George III dari Britania Raya
George III (George William Frederick; 4 Juni 1738 – 29 Januari 1820) adalah Raja Britania Raya dan Irlandia dari tanggal 25 Oktober 1760 hingga kematiannya pada tahun 1820. Undang-Undang Persatuan 1800 mempersatukan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia menjadi Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia, dengan George sebagai raja pertamanya. Ia juga bertindak sebagai Adipati dan Pangeran-elektor Hanover di Kekaisaran Romawi Suci, kemudian dinobatkan sebagai Raja Hanover pada tanggal 12 Oktober 1814. Ia berasal dari Wangsa Hanover, dan tidak seperti kedua pendahulunya, ia lahir di Britania Raya, menuturkan bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya,[1] dan tidak pernah berkunjung ke Hanover.[2] George lahir pada masa pemerintahan kakeknya, Raja George II. Ia adalah putra pertama dari pasangan Frederick, Pangeran Wales dengan Putri Augusta dari Saxe-Gotha. Setelah ayahnya mangkat pada tahun 1751, Pangeran George menjadi pewaris takhta sekaligus menyandang gelar Pangeran Wales. Ia naik takhta setelah George II mangkat pada tahun 1760. Setahun kemudian, ia menikah dengan Putri Charlotte dari Mecklenburg-Strelitz dan dikaruniai 15 orang anak. Masa pemerintahan dan kehidupan George III ditandai oleh serangkaian konflik bersenjata yang terjadi di kerajaannya, sebagian besar wilayah Eropa lainnya, dan di negeri jajahan Britania Raya di Afrika, Amerika, dan Asia. Pada awal pemerintahannya, Britania Raya mengalahkan Prancis dalam Perang Tujuh Tahun, menjadikannya sebagai kekuatan Eropa yang berpengaruh di Amerika Utara dan India. Namun, Britania Raya kehilangan tiga belas jajahannya di Amerika Utara dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Perang selanjutnya melawan Prancis yang berlangsung sejak tahun 1793 berhasil mengalahkan Napoleon dalam Pertempuran Waterloo pada tahun 1815. Pada tahun 1807, perdagangan budak lintas Atlantik dihapuskan di Imperium Britania. Menjelang akhir hayatnya, George mengidap penyakit mental yang sering kambuh dan pada akhirnya permanen. Jenis penyakit mental tersebut tidak diketahui secara jelas, tetapi para sejarawan dan pakar medis menduga bahwa gejala dan ciri-ciri perilakunya sesuai dengan gangguan bipolar atau porfiria. Pada tahun 1810, penyakit mental George kambuh untuk terakhir kalinya, dan putra sulungnya, Pangeran Wales, diangkat menjadi Pangeran Pemangku Raja setahun kemudian. George wafat pada usia 81 tahun, dan putranya menggantikannya sebagai Raja dengan nama George IV. Masa pemerintahan George III bertepatan dengan Era George dan Regensi. Pada saat kematiannya, George adalah raja Britania Raya yang umurnya paling panjang dan berkuasa paling lama, yang memerintah selama 59 tahun dan 96 hari. Sampai saat ini, ia masih menjadi raja yang paling panjang usianya dan paling lama berkuasa dalam sejarah Britania Raya. Masa kecilGeorge lahir di Norfolk House di St James's Square, London, pada tanggal 4 Juni 1738.[c] Ia adalah cucu dari Raja George II dan putra sulung pasangan Frederick, Pangeran Wales dengan Augusta dari Saxe-Gotha. George lahir prematur dua bulan lebih awal dan diperkirakan tidak akan selamat. Oleh sebab itu, ia dibaptis pada hari itu juga oleh Thomas Secker, Rektor Gereja St James, Piccadilly dan Uskup Oxford.[3][4] Satu bulan kemudian, ia kembali dibaptis di hadapan khalayak di Norfolk House oleh Uskup yang sama. Wali baptisnya adalah Raja Frederick I dari Swedia (diwakili oleh Lord Baltimore), pamannya Frederick III, Adipati Saxe-Gotha (diwakili oleh Lord Carnarvon), dan bibi buyutnya, Sophia Dorothea, Ratu Prusia (diwakili oleh Lady Charlotte Edwin).[5] George tumbuh menjadi anak yang sehat, pendiam dan pemalu. Keluarganya lalu pindah ke Leicester Square, tempat George dan adiknya, Edward (kelak menjadi Adipati York dan Albany) belajar secara privat. Surat-surat yang ditulis keluarganya menunjukkan bahwa saat berusia delapan tahun, ia bisa membaca dan menulis dalam bahasa Inggris dan Jerman, serta kerap mengomentari peristiwa politik yang terjadi pada saat itu.[6] Ia adalah raja Britania Raya pertama yang mempelajari sains secara teratur.[7] Selain kimia dan fisika, ia juga mempelajari astronomi, matematika, sejarah, musik, geografi, perdagangan, pertanian, hukum tata negara, bahasa Perancis dan Latin, serta belajar olahraga dan bersosialisasi seperti berdansa, anggar, dan berkuda. Pendidikan agama yang dipelajarinya adalah Anglikan.[7] Pada usia 10 tahun, George ikut serta dalam pementasan drama Cato karya Joseph Addison.[8][9] Raja George II tidak menyukai Pangeran Frederick dan tidak terlalu tertarik pada cucu-cucunya. Namun, pada tahun 1751, Frederick meninggal dunia secara tidak terduga akibat cedera paru-paru pada usia 44 tahun, dan putranya, George, menjadi pewaris takhta dan mewarisi gelar Adipati Edinburgh dari ayahnya. Raja George II kemudian mulai memperhatikan cucunya dan mengangkatnya menjadi Pangeran Wales tiga minggu kemudian.[10][11] Pada musim semi 1756, saat George hampir berulang tahun kedelapan belas, Raja menawarinya sebuah bangunan megah di Istana St James, tetapi George menolak tawaran tersebut atas keputusan ibu dan orang kepercayaannya, Lord Bute, yang kelak menjadi perdana menteri.[12] Ibunda George, yang sekarang bergelar Janda Putri Wales, lebih memilih untuk mendidik George di rumah agar ia bisa mengawasinya secara cermat.[13][14] Penahbisan dan pernikahanPada tahun 1759, George jatuh hati pada Lady Sarah Lennox, adik perempuan Charles Lennox, Adipati Richmond ke-3, tetapi Lord Bute menentang perjodohan tersebut, dan George mulai berhenti memikirkan pernikahan. "Saya dilahirkan demi kebahagiaan atau kesengsaraan bangsa besar ini," tulisnya, "dan akibatnya perbuatan saya sering kali bertentangan dengan hasrat saya."[15] Meskipun demikian, George dan ibunya menolak upaya Raja untuk menikahkan George dengan Putri Sophie Caroline dari Brunswick-Wolfenbüttel.[16] Sophie Caroline kemudian menikah dengan Frederick, Margrave Bayreuth.