Hipogonadisme
Hipogonadisme (bahasa Inggris: hypogonadism, hypogenitalism) adalah istilah medis untuk merujuk simtoma penurunan aktivitas kelenjar gonad.[1] Kelenjar gonad, ovarium atau testis, merupakan kelenjar yang memproduksi hormon reproduksi beserta sel gamet, ovum atau spermatozoid. Beberapa manifestasi dari Hipogonadisme,
KlasifikasiHipogonadisme pada PriaBeberapa peneliti membagi hipogonadisme pada pria ke dalam beberapa kelompok yang berbeda. Pedoman yang diterbitkan oleh Asosiasi Urologi Eropa pada tahun 2012 membagi hipogonadisme pada pria menjadi empat kelas, yakni:[3] 1. Hipogonadisme primer disebabkan oleh insufisiensi testis; 2. Hipogonadisme sekunder yang disebabkan oleh disfungsi hipotalamus-hipofisis; 3. Hipogonadisme onset lambat; dan 4. Hipogonadisme karena insensitivitas reseptor androgen. Sementara itu American Association of Clinical Endocrinologists'' membagi hipogonadisme ini menjadi dua kelas, yakni hipogonadisme hipogonadotropik dan hipogonadisme hipergonadotropik.[4] Hipogonadisme pada WanitaHipogonadisme hipergonadotropik Hipogonadisme hipergonadotropik atau kegagalan ovarium mungkin terjadi karena kelainan kromosom, gangguan autoimun, infeksi (mumps oophoritis), dan iradiasi atau obat sitotoksik. Banyak kasus hipogonadisme hipergonadotropik adalah idiopatik bahkan setelah penyelidikan yang ekstensif. Para wanita yang mengalami amenore primer atau sekunder memiliki estrogen endrogen yang rendah dan kadar FSH yang sangat tinggi. Tidak ada keuntungan dalam melakukan laparoskopi dan biopsi ovarium untuk mendeteksi adanya mendeteksi adanya folikel pada sindrom ovarium resisten karena bersifat invasif dan hasilnya masih meragukan.[5] Sekitar setengah dari wanita muda dengan hipogonadisme hipergonadotropik spontan mengalami fungsi ovarium dan kehamilan spontan yang intermiten dan tak terduga yang dilaporkan pada sekitar 5-10 % dari kasus setelah dilakukannya diagnosis. Meskipun ada pengobatan induksi ovulasi yang sukses, setiap bentuk induksi ovulasi tidak dianjurkan untuk pasien ini. Satu-satunya pengobatan yang realistis untuk pasien ini adalah penggunaan telur donor pada fertilisasi in vitro. Selain itu, mereka harus ditawarkan terapi penggantian hormon jangka panjang untuk melindungi tulang mereka dari efek buruk hipoestrogenisme.[5] Hipogonadisme hipogonadotropik Pasien ini datang dengan amenorea primer atau sekunder. Mereka memiliki konsentrasi estradiol serum yang sangat rendah karena rendahnya FSH dan LH dari sekresi kelenjar hipofisis. Hal itu dapat disebabkan baik penyebab kongenital seperti sindrom Kallmann (defisiensi gonadotropin terisolasi dan anosmia) atau penyebab yang didapat seperti tumor hipofisis, nekrosis hipofisis (sindrom Sheehan), stres dan penurunan berat badan berlebihan (anoreksia nervosa).[5] DiagnosisPada pria dengan manifestasi klinis sugestif defisiensi androgen, diagnosis hipogonadisme ini dikonfirmasi secara biokimia dengan pengukuran konsentrasi testosteron yang rendah secara konsisten pada dua kali kesempatan. Sebagaimana halnya manifestasi klinis, konfirmasi biokimia defisiensi androgen memiliki kesulitannya sendiri. Kadar testosteron menunjukkan variabilitas biologis maupun konsentrasi. Konsentrasi testosteron total dipengaruhi oleh perubahan pada SHBG (sex hormone-binding globulin), dan kadar testosteron mungkin tertekan sementara waktu dengan adanya penyakit, pengobatan tertentu, dan beberapa defisiensi nutrisi. Oleh karena itu, diagnosis biokimia ini membutuhkan pemeriksaan kadar testosteron serum yang rendah secara konsisten dan tegas pada minimal dua kali kesempatan yang terutama dilakukan pada pagi hari. Pada pria yang memiliki kondisi yang mempengaruhi SHBG, pengukuran bioavaliabilitas testosteron atau testosteron bebas yang akurat dan dapat dipercaya diperlukan untuk menegaskan diagnosis hipogonadisme. Akhirnya, diagnosis hipogonadisme seharusnya tidak dilakukan selama fase akut atau sub akut dari suatu penyakit tertentu.[6] Kadar ambang batas testosteron total atau bebas yang terdapat dalam sirkulasi yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis dan terapi yang mana yang dapat memperbaiki gejala belum diketahui secara pasti. Bagaimanapun juga, konsep single threshold testosterone level mungkin saja tidak valid dan tidak bermanfaat secara klinis, karena nilai ambang batas ini bervariasi dengan gejala dan target organ atau jaringan tertentu. Secara umum, gejala dan tanda defisiensi androgen lebih sering terjadi pada kadar testosteron total di bawah batas bawah nilai normal pria muda yang sehat (kira-kira 280-300 ng/dL atau 2,8-3,0 ng/mL [9,7-10.4 nmol/L]).[6] Penilaian LH, FSH, prolaktin, dan kadar estradiol dan tes fungsi tiroid diperlukan untuk mendeteksi hipogonadisme pada wanita. Jika kadar gonadotropin tinggi, perlu dilakukan pengukuran kadar antibodi antiovarian. Karyotyping juga dapat membantu untuk mendiagnosis penyebab hipogonadisme.[7] PenatalaksanaanPengobatan pasien dengan hipogonadisme hipergonadotropik dilakukan dengan penggantian hormon seks pada laki-laki dan perempuan. Untuk pengobatan pasien dengan hipogonadisme hipogonadotropik, pendekatan yang biasa dilakukan adalah dengan penggantian hormon seks untuk mempertahankan karakteristik seks sekunder.[8][9] Penggantian steroid seks tidak menghasilkan peningkatan ukuran testis pada laki-laki ataupun kesuburan pada laki-laki maupun perempuan. Gonadotropin atau hormon pengganti GnRH dapat dilakukan untuk meningkatkan kesuburan. Kontrasepsi oral juga diketahui dapat memberikan estrogen dan progesteron dalam kombinasi yang dapat memenuhi kebutuhan hormon pasien. KomplikasiKomplikasi hipogonadisme yang tidak diobati termasuk hilangnya libido, kegagalan untuk mencapai kekuatan fisik, implikasi sosial, dan osteoporosis. Osteoporosis memiliki onset yang lebih cepat pada individu dengan hipogonadisme, karena itu kepadatan mineral tulang harus dibandingkan dengan standar normatif terkait usia, dan diikuti secara longitudinal.[8] PrognosisPria dan wanita dengan hipogonadisme dapat menjalani hidup normal dengan terapi sulih hormon. Sekitar 20-25% dari wanita dengan sindrom Turner dapat mengalami pubertas spontan. Estrogenisasi spontan terjadi lebih sering pada wanita dengan kariotipe mosaik dan mereka yang memiliki kariotipe dengan kromosom X kedua yang abnormal. Pernah juga dilaporkan wanita dengan sindrom Turner mosaik hamil tanpa fertilisasi in vitro.[8] Lihat pulaRujukan
|