Jangan bersaksi dusta
"Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu", atau sering disingkat "Jangan bersaksi dusta", adalah perintah kesembilan (atau perintah kedelapan menurut penomoran Katolik dan Lutheran)[1] dari Sepuluh Perintah Allah,[2] yang secara luas dipahami sebagai keharusan moral oleh para cendekiawan hukum, Yahudi, Katolik, dan Protestan.[3][4][5] Saat ini, sebagian besar budaya mempertahankan perbedaan antara dusta atau kebohongan secara umum (yang ditentang dalam kebanyakan situasi, meski tidak semua) dengan kesaksian atau sumpah palsu (yang adalah melanggar hukum berdasarkan hukum pidana dan dapat dikenakan hukuman). Demikian pula, dalam tradisi Yahudi secara historis, dibuat suatu perbedaan antara berdusta pada umumnya dan mengucapkan kesaksian (sumpah) palsu pada khususnya. Di satu sisi, mengucapkan kesaksian palsu adalah dilarang berdasarkan perintah dalam dekalog ini. Di sisi lain, menurut tradisi Yahudi, berdusta atau berbohong secara umum dalam keadaan tertentu dianggap "dapat diperbolehkan atau bahkan patut dihargai" apabila merupakan suatu 'kebohongan putih' dan tidak dilakukan di bawah sumpah, serta dianggap tidak "berbahaya bagi orang lain".[6] Kitab Keluaran mendeskripsikan bahwa Sepuluh Perintah Allah difirmankan oleh Allah, ditulis pada dua loh batu oleh Jari Allah, dipecahkan oleh Nabi Musa, dan ditulis kembali oleh TUHAN sebagai ganti loh-loh yang telah ia pecahkan itu.[7]
Perintah yang melarang kesaksian palsu ini dipandang sebagai suatu konsekuensi alami dari perintah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Rumusan moral ini berasal dari perintah kepada "bangsa kudus" untuk menjadi saksi bagi Tuhan mereka. Pelanggaran terhadap kebenaran melalui perkataan ataupun perbuatan merupakan suatu penolakan terhadap kejujuran moral, sehingga merupakan ketidaksetiaan mendasar terhadap Allah dan dalam pengertian ini berarti perusakan dasar-dasar perjanjian dengan Allah.[8] Perjanjian BaruMenurut Perjanjian Baru, Yesus menjelaskan bahwa menuruti larangan terhadap saksi dusta dari Sepuluh Perintah Allah merupakan suatu syarat untuk memperoleh hidup yang kekal.[9][10] Menurut Yesus, kesaksian atau sumpah palsu berasal dari keinginan berdosa di dalam hati dan menjadikan orang yang mengucapkannya najis.[11] Narasi Perjanjian Baru juga mencatat beberapa peristiwa yang mendeskripsikan orang-orang yang bersaksi palsu terhadap Yesus dan murid-murid-Nya. Ketika Yesus diadili di hadapan Mahkamah Agama, para imam kepala mencari bukti agar Ia dapat dihukum mati, dan narasi dalam Injil Matius menyatakan bahwa banyak saksi palsu (bahasa Yunani: πολλων ψευδομαρτυρων) tampil ke depan.[12] Yesus tetap diam sampai imam besar meminta Ia untuk menjawab di bawah sumpah "apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak". Yesus lalu menegaskannya.[13] Kisah Para Rasul mendeskripsikan Stefanus yang disergap dan dibawa ke hadapan Mahkamah Agama. Mereka yang menentang Stefanus membujuk saksi-saksi palsu untuk bersaksi bahwa Stefanus bersalah karena menghujat Nabi Musa dan Allah. Stefanus menggunakan kesempatan persidangannya untuk mengingatkan Mahkamah Agama dengan bersaksi mengenai pemberontakan, penyembahan berhala, dan penganiayaan terhadap para nabi yang berpuncak dalam pembunuhan Yesus. Mereka menjadi sedemikian marah sehingga Stefanus dilempari batu sampai meninggal dunia.[14][15][16] Perjanjian Baru menceritakan para Rasul yang ditunjuk sebagai saksi sejati pelayanan dan kebangkitan Yesus Kristus.[17][18] Rasul Paulus menggunakan larangan terhadap kesaksian palsu yang terdapat dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan rasa takutnya akan Allah apabila ia didapati sebagai seorang saksi palsu tentang Allah berkenaan dengan kebangkitan.[19]