[17] Setahun kemudian, pada usia 22 tahun, George naik takhta ketika kakeknya, George II, meninggal dunia pada tanggal 25 Oktober 1760, pada usia 76 tahun. Pencarian calon istri yang cocok untuk George semakin intensif. Setelah mempertimbangkan sejumlah putri kerajaan Jerman yang beragama Protestan , Ibu George mengutus Kolonel David Graeme untuk melamar Putri Charlotte dari Mecklenburg-Strelitz atas nama putranya, dan Charlotte menerimanya. Di kala keluarga dan staf kerajaan berkumpul menanti kedatangan Charlotte di London, Lord Harcourt, Kepala Kavaleri kerajaan, mengawal Charlotte dari Strelitz ke London. Charlotte tiba pada sore hari tanggal 8 September 1761 dan upacara pernikahan digelar pada malam harinya di Chapel Royal, Istana St James.[18][d] Penobatan George dan Charlotte diselenggarakan di Westminster Abbey dua minggu kemudian pada tanggal 22 September. George tidak pernah memiliki gundik (berbeda dengan kakek dan putra-putranya), dan pasangan tersebut menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia sampai George terserang penyakit mental.[1][8] George dan Charlotte dikaruniai 15 anak—sembilan putra dan enam putri. Pada tahun 1762, George membeli Buckingham House (di lokasi yang saat ini berdiri Istana Buckingham) untuk dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan bagi keluarganya.[20] Ia juga mendiami Istana Kew dan Kastel Windsor. Istana St James dipergunakan sebagai pusat pemerintahan resmi. George jarang bepergian dan menghabiskan seluruh hidupnya di Inggris selatan. Pada tahun 1790-an, George dan keluarganya berlibur di Weymouth, Dorset,[21] yang kemudian tersohor sebagai salah satu sanggraloka tepi laut pertama di Inggris.[22] PemerintahanAwal pemerintahanDalam pidato penahbisannya, George menyatakan: "Lahir dan dididik di negara ini, saya berbangga atas nama Britania."[23] Ia menyisipkan kalimat tersebut ke dalam pidatonya, yang ditulis oleh Lord Hardwicke, demi menunjukkan tekadnya untuk menjauhkan diri dari leluhurnya yang berdarah Jerman, yang selama ini dianggap lebih peduli pada Hanover ketimbang Inggris.[24] Pada masa pemerintahannya, Britania Raya adalah sebuah negara monarki konstitusional, yang dijalankan oleh para menteri dan tokoh-tokoh terkemuka di parlemen.[25] Meskipun penahbisannya awalnya disambut baik oleh politikus dari semua partai,[e] tahun-tahun pertama pemerintahannya ditandai dengan ketidakstabilan politik, terutama berkaitan dengan ketidaksetujuan atas Perang Tujuh Tahun.[27] George dianggap lebih menyukai menteri dari faksi Tory, sehingga ia dituduh oleh faksi Whig sebagai seorang autokrat.[1] Pada saat George naik takhta, pendapatan dari tanah Kerajaan tidak terlalu besar. Sebagian besar pendapatan diperoleh melalui pajak dan bea cukai. George menyerahkan pengelolaan Lahan Kerajaan ke tangan Parlemen dengan imbalan anuitas belanja negara untuk menyokong kebutuhan rumah tangganya dan biaya pemerintahan.[28] Anggapan bahwa ia menggunakan pendapatan negara untuk menyuap para pendukungnya dibantah oleh para sejarawan, yang mengungkapkan bahwa tuduhan tersebut "hanyalah kebohongan yang dilontarkan oleh lawan yang tidak puas".[29][30] Utang sebesar lebih dari £3 juta semasa pemerintahan George dibayar oleh Parlemen, dan anuitas belanja negara terus meningkat dari tahun ke tahun.[31] George membantu Royal Academy of Arts dengan menghibahkan kekayaan pribadinya dalam jumlah besar,[32] dan ia diduga telah menyumbangkan lebih dari separo kekayaan pribadinya untuk kepentingan amal.[33] Koleksi seninya yang paling terkemuka adalah lukisan Lady at the Virginals karya Johannes Vermeer dan sejumlah lukisan karya Canaletto. Ia dikenal sebagai pengoleksi buku.[34] King's Library dibuka bagi para pelajar dan menjadi cikal bakal perpustakaan nasional yang baru.[35] Kebijakan dan politikPada bulan Mei 1762, faksi berkuasa Whig yang dipimpin oleh Thomas Pelham-Holles, Adipati Newcastle ke-1, digantikan oleh faksi Tory pimpinan Lord Bute. Lawan-lawan Bute berupaya menghadang dengan menyebarkan fitnah bahwa ia berselingkuh dengan ibu Raja, dan dengan menggalakkan sentimen anti-Skotlandia di kalangan rakyat Inggris.[36] Seorang anggota parlemen bernama John Wilkes menerbitkan The North Briton, yang bertujuan menghasut dan memfitnah dengan mengecam Bute dan pemerintah. Wilkes akhirnya ditangkap atas tuduhan menyebarkan fitnah hasutan, tetapi ia melarikan diri ke Prancis untuk menghindari hukuman. Wilkes dipecat dari Dewan Rakyat Britania Raya dan dinyatakan bersalah secara in absentia karena telah menyebarkan fitnah dan hasutan.[37] Pada tahun 1763, setelah menandatangani Perjanjian Paris yang mengakhiri Perang Tujuh Tahun, Lord Bute mengundurkan diri, dan dengan demikian, Whig di bawah pimpinan George Grenville kembali berkuasa. Hasil perjanjian ini sangat menguntungkan Britania dengan diserahkannya Florida Barat. Britania Raya mengembalikan pulau-pulau gula di Hindia Barat kepada Prancis, termasuk Guadeloupe dan Martinik. Prancis menyerahkan Kanada kepada Britania, termasuk seluruh wilayah di sepanjang Pegunungan Allegheny dan Sungai Mississippi, kecuali New Orleans, yang diserahkan kepada Spanyol.[38] Proklamasi Kerajaan 1763 membatasi perluasan koloni Amerika ke arah barat dan mendirikan Reservasi Indian. Proklamasi tersebut bertujuan untuk mengalihkan perluasan koloni ke arah utara (Nova Scotia) dan selatan (Florida), serta melindungi perdagangan bulu hewan antara Britania dengan suku Indian.[39] Perbatasan yang diciptakan tidak dipermasalahkan oleh mayoritas petani, tetapi tidak didukung oleh kalangan minoritas yang vokal. Ketidakpuasan ini pada akhirnya turut memicu terjadinya konflik antara para kolonis dengan pemerintah Britania.[40] Para kolonis di Amerika tidak terbebani oleh pajak Britania, sehingga pemerintah menganggap bahwa mereka pantas untuk membayar pajak demi mempertahankan koloni dari pemberontakan penduduk asli dan kemungkinan serangan dari Prancis.[f] Permasalahan utama bagi para kolonis bukanlah besaran pajak, tetapi kelayakan Parlemen untuk memungut pajak tanpa persetujuan rakyat Amerika, karena tidak ada kursi bagi rakyat Amerika di Parlemen Britania.