HipsterHipster merupakan sekumpulan masyarakat subkultur yang memiliki kesukaan akan hal yang dianggap memiliki jiwa seni, intelektual, dan berbeda atau tidak mengikuti selera pasar bahkan jauh terkenal sebelum mencapai masa ketenaran. Hipster merupakan salah satu produk subkultur yang secara umum disepakati sebagai kelompok yang menolak arus utama (mainstream) terutama dalam hal selera busana, musik, film, dan produk kesenian lainnya.[1] Hipster dikenal secara umum untuk gaya estetika mereka yang ironis dan pemujaan berlebih terhadap produk seni budaya serta muncul dalam media terkini sebagai target rutin kritikan serta satir.[2] Pada umumnya, fenomena hipster berpusat pada negara-negara barat di mana hipster sering dikonotasikan sebagai masyarakat kulit putih, lulusan perguruan tinggi, kelas menengah, dan menyenangi kesenian. Tetapi pada era modern, hipster juga dapat ditemukan di negara-negara maju lain selain di dunia barat dan kawasan kota besar lainnya di dunia seperti di Tokyo, Hong Kong, dan Singapura. EtimologiIstilah hipster berawal dari penyebutan untuk penggemar kesenian yang turun martabatnya dan penyimpangan dari kebudayaan akhir jazz kulit hitam yang ditulis di dalam esai terkenal dari kritikus sastra Amerika Serikat, Anatole Broyard (1948)[3] Selain itu, istilah hipster di dalam referensi subkultur kontemporer memiliki makna luas yang mencakup arti dari baik identifikasi (penanda) kelompok tertentu dan ejekan khas.[2] Sebagai penanda, istilah tersebut merujuk pada individu-individu yang cenderung kreatif yang membentuk komunitas di dalam kawasan kumuh perkotaan (urban), seperti Williamsburg, Brooklyn tetapi juga mencakup Lower East Side di New York City, Capitol Hill di Seattle, Silver Lake di Los Angeles dan Inner Mission di San Fransisco pada akhir 90-an/ awal 2000-an.[2][4] Karena paling sering dikaitkan dengan fenomena gentrifikasi, komunitas hipster menarik kaum dewasa awal (usia 20-an akhir dan 30-an awal) yang berasal dari bagian kota yang lain dengan bakat untuk memperbaiki rumah-rumah yang terbengkalai.[2] Sebagai tambahan, kelompok ini sering ditampilkan sebagai, dan menjadi sering didefinisikan, suatu komunitas saling berbagi kesenangan estetika pribadi dari simbol budaya rendah yang ironis serta mengapresiasi busana kontrabudaya.[2] Keteraturan dari penampilan mereka sering ditampilkan sebagai bagian dari tindakan tren massal yang menemukan, menyaring dan menangkap produk budaya yang unik.[2] Sebagai ejekan, hipster sering ditunjukkan kepada kelompok subkultur tertentu yang menyerupai individu pada lokasi geografis yang terpencil dan berhubungan pada suatu etos dangkal dan berpusat pada diri sendiri.[2] Pada konsep ini, hipster memiliki kesamaan tampilan dan pandangan liberal nonkonformis nyata tetapi lebih termotivasi hasrat untuk menciptakan suatu wujud pemberontak yang modis dibandingkan radikalisme murni.[2] SejarahTanpa mengesampingkan arti kekinian dari hipster, istilah tersebut pada faktanya bukanlah istilah modern. Istilah hipster sendiri telah digunakan sejak 70 tahun ke belakang sebagai deskripsi untuk kelompok subkultur terdahulu.[5] 1940-an hingga 1990-anIstilah hipster sendiri muncul pada 1940-an ketika kaum kulit putih di Amerika Serikat mengadopsi gaya musisi jazz kulit hitam. Orang-orang ini dikenal sebagai hipster disebabkan oleh fakta bahwa gaya berbusana dan berperilaku yang dikatakan cukup keren (hip). Pada akhir 50-an, kelompok orang ini menjadi fokus perhatian umum melalui sekelompok puisiwan dan pengarang yang kemudian hari dikenal sebagai "Beat Generation".[5][6] Kemudian, menurut wartawan Mark Greif, istilah tersebut kembali muncul selama akhir 90-an untuk menggambarkan apa yang dahulu disebut sebagai kaum bohemian dari Williamsburg, sebuah kawasan pemukiman di New York City dan dianggap sebagai awal mula fenomena hipster berasal.[2][5][7] Pada 1950-an, Norman Mailer menulis artikel berjudul The White Negro di mana artikel tersebut membahas mengenai kelompok kaum kulit putih yang mengadopsi gaya musisi jazz kulit hitam tersebut dan menyematkan kalimat "hipster".[3][8] Di dalam artikel tersebut, Norman Mailer menganggap bahwa kaum hipster adalah golongan orang yang mencoba menjadi existensialis atau berusaha untuk menonjolkan diri. Selain itu, Norman Mailer juga berargumen bahwa sumber hipster sendiri memang berasal dari kaum negro (kulit hitam) dikarenakan kaum kulit hitam telah hidup di dalam batasan di antara masyarakat totalitarian dan demokrasi selama lebih dari dua dekade.