Dalam Roma 13:9, Rasul Paulus menyebutkan sejumlah perintah dalam Sepuluh Perintah Allah yang dapat diringkas dengan perkataan "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Textus Receptus dan Alkitab Versi Raja James memuat "Jangan mengucapkan saksi dusta", tetapi perintah ini tidak terdapat pada beberapa naskah awal yang berisi Roma 13, dan Cambridge Bible for Schools and Colleges mengemukakan bahwa bagian tersebut "mungkin dihilangkan berdasarkan bukti dokumenter".[21] Pandangan OrtodoksUmat Kristen Ortodoks diharapkan untuk menegakkan kebenaran, setiap saat dan di segala tempat, tanpa kecuali. Fitnah dan gosip adalah sama-sama jahat, dan penutur pertamanya bertanggung jawab atas bahaya atau kerugian lebih lanjut yang diakibatkannya seiring dengan menyebarnya laporan itu. Kecuali ada suatu alasan kuat dan mendesak untuk membicarakan hal buruk tentang seseorang, seperti halnya dalam kasus melindungi diri sendiri ataupun orang lain dari ancaman bahaya, hal itu tidak diperbolehkan sekalipun laporan tersebut benar. Santo Doroteus dari Gaza mengatakan, "Kamu mungkin tahu soal dosa, tetapi kamu tidak tahu soal pertobatan."[22] Pandangan KatolikGereja Katolik menafsirkan perintah yang melarang pengucapan "saksi dusta" ini secara lebih luas daripada konteks historis sumpah palsu dalam tradisi Yahudi, dan memandangnya sebagai suatu larangan yang lebih luas terhadap pembalikan kebenaran dalam hubungan seseorang dengan sesamanya. Perintah ini menuntut penyampaian keadaan yang sebenarnya dan penghormatan nama baik orang lain, sekalipun orang tersebut telah meninggal dunia. Secara garis besar, perintah ini melarang umpatan (kesalahan nyata), fitnah (kesalahan palsu), gosip, penilaian gegabah, kebohongan, dan pelanggaran rahasia.[23] Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa mengucapkan saksi dusta atau "mengatakan kebohongan dengan maksud menipu" mencakup seluruh pelanggaran akan kebenaran.[24] Peter Kreeft mengatakan bahwa berat tidaknya pelanggaran-pelanggaran ini tergantung pada "niat dari orang yang berbohong dan kerugian yang diderita oleh korbannya."[25] Berikut dicantumkan daftar pelanggaran ini:
Gereja mewajibkan mereka yang telah merusak reputasi orang lain untuk melakukan pemulihan atas ketidakbenaran yang telah mereka sampaikan.[24][26] Meskipun demikian seseorang tidak memiliki kewajiban untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada orang yang tidak berhak mengetahuinya, dan disyaratkan juga penghormatan terhadap hak atas privasi atau hal-hal pribadi.[24][26] Para imam dilarang melanggar kerahasiaan pengakuan dosa[26] betapa pun berat dosa yang diakukan oleh peniten ataupun dampaknya terhadap masyarakat. Termasuk juga dalam ajaran Gereja mengenai perintah ini yaitu kewajiban umat Kristen untuk memberikan kesaksian iman mereka "dengan jelas" dalam situasi-situasi yang menuntut demikian.[24][25] Gereja mengecam penggunaan media modern untuk menyebarkan ketidakbenaran baik oleh individu, institusi bisnis, ataupun pemerintah.[24][25] Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|