[43] Rakyat Amerika memprotes bahwa seperti halnya rakyat Britania lainnya, mereka mempunyai hak untuk "menolak pajak tanpa perwakilan rakyat". Pada tahun 1765, Grenville memperkenalkan Undang-Undang Stempel, yang memungut bea meterai bagi setiap dokumen di koloni Britania di Amerika Utara. Surat kabar harus dicetak di atas kertas bermeterai, sehingga paling terdampak oleh kebijakan tersebut, padahal surat kabar adalah media yang paling efektif untuk menyebarkan propaganda dalam menentang pajak.[44] Sementara itu, George gusar atas upaya Grenville untuk mengurangi hak prerogatif Raja, dan berupaya membujuk William Pitt untuk menerima jabatan perdana menteri, tetapi tidak berhasil.[45] George kemudian menunjuk Lord Rockingham untuk membentuk kabinet dan memecat Grenville.[46] Atas dukungan Pitt dan Raja, Lord Buckingham mencabut Undang-Undang Stempel Grenville yang tidak mendapat dukungan rakyat. Pemerintahan Rockingham lemah, dan ia digantikan sebagai perdana menteri pada tahun 1766 oleh Pitt, yang diangkat oleh George dengan gelar Earl Chatham. Tindakan Lord Chatham dan George III dalam menghapuskan Undang-Undang Stempel sangat didukung oleh rakyat Amerika, sehingga patung mereka berdua didirikan di New York City.[47] Lord Chatham jatuh sakit pada tahun 1767, dan Augustus FitzRoy, Adipati Grafton ke-3, mengambil alih pemerintahan. Grafton secara resmi menjadi perdana menteri pada tahun 1768. Pada tahun tersebut, John Wilkes kembali ke Inggris dan mencalonkan diri sebagai salah seorang kandidat dalam pemilihan umum. Ia berhasil memuncaki jajak pendapat di daerah pemilihan Middlesex . Wilkes lagi-lagi dikeluarkan dari Parlemen. Ia terpilih kembali dan dikeluarkan dua kali lagi, akhirnya Dewan Rakyat memutuskan bahwa pencalonannya tidak sah dan menyatakan Henry Luttrell, Earl Carhampton ke-2 sebagai pemenangnya.[48] Pemerintahan Grafton bubar pada tahun 1770, sehingga faksi Tory yang dipimpin oleh Lord North kembali berkuasa.[49] Masalah keluarga dan ketidakpuasan di AmerikaGeorge sangat taat dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa,[50] tetapi ketaatannya tidak diikuti oleh adik-adiknya. George merasa ngeri dengan kebobrokan moral adik-adiknya. Pada tahun 1770, adiknya, Pangeran Henry, Adipati Cumberland dan Strathearn, terungkap sebagai seorang pezina. Setahun kemudian, Henry menikah dengan seorang janda muda bernama Anne Horton. Raja menganggap Anne tidak pantas sebagai pengantin kerajaan karena ia berasal dari kelas sosial rendah dan hukum Jerman melarang anak yang lahir dari pasangan tersebut menjadi pewaris takhta Hanover.[51] George bersikeras meloloskan undang-undang baru yang melarang anggota keluarga kerajaan menikah secara sah tanpa persetujuan dari penguasa. RUU berikutnya tidak disetujui oleh Parlemen, termasuk oleh para menteri George sendiri, tetapi akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Pernikahan Kerajaan 1772. Tidak lama kemudian, adik ketiga George, Pangeran William Henry, Adipati Gloucester dan Edinburgh, mengungkapkan bahwa ia diam-diam telah menikah dengan Maria, Countess Waldegrave, putri tidak sah Sir Edward Walpole. Kabar tersebut membuktikan bahwa keputusan George benar dalam menerapkan undang-undang tersebut, karena Maria berkerabat dengan salah seorang lawan politiknya.[51] Pemerintahan Lord North prihatin dengan ketidakpuasan para kolonis di Amerika. Untuk meredakan ketidakpuasan tersebut, sebagian besar bea masuk dicabut, kecuali bea teh, yang menurut George adalah "pajak untuk mempertahankan hak [memungut pajak]".[52] Pada tahun 1773, kapal teh yang ditambatkan di Pelabuhan Boston diambil alih oleh para kolonis dan muatan teh dibuang ke laut, peristiwa yang kelak dikenal sebagai Pesta Teh Boston. Di Britania, tindakan para kolonis ini sangat ditentang, dan Chatham sepakat dengan North bahwa pemusnahan teh adalah "tindakan kriminal terang-terangan".[53] Dengan dukungan nyata dari Parlemen, Lord North memperkenalkan langkah-langkah, yang disebutnya Undang-Undang Tak Termaklumi bagi para kolonis. Pelabuhan Boston ditutup dan piagam Massachusetts dirombak dengan ditunjuknya majelis tinggi legislatif oleh Kerajaan, bukannya dipilih oleh majelis rendah.[54] Menurut pendapat Profesor Peter Thomas, "harapan George bertumpu pada solusi politik, dan ia selalu tunduk pada pendapat kabinetnya meskipun ia skeptis terhadap keberhasilannya. Bukti rinci dari tahun 1763 sampai 1775 cenderung membebaskan George III dari segala tanggung jawab nyata atas pecahnya Revolusi Amerika."[55] Meskipun sejarawan Amerika dan Britania menganggap George sebagai seorang tiran, pada tahun-tahun ini ia bertindak sebagai raja konstitusional yang mendukung prakarsa para menterinya.[56] Perang Kemerdekaan AmerikaPerang Kemerdekaan Amerika adalah puncak dari Revolusi Amerika secara sipil dan politik. Pada tahun 1760-an, serangkaian undang-undang yang disahkan oleh Parlemen Britania ditentang oleh Tiga Belas Koloni Britania di Amerika Utara. Secara khusus, para kolonis menolak pajak baru yang diberlakukan oleh Parlemen, lembaga yang tidak mereka wakili secara langsung. Koloni Amerika sebelumnya diberi otonomi yang luas terkait urusan dalam negeri dan menganggap Parlemen Britania berupaya untuk melemahkan hak mereka sebagai warga Inggris.[57] Konflik bersenjata dimulai antara pasukan tetap Britania dengan para milisi kolonial dalam Pertempuran Lexington dan Concord pada bulan April 1775. Kongres Kontinental Kedua mengirim petisi kepada Kerajaan untuk berdamai dengan Parlemen, tetapi Raja dan Parlemen menolaknya. George menyatakan pemimpin Amerika adalah seorang pengkhianat dan pertempuran terus berlanjut. Dalam bukunya yang berjudul Common Sense, Thomas Paine menyebut George III sebagai "Raja Zalim dari Britania Raya".[58] Ketigabelas koloni mendeklarasikan kemerdekaan Amerika Serikat pada bulan Juli 1776, merincikan daftar tujuh belas keluhan terhadap raja dan badan legislatif Britania Raya sembari meminta dukungan dari rakyat. Keluhan-keluhan tersebut antara lain menuduh bahwa George telah "menyerahkan pemerintahan di koloni-koloni Amerika, mencuri kekayaan laut kita, menghancurkan pantai kita, membakar kota-kota kita, dan memusnahkankan nyawa rakyat kita." Patung berkuda berlapis emas George di New York dirobohkan.