Gordang SambilanGordang Sambilan atau Margondang adalah salah satu kesenian Tradisional suku Batak Mandailing. Gordang artinya gendang atau beduk sedangkan sambilan artinya sembilan, gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang atau bedug yang mempunyai panjang dan diameter yang berbeda sehingga menghasilkan nada yang berbeda pula. Gordang Sambilan biasa dimainkan oleh enam orang dengan nada gendang yang paling kecil 1, 2 sebagai taba-taba, gendang 3 tepe-tepe, gendang 4 kudong-kudong,gendang 5 kudong-kudong nabalik, gendang 6 pasilion, gendang 7, 8, 9 sebagai jangat. Dahulu Gordang Sambilan hanya dimainkan pada acara-acara yang sakral, seiring dengan berkembangya kultur sosial masyarakat saat ini Gordang Sambilan sudah sering diperdengarkan baik dalam acara pernikahan, penyambutan tamu, hari besar.[1] Sebagai salah satu warisan budaya Indonesia Gordang Sambilan sudah pernah dimainkan di istana presiden.[2] Di samping Gordang Sambilan ada gondang Tunggu-Tunggu 2 (dua) yang terdiri dari dua buah gendang dengan ukurannya lebih kecil dari gondang sambilan, jika gendang sambilan pemukulnya terbuat dari kayu makan gendang tunggu-tunggu 2 pemukulnya memakai tangan sendiri. EtimologiGordang Sambilan berasal dari kata gordang yang memiliki arti gendang atau beduk dan sambilan yang artinya sembila. Makna kata ini bermaksud sembilan gendang yang memiliki ukuran dan bunyi yang berbeda-beda.[3] Asal-usulGordang Sambilan merupakan kebudayaan Suku Mandailing yang diperkirakan telah muncul sejak tahun 1475 di daerah Mandailing Natal saat kepemimpinan Raja Sibaroar dari Kerajaan Nasution. Saat itu alat musik ini digunakan dalam kegiatan pesta pernikahan dan hiburan rakyat. Alasan penggunaan kata sembilan memiliki beragam versi sejarah. Menurut satu versi, kata sambilan berasal dari pemain gendang yang berjumlah sembilan yang terdiri dari naposo bulung atau pemuda, anak boru yaitu saudara perempuan dari keturunan Ayah, kahanggi yaitu saudari laki-laki dari keturunan ayah, serta raja. Versi lain beranggapan bahwa kata sambilan melambangkan sembilan raja yang berkuasa di daerah Mandailing Natal, yaitu Nasution, Pulungan, Rangkuti, Hasibuan, Lubis, Matondang, Parinduri, Daulay, dan Batubara.[4] Bahan baku dan ukuranAlat musik ini dibuat dari kayu yang bagian tengahnya dibuang untuk membentuk tabung resonator dengan permukaan yang menutup satu lubang dari bahan kulit sapi. Kulit ini ditarik agar rata dan tegang sehingga menutupi lubang, lalu diikat tali yang terbuat dari rotan.[5] PenggunaanSebelum Agama Islam menyebar di daerah Mandailing Natal, permainan alat musik ini digunakan sebagai kegiatan upacara memanggil roh nenek moyang. Upacara ini bernama Paturuan Sibaso yang bertujuan untuk meminta pertolongan roh nenek moyang mengatasi masalah yang dihadapi seperti bencana alam. Selain itu, Gordang Sambilan juga digunakan dalam upacara adat memanggil hujan yang dikenal dengan nama Mangido Udan serta menghentikan hujan tersebut bila terlalu lama. Gordang Sambilan juga digunakan dalam acara pribadi, yaitu dalam upacara pernikahan yang bernama Orja Godang Markaroan Boru dan upacara kematian yang bernama Orja Mambulungi. Namun, kegiatan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu meminta izin kepada pemimpin adat yaitu Namora Natoras dan Raja sebagai kepala pemerintahan dan juga menyembelih satu ekor sapi. Lihat pulaReferensi
|