Gempa tsunami
Apabila titik fokus gempa tersebut berada di wilayah laut yang dekat dengan daratan, gempa tersebut dapat menimbulkan potensi tsunami. Berdasarkan magnitudenya, potensi gempa bumi terhadap tsunami dapat digolongkan sebagai berikut (United States Geological Survei):
Gempabumi kemungkinan kecil menyebabkan tsunami.
Gempabumi ini tidak selalu menyebabkan tsunami yang destruktif. Akan tetapi, perubahan kecil terhadap ketinggian air laut dapat terdeteksi di sekitar area ini. Tsunami yang merusak dan menimbulkan korban jarang terjadi pada magnitude gempa ini. Walaupun begitu, gempa ini dapat menimbulkan efek sekunder seperti longsoran atau amblasan dasar laut.
Gempa pada magnitude ini dapat menimbulkan tsunami yang destruktif di luar range magnitude, terutama di dekat episenter. Perubahan ketinggian air laut yang lebih signifikan dapat terdeteksi dengan jelas.
Tsunami lokal yang sangat destruktif dapat terjadi pada magnitude ini, bahkan di dalam range magnitude. Perubahan ketinggian air laut secara drastis dapat terjadi pada daerah yang lebih luas. Pada magnitude 9.0 SR, dampak sekunder lain dari gempabumi adalah munculnya gempabumi aftershock yang berkekuatan di bawah 7,5 SR. Dua jenis gempa penyebab tsunami yaitu1. Tsunami earthquake Merupakan gempa bermagnitude besar yang menimbulkan tsunami. 2. Tsunamigenic earthquake Tsunamigenic earthquake merupakan gempa penyebab tsunami yang menimbulkan karakteristik khusus. Tsunamigenik adalah suatu kejadian di alam yang berpotensi menimbulkan tsunami. Kejadian tersebut berupa terganggunya air laut oleh kegiatan-kegiatan gunung api, gempa bumi, longsoran pantai dan bawah laut, dan sebab-sebab lainnya. Berdasarkan sejarah, di Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang tercatat dalam katalog tsunami. Tsunami yang terjadi ini disebabkan oleh beberapa fenomena geologi, di antaranya erupsi gunung api bawah laut Krakatau yang terjadi tahun 416, 1883, dan 1928; gempa bumi pada tahun 1722, 1852, dan 1958; dan penyebab lainnya yang diduga kegagalan lahan berupa longsoran baik di kawasan pantai maupun di dasar laut pada tahun 1851, 1883, dan 1889 (Yudhicara, 2008). Tsunamigenik dikontrol oleh beberapa faktor seperti mekanisme gempabumi, kedalaman retakan, distribusi slip di sepanjang zona patahan, serta proses mekanik yang terjadi di zona sumber gempabumi. Masing-masing faktor ini memainkan peranan penting dalam menentukan tingkatan tsunami (Romano, 2009). Referensi
|