[59] Britania berhasil menaklukkan kota tersebut pada tahun 1776, tetapi kehilangan Boston, dan rencana strategis besar untuk menyerang dari Kanada dan melumpuhkan New England gagal setelah menyerahnya Letnan Jenderal Britania John Burgoyne dalam Pertempuran Saratoga.[60] Perdana Menteri Lord North bukanlah seorang pemimpin perang yang ideal, tetapi George III berhasil mendorong Parlemen agar terus berperang, dan North tetap mampu mempertahankan kabinetnya. Sejumlah menteri kabinet North seperti Earl Sandwich, Laksamana Pertama Angkatan Laut, dan Lord George Germain, Menteri Negara untuk Koloni, terbukti kurang memiliki keterampilan memimpin yang diperlukan bagi jabatan mereka.[61] George III kerap dituding keras kepala karena terus berupaya mengobarkan peperangan terhadap pemberontak, meskipun ditentang oleh menteri-menterinya sendiri.[62] Sejarawan Inggris, George Otto Trevelyan, mengungkapkan bahwa "Raja bertekad tidak akan pernah mengakui kemerdekaan Amerika, menghukum ketidakpatuhan mereka dengan terus mengobarkan perang abadi."[63] George ingin agar "para pemberontak tersiksa, cemas, dan miskin, sampai pada akhirnya ketidakpuasan dan kekecewaan berubah menjadi penyesalan dan pertobatan".[64] Sejarawan lainnya membela George, mengungkapkan bahwa dalam konteks waktu, tidak ada raja yang rela menyerahkan wilayah seluas itu,[8][65] dan sikapnya tidak lebih kejam jika dibandingkan dengan raja-raja Eropa lainnya pada masa itu.[66] Setelah peristiwa Saratoga, baik Parlemen maupun rakyat Britania turut mendukung perang. Perekrutan dilakukan secara besar-besaran dan para lawan politiknya, meskipun berpendapat terang-terangan, masih menjadi minoritas kecil.[8][67] Setelah gagal mempertahankan Amerika, Lord North hendak menyerahkan kekuasaannya kepada Lord Chatham, yang menurutnya lebih mampu, tetapi George menolaknya. Ia malah menyarankan agar Chatham menempati jabatan wakil menteri dalam kabinet North, tetapi Chatham menolak. Chatham wafat tidak lama kemudian.[68] North bersekutu dengan "Sahabat-Sahabat Raja" di Parlemen dan percaya bahwa George III memiliki hak untuk menggunakan kekuasaannya.[69] Pada awal 1778, Louis XVI dari Prancis (saingan utama Britania) menandatangani perjanjian persekutuan dengan Amerika Serikat yang baru merdeka.[70] Armada Prancis menerobos blokade angkatan laut Britania di Laut Tengah dan berlayar ke Amerika.[70] Konflik pada saat itu turut memengaruhi Amerika, Eropa, dan India.[70] Charles III dari Spanyol dilanda keraguan dan mencemaskan koloni Spanyol di Amerika, tetapi akhirnya memutuskan untuk memihak Prancis secara terbatas pada tahun 1779.[71] Salah satu faksi Republik Belanda memutuskan membantu Amerika, sedangkan yang lainnya berpihak pada Britania, bersama dengan para sekutu Loyalis dan bala bantuan Jerman. Lord Gower dan Lord Weymouth mundur dari pemerintahan. Lord North kembali memohon izin untuk mengundurkan diri, tetapi ia tetap berada di Parlemen atas permintaan George III.[72] Pada musim panas 1779, armada angkatan laut gabungan Prancis-Spanyol mengancam akan menyerang Britania dan mengangkut 31.000 tentara Prancis mengarungi Selat Inggris. George III menyatakan bahwa Britania tengah menghadapi "krisis paling serius yang pernah diketahui oleh bangsa ini". Pada bulan Agustus, 66 kapal perang berlabuh di Selat Inggris, tetapi penyakit, kelaparan, dan kondisi angin yang tidak bagus memaksa armada Prancis-Spanyol untuk mundur, yang mengakhiri rencana menginvasi Britania.[73] Pada akhir 1779, George III menganjurkan agar Britania mengirimkan lebih banyak kapal perang dan pasukan ke Hindia Barat. Ia mengatakan: "Kita harus mempertaruhkan sesuatu, jika tidak kita hanya akan merana dalam perang ini. Saya mau, saya berharap entah itu semangat untuk melaluinya, atau menghadapi kehancuran." Pada bulan Januari 1780, 7.000 tentara Britania di bawah komando Jenderal Sir John Vaughan dikirim ke Hindia Barat.[74] Namun, penentangan terhadap biaya perang yang mahal semakin meningkat, yang memicu terjadinya kerusuhan di London pada bulan Juni 1780.[75] Pada saat pengepungan Charleston tahun 1780, para Loyalis masih percaya bahwa mereka akan menang, karena pasukan Britania melibas tentara Kontinental dalam Pertempuran Camden dan Pertempuran Guilford Court House.[76] Pada akhir 1781, kabar penyerahan diri Lord Cornwallis dalam pengepungan Yorktown sampai ke London. Dukungan Parlemen terhadap North merosot dan ia mundur setahun kemudian. George juga menulis draf pemberitahuan pengunduran dirinya, tetapi tidak pernah ia ajukan.[65][77] George akhirnya menerima kekalahan Britania di Amerika dan menitahkan negosiasi damai. Britania Raya secara resmi mengakui kemerdekaan Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris yang disahkan pada tahun 1782 dan 1783.[78] Pada awal 1783, George III secara pribadi mengakui "Amerika telah lepas!" Ia mengutarakan bahwa koloni-koloni Utara telah berkembang menjadi "saingan kuat" Britania dalam perdagangan komersial dan perikanan.[79] Sekitar 70.000 Loyalis melarikan diri ke Kanada, Karibia, atau kembali ke Inggris.[80] John Adams diutus sebagai perwakilan Amerika ke London pada tahun 1785, saat George telah merestui hubungan baru antara negaranya dengan bekas koloninya. Ia memberi tahu Adams, "Saya adalah orang terakhir yang menyetujui pemisahan tersebut, tetapi pemisahan tetap terjadi dan tak terelakkan, saya selalu berkata, seperti halnya saat ini, bahwa saya akan menjadi orang pertama yang akan menjalin persahabatan dengan Amerika Serikat sebagai negara merdeka."[81][82] Paruh pemerintahanBirokrasiSetelah kabinet Lord North dibubarkan pada tahun 1782, Lord Rockingham dari faksi Whig menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya, tetapi ia wafat beberapa bulan kemudian. George kemudian menunjuk Lord Shelburne sebagai penggantinya. Namun, Charles James Fox menolak bekerja sama dengan Shelburne, dan menuntut agar George menunjuk William Cavendish-Bentinck, Adipati Portland ke-3 sebagai perdana menteri. Pada tahun 1783, Dewan Rakyat memaksa Shelburne mundur dan digantikan oleh Koalisi Fox–North. Portland menjadi perdana menteri, sedangkan Fox dan Lord North menjabat sebagai menteri luar negeri dan menteri dalam negeri.