Jamus KalimasadaSerat Jamus Kalimasada adalah nama sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka ini berwujud 3 senjata ampuh dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam Kerajaan Amarta. Kisah dalam PewayanganSalah satu kisah pewayangan Jawa menceritakan tentang asal usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa. Batara Guru raja kahyangan meminta bantuan Bambang Sakutrem dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Sakutrem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga. Sakutrem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wiyasa atau Abiyasa. Ketika kelima cucu Abiyasa, yaitu para Pandawa membangun kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana. Di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat utama. Kisah-kisah pedalangan banyak yang bercerita tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya. Akulturasi Nilai Keislaman pada Makna KalimasadaKedatangan Islam di tanah Jawa melalui jalan akulturasi budaya dengan menggeser makna-makna asal pewayangan dari Hindu menuju Islam, seperti halnya akulturasi budaya Hindu India ke Hindu Nusantara. Pada akulturasi Hindu-India ke Hindu-Nusantara, akulturasi ini berbentuk perubahan alur kisah, status maupun struktur wiracarita yang mewujud pada penokohan dan status tokoh yang ada dalam cerita[1]. Ketika Islam tiba di Indonesia, sejak era akhir pemerintahan Sriwijaya[2], akulturasi budaya terjadi perlahan melalui bauran antara pendatang dari negeri-negeri di Timur yang menetap di wilayah Pesisir dengan penduduk Sriwijaya [3]. Hal ini juga terjadi di wilayah Pulau Jawa dengan menetapnya pendatang dari negeri-negeri Timur di wilayah Pesisir Utara seperti Gresik[4]. Penyebaran Islam yang terjadi kemudian juga mengikuti pola akulturasi dengan mengadaptasi budaya Hindu-Buddha, memodifikasi simbolisasi dan menggeser pemaknaan yang sejalan dengan agama Islam[5]. Akulturasi ini juga terjadi pada literatur Hindu-Buddha Nusantara, salah satunya adalah pemaknaan ulang metafora Jamus Kalimasada. Menurut Salim A. Fillah, merujuk pada sumber-sumber manuskrip Het Boek van Bonang[6] dan Serat Walisana[7], perubahan makna metaforis ini digunakan oleh Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga sebagai pengejawantahan nilai-nilai Islam pada Kalimasada. Kalimasada memiliki struktur kata yang mirip dengan Kalimat Syahadat. Dalam lakon wayang Serat Jamus Kalimasada, jimat Kalimasada digambarkan sebagai ageman yang bermakna senjata, dan pegangan yang berkonotasi dengan ajian dan kepercayaan[5]. Ageman Kalimasada dimaknai oleh Sunan Kalijaga sebagai pegangan nilai dan pandangan hidup Islam yang menyelamatkan Punakawan dari kekeliruan hidup yang berujung pada api neraka[8]. Referensi
|