambu berbentuk hewan babi. dilengkapi pakaian penunjang seperti udeng, baju, celana, sempyok dada jpanjang athilan ponorogo, sabuk epek timang dan selendang.
  3. Topeng Barongan Singo Barong, Penari di bagian ini menggunakan Kruduk Ponoragan (dahulu dan sebagaian saat ini) atau Kruduk Barongan, Rompi setengah, Embong Ponoragan, Celana pembarong Sembryong Ponoragan atau Celana Serembyong kreasi baru bentuk celana barong sai.
  4. Topeng Barongan Kucingan alias Klono sewandono, Penari di bagian ini menggunakan Kruduk Ponoragan (dahulu dan sebagaian saat ini) atau Kruduk Barongan, Rompi setengah, Embong Ponoragan, Celana pembarong Serembyong Ponoragan atau Celana Srembyong kreasi baru bentuk celana barong sai.
  5. Bopo atau Bomoh, merupakan panggilan Gemblak kepada Warok yang dianggap seabagai ayah atau bapak, Bopo berarati Bapak. pada Bagian ini menggunakan udeng, Kaos Lorek Ponoragan, Penadon Ponoragan, Othok Ponoragan, Celana Kombor Ponoragan, tali Kolor Ponoragan dan Pecut besar. adapun bopo saat ini hanya tanpa menggunakan penadn, cukup mengenekan kaos lorek.
  6. Musik sebagai pengiring terdiri dari Kendang, 3 kenong, 2 Gong, Slompret Reog. Pada Jaranan Kediri, mulanya tidak menggunakan Slompret setelah mendapat pengaruh dari Ponorogo barulah ada penambahan Slompret untuk mengiringi Jaranan Kediri,[4] Instrumen opening yang menjadi acuan Jaranan Kediri saat ini adalah kaset pita dari Reog Ponorogo Grup Sardulo Seto.
  7. Ubo Rampe atau sesajen

Pementasan

Pementasan Jaranan di Kediri terdapat urutan sebagai berikut :

  1. Buka Kalangan, para Bopo membawa ubo rampe atau sesajen dengan dupa. setelah itu para bopo mencambukan pecut besar ke tanah.
  2. Tarian kuda lumping
  3. Tarian Celeng
  4. Tarian Barongan Kucingan, Rampak
  5. Tarian Barongan Singo Barong, Rampak
  6. Tarian pertarungan kuda lumping melawan celeng dan Barongan singo Barong
  7. Kesurupan

Dalam pementasan Jaranan sering terjadinya tawuran antara pemain dan penonton, karena banyak penonton yang melanggar aturan sperti bersiul, karena hal tersebut dapat mengganggu konsentrasi penari dan membuat roh leluhur pada jaranan marah.

Ciri Khas Barongan di Kediri

Barongan ciptaan Bambang Bangsal

Selama pementasan pada Jaranan Kediri menggunakan barongan lawasan yang notabenya berasal dari Tulungagung, maka dari itu Bambang yang seorang Seniman Reog Ponorogo di Bangsal Kediri membuat bentuk model barongan kreasi terbaru dengan beberapa sentuhan modern, seperti bentuk ujung mulut berbentuk huruf "M" atau bentuk "Love" yang dikonteskan pada lomba pembuatan barongan kuda lumping dan menjadi Juara, sehingga menjadi suasana baru pada Jaranan di kediri dan menjadi acuan Barongan pada Jaranan Kediri pada saat ini.

Hak cipta Jaranan Kediri ditolak

Pada tahun 2009 Pemerintah kab. Kediri pernah mengajukan Hak Cipta Paten ke kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bahwa Jaranan adalah kesenian kuda lumping asal Kediri, sebagai antisipasi kedepannya apabila kuda lumping diklaim Malaysia. Namun Permintaan tersebut di tolak pada tahun 2010 setelah melalui proses panjang, karena pada jaranan yang diajukan pemkab Kediri sendiri sebenarnya Jaranan tidak bisa dipatenkan karena memiliki banyak variasi gerakan di sejumlah daerah. Selain Kediri, kesenian ini juga ditemukan di Kabupaten Nganjuk, Blitar, Ponorogo dan Tulungagung, terlebih kesenian properti anyaman berbentuk kuda sudah dipatenkan dalam kesenian Reog .[5]

Selain itu, persoalan kesenian kuda lumping di Malaysia telah selesai. Kuda Kepang merupakan kuda lumping yang di kenal di Malaysia di lestarikan oleh keturunan Jawa bagian Ponorogo, Bukan Jawa bagian Kediri.[6]

Referensi

  1. ^ a b Ranggawarsita, Raden Ngabei (2007). Zaman Edan Ronggowarsito. ISBN 9789791634137. 
  2. ^ tim peneliti, Proyek sasana budaya direktorat jenderal kebudayaan (1978). Reog Di Jawa Timur. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudyaan. 
  3. ^ "Tarian Kuda Lumping: Sejarah, Asal daerah, Properti dan Fungsinya". Saintif. 
  4. ^ Reog Di Jawa Timur. Jakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan. 1978. 
  5. ^ .co, Tempo (16 Juni 2010). "Pengajuan Hak Cipta Jaranan Kediri Ditolak". Tempo.co. Diakses tanggal 31 mei 2021. 
  6. ^ DJ, Arik (september 2014). "HUBUNGAN KEBUDAYAAN INDONESIA DAN MALAYSIA : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN REYOG PONOROGO KE BATU PAHAT, JOHOR". HUBUNGAN KEBUDAYAAN INDONESIA DAN MALAYSIA : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN REYOG PONOROGO KE BATU PAHAT, JOHOR. 
Kembali kehalaman sebelumnya