[8] George sangat tidak menyukai Fox, baik dari segi pandangan politik maupun karakternya. Ia menganggap Fox tidak memiliki prinsip dan berpengaruh buruk terhadap Pangeran Wales.[83] George merasa tidak berdaya karena harus menunjuk menteri yang tidak sesuai dengan keinginannya, tetapi kabinet Portland dengan cepat berkembang menjadi mayoritas di Dewan Rakyat dan sulit untuk digantikan. Ia makin kecewa ketika pemerintah memperkenalkan RUU India, yang mengusulkan reformasi pemerintahan India dengan mengalihkan kekuasaan politik dari Perusahaan Hindia Timur Britania kepada Parlemen.[84] Sebenarnya, George mendukung adanya kontrol pemerintah yang lebih besar atas perusahaan tersebut, tetapi anggota Parlemen yang diusulkan dalam RUU tersebut merupakan sekutu politik Fox.[85] Tidak lama setelah Dewan Rakyat mengesahkan RUU India, George memberi wewenang kepada Lord Temple untuk memberitahu Dewan Bangsawan bahwa siapapun yang mendukung RUU India akan ia anggap sebagai musuhnya. RUU tersebut akhirnya ditolak oleh Dewan Bangsawan. Tiga hari kemudian, Portland dipecat dan William Pitt Muda diangkat sebagai perdana menteri, sedangkan Temple menjadi menteri luar negeri. Pada tanggal 17 Desember 1783, Parlemen sepakat mendukung mosi yang mengecam pengaruh monarki dalam pengambilan keputusan parlemen, menggolongkannya sebagai "pelanggaran besar" dan Temple dipaksa untuk mundur. Pengunduran diri Temple mengguncang pemerintahan, dan tiga bulan kemudian, pemerintahan kehilangan anggota mayoritas dan Parlemen dibubarkan. Pemilihan umum berikutnya dimenangkan oleh Pitt.[8] Penunjukan Pitt sebagai perdana menteri menjadi kemenangan besar bagi George. Hal tersebut membuktikan bahwa Raja bisa menunjuk perdana menteri yang sesuai dengan penafsirannya terhadap keinginan publik tanpa harus mengikuti pilihan mayoritas di Dewan Rakyat. Sepanjang masa pemerintahan Pitt, George mendukung banyak kebijakan politik Pitt dan menahbiskan bangsawan-bangsawan baru secara masif untuk meningkatkan jumlah pendukung Pitt di Dewan Bangsawan.[86] Semasa dan setelah pemerintahan Pitt, George sangat termasyhur di Britania Raya.[87] Rakyat Britania mengaguminya karena kesalehan dan kesetiaannya kepada istrinya.[88] Ia sangat menyayangi anak-anaknya dan teramat berduka atas kematian dua bayi laki-lakinya pada tahun 1782 dan 1783.[89] Meskipun demikian, ia mendidik anak-anaknya secara tegas. Anak-anaknya diharuskan belajar mulai dari jam tujuh pagi dan menjalani kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai agama dan kebajikan.[90] Ketika perilaku anak-anaknya menyimpang dari prinsip-prinsip kebajikan, seperti yang dilakukan salah seorang putranya saat remaja, George akan merasa gundah dan kecewa.[91] PenyakitPada saat bersamaan, kesehatan George semakin memburuk. Ia menderita penyakit mental yang dicirikan dengan mania akut. Hingga pertengahan abad ke-20, penyakit George umumnya dianggap sebagai masalah batiniah. Pada tahun 1966, penelaahan oleh Ida Macalpine dan Richard Hunter menemukan bahwa penyakit George adalah penyakit ragawi, yang disebabkan oleh gangguan hati porfiria.[92] Meskipun ditentang oleh sejumlah pakar,[93] temuan ini diterima secara luas oleh kalangan akademisi.[94] Hasil penelitian terhadap sampel rambut George yang diterbitkan pada tahun 2005 menunjukkan adanya kadar arsenik tinggi, yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme darah dan menjadi pemicu porfiria. Sumber arsenik tersebut tidak diketahui, tetapi diduga berasal dari obat-obatan atau kosmetik.[95] Teori tersebut makin diperkuat dan dipercayai oleh publik melalui dramatisasi kehidupan George, seperti dalam sandiwara Alan Bennett berjudul The Madness of George III dan film berjudul sama karya Nicholas Hytner. Sejak tahun 2010, teori ini makin banyak ditentang, dan penelitian Macalpine dan Hunter turut dikritik.[96][97][98] Penelitian baru-baru ini menolak teori porfiria dan menganggap bahwa penyakit George berkaitan dengan masalah psikiatri, kemungkinan besar adalah gangguan bipolar.[99] George diduga mengalami serangan penyakit mentalnya secara singkat pada tahun 1765, dan serangan yang lebih lama dimulai pada musim panas 1788. Menjelang berakhirnya sidang parlemen, ia berkunjung ke Cheltenham Spa untuk memulihkan diri dan mengunjungi Uskup Worcester di Kastel Hartlebury[100] serta Viscount Mount Edgcumbe di Cotehele, Cornwall, bersama Ratu dan putri-putrinya; Putri Royal, Putri Augusta dan Elizabeth, pada bulan Agustus 1788.[101] Kunjungan tersebut merupakan perjalanan terjauh yang ditempuhnya dari London, sehingga kondisinya semakin memburuk. Pada bulan November tahun itu, ia mengalami serangan serius, terkadang ia berbicara tanpa henti selama berjam-jam, yang menyebabkan mulutnya berbusa dan suaranya menjadi serak. George sering kali melakukan tindakan berulang dan menulis kalimat lebih dari 400 kata sekaligus. Perbendaharaan katanya jadi "lebih kompleks, kreatif, dan berwarna", kemungkinan adalah gejala gangguan bipolar.[102] Dokter pribadinya bingung menjelaskan penyakitnya, dan cerita-cerita palsu yang berkaitan dengan kondisi kesehatannya menyebar, misalnya cerita bahwa ia pernah berjabat tangan dengan sebatang pohon karena mengira pohon tersebut adalah Raja Prusia.[103] Pengobatan penyakit mental pada masa itu sangat terbelakang. Para dokter yang menangani George, termasuk Francis Willis, mengobatinya dengan cara mengekangnya sampai ia tenang, atau menempelkan tuam panas untuk mengeluarkan "humoral jahat".[104] Di Parlemen, Fox dan Pitt berselisih mengenai ketentuan regensi semasa ketidakhadiran Raja. Keduanya sepakat bahwa Pangeran Wales akan bertindak sebagai pemangku, tetapi Fox mengusulkan agar Pangeran Wales diberi hak mutlak untuk berkuasa penuh atas nama ayahnya yang sedang sakit. Usulan Fox tidak disetujui oleh Pitt, yang khawatir ia akan dipecat jika Pangeran Wales diberi kekuasaan penuh. Pitt hendak membatasi kewenangan pemangku raja dan berpendapat bahwa penunjukan pemangku merupakan tugas Parlemen.