[8] Kemunculan hipster sebagai filosofi hidup pada sub-kultur gaya hidup Amerika, menurut Norman Mailer, disebabkan oleh musik jazz dan penetrasinya ke dalam kebudayaan bagaikan tancapan pisau serta pengaruh penetrasi yang halus dari generasi avant-garde, generasi pasca perang, yang telah menyerap berbagai pelajaran dari kekecewaan serta kemuakan pada 1920-an, era depresi dan Perang Dunia Kedua.[8] 1990-an hingga 2000-anPada era 1990-an, kelompok hipster muncul pada tahun 1999 sebagai kelompok hipster kontemporer. Kelompok sub-kultur ini menikmati masa-masa kejayaannya hingga tahun 2003.[4] Menurut wartawan Mark Greif, hipster berevolusi selama 1999 hinggga 2009 meskipun hipster telah berganti penampilan secara dramatis di dalam satu dekade. Hipster sendiri telah bertahan dan masih ada di manapun. Indikatornya ada di manapun yang memungkinkan untuk dilakukan suatu pengarsipan.[4] Kemunculan hipster sendiri tidak dapat dilepaskan dari kultur generasi muda 90-an (generasi X) yang disebut sebagai alternatif atau indie, yang mendeskripsikan kelompoknya melalui penolakan terhadap konsumenisme. Melalui suatu etnografi di Wicker Park, Chicago pada 90-an, sosiologis Richard Lloyd mendokumentasikan apa yang disebut sebagai "neo-bohemia" yang secara tidak sengaja berubah menjadi hal lain: persemaian hipster pasca 1999.[4] Lloyd menunjukkan bagaimana suatau budaya dari seniman ambisius yang bekerja sehari-hari di bar dan kedai kopi yang secara tidak sengaja menyediakan semacam lingkungan baru untuk pemasaran modal terkini pada desain, pemasaran, dan pengembangan web. Pemukiman neo-bohemian yang dekat dengan pusat perkembangan kemakmuran baru dari pusat perekonomian kota yang menjadi kawasan pusat hiburan dan perhatian untuk kelas baru kaum muda kaya. Kaum indie bohemian (yang direndahkan sebagai pemalas) memadukan flanel dengan jiwa pengusaha dan milyuner bersaham dot-com (yang direndahkan sebagai yuppies).[4] Hipster di berbagai negaraDunia BaratAmerika Serikat dan KanadaDi Amerika Serikat, wilayah Pasifik barat laut (En: Pacific Northwest) dianggap sebagai zona nyaman dan surga bagi kaum hipster terutama kota-kota besar seperti Seattle (kawasan Capitol Hill), Vancouver, dan Portland, Oregon (Pearl District).[9] Sedangkan di wilayah lain seperti Midwest dan Amerika Timur Laut dianggap sebagai tempat lain di mana hipster berkembang pesat terutama di kota-kota seperti Minneapolis, Brooklyn, Chicago, dan Boston. Selain itu, kota-kota besar lain seperti New York City, Los Angeles, San Fransisco (kawasan Inner Mission District), Oakland, Denver, Austin, dan Atlanta juga dianggap sebagai tempat di mana banyak ditemukan sub-kultur hipster.[10][11] Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kawasan Williamsburg di Brooklyn, New York City dianggap sebagai kawasan pertama munculnya kelompok hipster ini. Eropa[12]Britania RayaDi Britania Raya, kota-kota seperti London, Manchester, Liverpool, Glasgow, Edinburgh dianggap sebagai kota-kota dengan populasi hipster yang cukup dominan. Salah satu tokoh yang dianggap sebagai stereotip dan ikon hipster adalah Morrissey dan grup band The Smiths. Ia dianggap sebagai salah satu ikon hipster mengingat busana yang Ia gunakan di dalam pentasnya bersama The Smiths maupun saat bersolo karir hingga lirik-lirik lagu yang Ia buat untuk keduanya. Selain itu, sebelum menjadi vokalis The Smiths, Morrissey pernah menulis buku terkait James Dean yang dianggap sebagai salah satu ikon hipster pada dekade 50an. JermanDi Jerman sendiri, Berlin, Frankfurt, Hamburg, dan Munich sering dianggap sebagai kota-kota di mana dapat ditemukannya hipster. AsiaJepangTokyo sering dianggap sebagai ibu kota hipster di Asia. Hal ini terkait dengan status Jepang sebagai negara maju dan banyaknya komunitas kreatif yang berpusat di Tokyo seperti Harajuku dan status Jepang dan Tokyo sendiri sebagai kawasan dengan biaya hidup yang relatif tinggi. Kawasan Shimokitazawa dikenal sebagai kawasan hipster di Tokyo.[9] SingapuraSingapura sendiri dianggap sebagai surga hipster di Asia Tenggara. Meskipun menyandang peringkat sebagai negara paling disiplin di dunia, Singapura juga memiliki komunitas hipster yang kuat. Hal ini tidak terlepas dari mahalnya biaya hidup di Singapura termasuk perumahan. Hong KongHong Kong juga dikenal sebagai kawasan di Asia yang memiliki komunitas hipster yang kuat.[13] IndonesiaDi Indonesia, hipster mudah ditemukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta. Di Jakarta, kawasan Kebayoran Baru dan Blok M dikenal sebagai kawasan hipster selain di Tebet.[9] Di Yogyakarta, para hipster terbaurkan dengan seniman-seniman yang telah ada pada kantong-kantong budaya, contohnya Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, KPY, Bentara Budaya, Bugisan, dan lain sebagainya. Referensi
|