[105] Pada bulan Februari 1789, RUU Regensi, yang memberi wewenang Pangeran Wales untuk bertindak sebagai pemangku raja, diperkenalkan dan disetujui oleh Dewan Rakyat, tetapi sebelum Dewan Bangsawan mengesahkan RUU tersebut, George pulih.[106] Akhir pemerintahanPerang di EropaSetelah George sembuh dari sakitnya, kepopuleran dirinya dan Pitt terus meningkat, meskipun harus menumbalkan Fox dan Pangeran Wales.[107] Perlakuannya yang manusiawi dan pengertian terhadap dua penyerang gila, Margaret Nicholson pada tahun 1786 dan John Frith pada tahun 1790, turut bersumbangsih terhadap peningkatan kemasyhurannya.[108] Upaya gagal James Hadfield untuk menembak George di Theatre Royal, Drury Lane, pada tanggal 15 Mei 1800 bukan dipicu oleh alasan politik, tetapi dipicu oleh khayalan apokaliptik Hadfield dan Bannister Truelock. George tampaknya tidak terganggu oleh insiden tersebut, bahkan ia tertidur di sela-sela pertunjukan.[109] Ketika monarki Prancis digulingkan dalam Revolusi Prancis pada tahun 1789, banyak pemilik tanah di Inggris yang khawatir. Prancis menyatakan perang terhadap Britania Raya pada tahun 1793. Menanggapi krisis tersebut, George mengizinkan Pitt untuk menaikkan pajak, memperkuat militer, dan menangguhkan hak habeas corpus. Pitt mendakwa kaum radikal Inggris atas tuduhan pengkhianatan pada tahun 1794, dan bulan Oktober 1795, massa menyerang kereta kencana George ketika ia dalam perjalanan menuju gedung Parlemen. Massa menuntut agar perang diakhiri dan harga roti diturunkan. Sebagai tanggapan, Parlemen mengesahkan Undang-Undang Pengkhianatan dan Larangan Pertemuan sebulan kemudian.[110] Koalisi Pertama yang berperang melawan revolusi Prancis, mencakup Austria, Prusia, dan Spanyol, bubar pada tahun 1795 setelah Prusia dan Spanyol membuat kesepakatan damai dengan Prancis.[111] Koalisi Kedua, yang terdiri dari Austria, Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah, dikalahkan oleh Prancis pada tahun 1800. Hanya Britania Raya yang masih berperang melawan Napoleon Bonaparte, Konsul Pertama Republik Prancis. Selain perang melawan Prancis, Britania Raya juga dihadapkan pada pemberontakan di Irlandia pada tahun 1798.[112] Pada tahun 1800, Parlemen Britania Raya dan Irlandia mengesahkan Undang-Undang Persatuan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1801. Undang-undang tersebut menyatukan Britania Raya dan Irlandia menjadi satu negara bernama "Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia". George memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menanggalkan gelar "raja Prancis", yang telah disandang oleh raja-raja Inggris dan Britania sejak masa pemerintahan Edward III.[113] Parlemen menyarankan agar George memakai gelar "Kaisar Kepulauan Britania", tetapi ia tolak.[8] Terkait Irlandia, Pitt berencana menghapuskan sejumlah kecacatan hukum yang berlaku bagi pemeluk Katolik Roma. George III bersikukuh bahwa emansipasi umat Katolik melanggar sumpah penobatannya, yang berjanji untuk mempertahankan Protestanisme.[114] Pitt menghadapi perlawanan atas kebijakan reformasi agamanya dari Raja dan rakyat Britania, dan mengancam akan mengundurkan diri.[115] Pada saat bersamaan, penyakit George kembali kambuh. George menyalahkan persoalan Katolik ini sebagai penyebabnya.[116] Pada tanggal 14 Maret 1801, Pitt secara resmi digantikan oleh Ketua Dewan Rakyat, Henry Addington. Addington menentang emansipasi Katolik, memberlakukan sensus tahunan, menghapus pajak penghasilan, dan memulai program pelucutan senjata. Pada bulan Oktober 1801, Britania Raya berdamai dengan Prancis, dan pada tahun 1802 turut menandatangani Perjanjian Amiens.[117] George tidak menganggap serius perdamaian Britania dengan Prancis. Menurut pendapatnya, perdamaian tersebut hanyalah "eksperimen".[118] Perang berlanjut pada tahun 1803, tetapi rakyat tidak lagi memercayai Addington untuk memimpin Britania dalam peperangan, dan lebih menyukai Pitt. Pendudukan Inggris oleh Napoleon bisa terjadi kapan saja, dan gerakan sukarelawan muncul secara masif untuk mempertahankan Inggris dari serangan Prancis. George meninjau hampir 27.000 sukarelawan di Hyde Park, London pada tanggal 26 dan 28 Oktober 1803. Pada puncak ketakutan akan serangan Prancis, sekitar 500.000 orang mendaftarkan diri setiap harinya.[119] The Times memberitakan: "Antusiasme orang-orang sungguh luar biasa."[120] Seorang punggawa kerajaan mengungkapkan pada tanggal 13 November bahwa "Raja benar-benar siap untuk turun ke lapangan jika serangan terjadi, tempat tidurnya sudah siap dan ia bisa bersiaga dalam waktu setengah jam."[121] George menulis kepada temannya, Uskup Hurd, "Kami di sini setiap hari berharap Bonaparte akan mewujudkan ancaman invasinya. Jika pasukannya berhasil mendarat, saya pasti akan memimpin pasukan saya, dan rakyat bersenjata lainnya, untuk mengenyahkan mereka."[122] Setelah kemenangan gemilang Laksamana Lord Nelson dalam Pertempuran Trafalgar, kekhawatiran akan adanya invasi sirna.[123] Pada tahun 1804, penyakit George kembali kambuh. Setelah penyakitnya sembuh, Addington mengundurkan diri dan Pitt kembali berkuasa. Pitt berusaha menarik Fox ke kabinetnya, tetapi George menolak. Lord Grenville menganggap hal tersebut tidak adil bagi Fox, dan ia menolak bergabung dengan kementerian baru. Pitt berfokus menjalin persekutuan dengan Austria, Rusia, dan Swedia. Sayangnya, Koalisi Ketiga bernasib sama dengan Koalisi Pertama dan Kedua, dan akhirnya bubar pada tahun 1805. Kekalahan di Eropa berdampak pada kesehatan Pitt, dan ia meninggal dunia pada tahun 1806. Kepergian Pitt membuka kembali persoalan mengenai siapa yang harus menggantikannya. Grenville kemudian menjadi perdana menteri, dan "Kementerian Semua Bakat"nya juga berisikan Fox. Grenville mendorong perumusan Undang-Undang Perdagangan Budak 1807, yang akhirnya disahkan oleh kedua dewan di Parlemen dengan mayoritas mendukung.[124] George pasrah atas penunjukan Fox dan mulai berdamai dengannya. Setelah Fox wafat pada bulan September 1806, raja dan kementerian dilanda konflik terbuka. Untuk memperbanyak kandidat calon perwira, pada bulan Februari 1807, kementerian mengusulkan RUU agar umat Katolik Roma diizinkan bertugas di seluruh jenjang angkatan bersenjata. George memerintahkan agar usulan tersebut ditarik kembali dan jangan pernah memberi usulan seperti itu lagi. Para menteri sepakat membatalkan usulan tersebut, tetapi menolak untuk mematuhinya di masa depan.[125] Para menteri diberhentikan dan pemerintahan diambil alih oleh Adipati Portland, yang bertindak sebagai perdana menteri nominal, dengan kekuasaan aktual dipegang oleh Menteri Keuangan, Spencer Perceval. Parlemen dibubarkan dan pemilu berikutnya menjadikan kementerian berkuasa di Dewan Rakyat. Pada tahun-tahun selanjutnya, George III tidak banyak membuat keputusan politik besar selain mengganti Portland dengan Perceval pada tahun 1809.[126] Tahun-tahun terakhirPada akhir 1810, di puncak kemasyhurannya,[127] Raja George, yang nyaris buta karena katarak dan menderita nyeri akibat rematik, berjuang mengatasi kekambuhan penyakit mentalnya yang semakin parah. Menurut anggapannya, penyakit tersebut dipicu oleh stres akibat kematian putri bungsu kesayangannya, Putri Amelia.[128] Perawat sang putri bersaksi bahwa ia menyaksikan "adegan kesedihan dan ratapan setiap hari, sangat melankolis dan tak terlukiskan."[129] George menyetujui Undang-Undang Regensi 1811,[130] dan Pangeran Wales (kelak George IV) bertindak sebagai pemangku menjelang kematian Raja. Meskipun ada tanda-tanda pemulihan pada bulan Mei 1811, George III jadi gila permanen pada akhir tahun, dan hidup dalam pengasingan di Kastel Windsor hingga ajal menjemputnya.[131] Perdana Menteri Spencer Perceval dibunuh pada tahun 1812 dan digantikan oleh Lord Liverpool. Liverpool menjadi saksi kemenangan Britania dalam Peperangan Napoleon. Kongres Wina yang digelar setelahnya sangat menguntungkan Hanover, yang naik tingkat dari elektorat menjadi kerajaan. Sementara itu, kesehatan George makin memburuk. Ia mulai menderita demensia, buta total dan semakin tuli. George tidak mengetahui atau menyadari bahwa ia dinobatkan sebagai Raja Hanover pada tahun 1814, atau bahwa istrinya telah berpulang pada tahun 1818.[132] Pada hari Natal 1819, ia berbicara melantur selama 58 jam, dan dalam minggu-minggu terakhir hidupnya, ia tidak mampu lagi berjalan.[133] George tutup usia akibat pneumonia di Kastel Windsor pada pukul 8.38 malam tanggal 29 Januari 1820, enam hari setelah kematian putra keempatnya, Pangeran Edward, Adipati Kent dan Strathearn.[134] Putra kesayangannya, Pangeran Frederick, Adipati York dan Albany, berada di sisinya.[135] Jenazah George III disemayamkan selama dua hari. Upacara pemakamannya berlangsung pada tanggal 16 Februari di Kapel Santo Georgius, Kastel Windsor.[134][136][137] PerbudakanPada masa pemerintahan George, pemberontakan yang dilancarkan oleh kaum abolisionis dan budak Atlantik menyebabkan rakyat Britania menolak perbudakan. Menurut sejarawan Andrew Roberts, "George tidak pernah membeli atau menjual budak seumur hidupnya. Ia tidak pernah berinvestasi di perusahaan yang melakukan hal tersebut. Ia mengesahkan undang-undang untuk menghapus perbudakan." George menulis sebuah dokumen pada tahun 1750-an yang "mengecam seluruh dalih perbudakan, dan menyebutnya terkutuk dan konyol serta mustahil."[138] Namun, George dan putranya, Adipati Clarence, mendukung upaya London Society of West India Planters and Merchants untuk menunda penghapusan perdagangan budak Britania selama hampir 20 tahun.[139][140] William Pitt Muda bertekad menghapuskan perbudakan, tetapi karena kabinet terpecah dan Raja berada di pihak yang properbudakan,[124] Pitt tidak menjadikan penghapusan perbudakan sebagai kebijakan resmi pemerintah. Sebaliknya, ia berjuang menghapuskan perbudakan secara perorangan.[141] Pada 7 November 1775, semasa Perang Kemerdekaan Amerika, John Murray, Lord Dunmore, menerbitkan pemberitahuan yang menawarkan kebebasan para budak dari pemiliknya jika para budak bersedia ikut memadamkan pemberontakan. Dunmore adalah Gubernur Kerajaan Virginia terakhir, yang ditunjuk oleh Raja George III pada bulan Juli 1771. Proklamasi Dunmore mendorong para budak untuk kabur dari pemiliknya dan berperang demi Britania Raya. Pada tanggal 30 Juni 1779, Jenderal Komandan George III, Henry Clinton, mempertegas proklamasi Dunmore dengan menerbitkan Proklamasi Philipsburg. Bagi semua budak kolonial yang melarikan diri dari tuan pemberontak mereka, Clinton melarang penangkapan dan penjualan kembali para budak tersebut, serta memberikan jaminan perlindungan oleh militer Britania. Sekitar 20.000 budak yang dibebaskan bergabung dengan tentara Britania dan berperang untuk George III. Pada tahun 1783, kira-kira 3.000 budak diberikan sertifikat kebebasan oleh Britania Raya, termasuk keluarga mereka, dan diizinkan menetap di Nova Scotia.[142] Antara tahun 1791 dan 1800, hampir 400.000 budak Afrika dikirim ke Amerika dalam 1.340 pelayaran yang dilakukan dari pelabuhan-pelabuhan di Inggris, termasuk Liverpool dan Bristol. Pada tanggal 25 Maret 1807, George III mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan, yang melarang perdagangan budak lintas atlantik di Imperium Britania.[143] WarisanGeorge digantikan oleh dua putranya, George IV dan William IV, yang keduanya wafat tanpa meninggalkan penerus jelas, sehingga takhta jatuh kepada Victoria, satu-satunya keturunan sah putra keempatnya, Pangeran Edward. George III hidup selama 81 tahun 239 hari, dan memerintah selama 59 tahun 96 hari. Usia dan masa pemerintahannya lebih lama daripada raja-raja pendahulu dan penerusnya, hanya ratu Victoria dan Elizabeth II yang hidup dan memerintah lebih lama dari dirinya. George III dijuluki "Farmer George" ("Petani George") oleh para satiris, awalnya untuk mengolok-oloknya karena berminat pada hal-hal remeh, bukannya pada politik, tetapi kemudian untuk menggambarkannya sebagai sosok yang merakyat, berbeda dengan gaya hidup mewah yang diperlihatkan oleh putra-putranya.[144] Pada masa pemerintahan George III, Revolusi Pertanian Britania mencapai puncaknya dan kemajuan pesat berlangsung di berbagai bidang seperti sains dan industri. Terjadi pertambahan penduduk pedesaan secara signifikan dan belum pernah terjadi sebelumnya, yang pada akhirnya menyediakan banyak tenaga kerja bagi Revolusi Industri yang terjadi bersamaan. Koleksi peralatan matematika dan sains milik George saat ini dimiliki oleh King's College London, tetapi disimpan di Museum Sains, London, yang dipinjamkan dalam jangka panjang sejak tahun 1927. George membangun King's Observatory di Richmond-upon-Thames agar ia bisa mengamati sendiri Transit Venus 1769. Ketika William Herschel menemukan Uranus pada tahun 1781, ia awalnya menamainya Georgium Sidus (Bintang George) sesuai dengan nama Raja. George kemudian mendanai pembangunan dan pemeliharaan teleskop 40 kaki 1785 milik Herschel, yang pada saat itu merupakan teleskop terbesar yang pernah dibuat.[145] George III berharap bahwa "lidah kebencian tidak akan menggambarkan niat warna dengan warna yang ia sukai, juga penjilat tidak akan memuji saya melebihi apa yang pantas saya dapatkan."[146] Namun, dalam pandangan populer, George III dianggap sebagai sosok yang baik sekaligus jahat. Meskipun ia termasyhur pada awal masa pemerintahannya, pada pertengahan 1770-an George kehilangan kesetiaan dari para kolonis Amerika,[147] walaupun diperkirakan bahwa setengah dari total kolonis tetap setia kepadanya.[148] Keluhan-keluhan dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dijelaskan sebagai "cedera dan perebutan kekuasaan berulang" yang telah ia lakukan untuk menciptakan "Tirani absolut" atas tanah koloni. Kata-kata dalam deklarasi tersebut berperan dalam mengubah persepsi rakyat Amerika terhadap George sebagai seorang tiran. Pandangan kontemporer mengenai kehidupan George III terbagi menjadi dua kelompok: pandangan pertama menggambarkan "sikap dominannya pada akhir masa pemerintahannya, ketika Raja menjadi simbol nasional yang dihormati dalam rangka melawan gagasan dan kekuatan Prancis", sedangkan yang lainnya "melandasi pandangan mereka terhadap George berdasarkan pertikaian partisan sengit sepanjang dua dekade pertama pemerintahannya, dan mengekspresikan karya-karyanya dari sudut pandang oposisi".[149] Berdasarkan pandangan kedua, sejarawan Inggris abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, seperti Trevelyan dan Erskine Mei, mengutarakan penilaian yang bermusuhan terhadap kehidupan George III. Namun, pada pertengahan abad keduapuluh, karya Lewis Namier, yang berpendapat bahwa George "banyak difitnah," memulai penilaian ulang terhadap masa pemerintahan George.[150] Para akademisi pada akhir abad kedua puluh, seperti Butterfield dan Pares, serta Macalpine dan Hunter,[151] cenderung menilai George dengan simpatik, melihatnya sebagai korban keadaan dan penyakit. Butterfield menolak argumen para sejarawan pendahulunya dari era Victoria dengan melontarkan hinaan tajam: "Erskine Mei harusnya menjadi contoh baik mengenai bagaimana seorang sejarawan dapat melakukan kesalahan karena terlalu cerdas. Kemampuannya untuk bersintesis, dan kemampuannya untuk menyatukan berbagai bukti ... membawanya ke dalam elaborasi kesalahan yang lebih mendalam dan rumit daripada yang dialami oleh beberapa pendahulunya yang biasa-biasa saja ... ia memasukkan elemen doktrinal ke dalam sejarahnya yang, mengingat penyimpangan awalnya, dirancang untuk memproyeksikan garis-garis kesalahannya, membawa pemikirannya semakin jauh dari kesentralan atau kebenaran."[152] Ketika mengobarkan perang dengan kolonis Amerika, George III percaya bahwa ia sedang membela hak Parlemen terpilih untuk memungut pajak, bukannya berusaha untuk memperluas kekuasaan atau hak prerogatifnya sendiri.[153] Menurut pendapat para pakar modern, semasa pemerintahan panjang George III, monarki terus kehilangan kekuatan politiknya dan tumbuh sebagai perwujudan moralitas nasional.[8] Gelar, gaya, kehormatan, dan lambangGelar dan gaya
Di Britania Raya, George III menggunakan gaya resmi "George yang Ketiga, atas Rahmat Tuhan, Raja Britania Raya, Prancis, dan Irlandia, Pembela Iman, dan seterusnya" ("George the Third, by the Grace of God, King of Great Britain, France, and Ireland, Defender of the Faith, and so forth"). Pada tahun 1801, ketika Britania Raya bersatu dengan Irlandia, ia menghapus gelar raja Prancis, yang telah disandang oleh setiap raja Inggris sejak Edward III mengklaim takhta Prancis pada abad pertengahan.[113] Gaya resminya menjadi "George yang Ketiga, atas Rahmat Tuhan, Raja Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia, Pembela Iman."[155] Di Jerman, ia adalah "Adipati Brunswick dan Lüneburg, Bendahara Agung dan Pangeran-pemilih Kekaisaran Romawi Suci" (Herzog von Braunschweig und Lüneburg, Erzschatzmeister und Kurfürst des Heiligen Römischen Reiches[156]) sampai kekaisaran berakhir pada tahun 1806. Ia tetap menyandang gelar adipati sampai Kongres Wina menyatakannya sebagai "Raja Hanover" pada tahun 1814.[155] Kehormatan
LambangSebelum naik takhta, George memiliki lambang kerajaan yang dibedakan oleh lima label Azure, label tengahnya bergambar fleur-de-lis Or sejak 27 Juli 1749. Setelah kematian ayahnya, bersamaan dengan diwarisinya gelar Adipati Edinburgh serta posisi pewaris jelas, label pada lambangnya adalah tiga label Argent. Sebagai perbedaan, mahkota Charlemagne biasanya tidak ditampilkan pada lambang pewaris, melainkan hanya pada lambang Penguasa.[159] Sejak ia naik takhta sampai tahun 1800, George memakai lambang kerajaan: Kuarter, tiga singa passant guardant emas (melambangkan Inggris), seekor singa berdiri dalam bingkai berukir merah (Skotlandia); tiga fleurs-de-lys emas (Prancis); harpa emas bertali perak (Irlandia), tiga bidang chevron (Hanover), dua singa emas (Brunswick), hati merah dan singa biru berdiri (Lüneburg), kuda perak berlari (Saxony), terpampang pada perisai kecil merah dan biru dengan mahkota Charlemagne emas (melambangkan Bendahara Agung Kekaisaran Romawi Suci).[160][161] Setelah Undang-Undang Persatuan 1800, lambang kerajaan diubah dengan menghilangkan lambang Prancis. Lambang tersebut mewakili Inggris, Skotlandia, Irlandia, dan Hanover.[162] Pada tahun 1816, setelah Elektorat Hanover menjadi kerajaan, topi elektorat diubah menjadi mahkota.[163]
Keturunan
Silsilah
Catatan
Referensi
Daftar pustaka
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|