Etika sosial Luther


Martin Luther merupakan salah satu tokoh reformasi yang menyuarakan pemikiran mengenai "etika sosial"

Etika sosial Luther adalah salah satu bentuk pemikiran Martin Luther yang berbicara mengenai tanggung jawab orang Kristen sebagai warga negara.[1] Luther menyatakan bahwa hakim tidak mempunyai wewenang di dalam gereja.[1] Hubungan antara negara dan gereja menjadi perhatian khusus.[1] Etika Kristen bukan didasarkan ada moralitas manusia, melainkan pembenaran oleh iman.[1] Etika sosial Luther juga terkait dengan Etika Kristen.[1] etika sosial Luther menolak aksi orang Kristen yang membiarkan terjadinya struktur-struktur sosial yang tidak adil.[1] Pemikiran Luther mengenai Etika Sosial dipengaruhi oleh Surat Paulus kepada jemaat di Roma, di mana Paulus berpendapat bahwa “Firman Allah tidak dapat diterima oleh berbagai pekerjaan, tetapi hanya oleh iman saja.[1] Luther menulis bahwa siapa yang dibenarkan oleh iman, dia akan meresponsnya dengan ucapan syukur dan kasih yang akan menyempurnakan hukum.[1] Pekerjaan sehari-hari merupakan panggilan beharga dari Tuhan.

Kebebasan Kristen (Panggilan dan Pekerjaan)

Slogan Luther ialah “keprihatinan kebebasan orang Kristen”.[2] Manusia tidak diselamatkan oleh berbagai usahanya; manusia diselamatkan oleh iman.[2] Demikian juga seseorang tidak membutuhkan usaha, supaya dibenarkan dan diselamatkan, tetapi ia menerima “pemberian” (anugerah ) dari Allah.[2] Tidak seorang pun dapat memenuhi hukum, sehingga orang membutuhkan anugerah yang diberikan kepada kita hanya melalui iman.[2] Seseorang tidak akan menjadi baik karena hal baik yang dilakukannya.[2] Seseorang melakukan hal-hal yang baik, karena dia mewarisi anugerah yang membuatnya baik.[2] Sebaliknya, hal baik di luar diri seseorang belum tentu dapat membuat dirinya menjadi baik, akan tetapi jika di dalam diri orang tersebut adalah baik maka apa pun yang diperbuatnya akan menjadi baik.[1]

Pekerjaan yang baik tidak menjadikan seseorang menjadi baik, tetapi orang yang baik pastilah melakukan pekerjaan yang baik”.[2]Pekerjaan yang buruk tidak secara langsung menjadikan seseorang menjadikan buruk, tetapi orang yang buruk akan melakukan pekerjaan buruk juga”.[2] Hal itu selalu membutuhkan hakikat kebaikan, sehingga orang harus baik sebelum berbagai pekerjaan baik dilakukan dan pekerjaan yang baik itu akan mengikuti dan meneruskan dari orang yang baik.[2] Luther setuju dengan analogi dari pengalaman pendidikan; orang tidak dapat menjadi terdidik oleh karena kebaikan menerima yang baik, tetapi orang menerima tingkat yang baik sebagai dampak dari menjadi terdidik.[2] Sementara pada tingkatan yang buruk dapat mendorong seseorang pada usaha yang besar, semua itu sebenarnya diukur dari kasih kita terhadap iman dan kebenaran dalam pengetahuan.[2] Hal yang menjadi utama adalah dirinya sendiri yang mencari pendidikan.[2]

Luther menulis bahwa siapa yang dibenarkan oleh iman, dia akan meresponsnya dengan ucapan syukur dan kasih yang akan menyempurnakan hukum.[2] Melalui iman pada janji Allah, seseorang menerima anugerah keselamatan dan kemampuan untuk mengasihi dari hati dan bukan karena dorongan hukum dari luar dirinya.[2] Dengan meyakini anugerah dari Tuhan, itulah yang memampukan orang mengasihi orang lain dan bukan karena paksaan hukum dari luar, melainkan orang mampu mengasihi orang lain hanya karena anugerah Allah semata.[2] Etika tersebut merupakan suatu etika pribadi Kristen yang merefleksikan ajaran tentang kasih yang terwujud dalam Khotbah di Bukit dan menantang konsepsi manusia tentang kebenaran.[2]

Konsep pekerjaan orang Kristen pada abad pertengahan (kebiaraan) artinya “panggilan” khusus untuk menyatu dan mencari relasi dengan Allah sebagai profesi pendeta (rohaniwan) di gereja/biara.[2] Jadi, orang sering kali melakukan pekerjaan sebagai rutinitas, tetapi mereka belum meyadari makna pekerjaan tersebut sebagai panggilan dari Tuhan.[2]

Luther meyakini bahwa tidak ada perbandingan mana yang lebih besar antara pekerjaan pendeta dengan pekerjaan duniawi biasa.[2] Semua bentuk pekerjaan secara mendasar bagi manusia adalah merespon kepada kasih anugerah Allah dan hal itu juga merupakan “panggilan”.[2] Pekerjaan sehari-hari merupakan panggilan berharga dari Tuhan.[2] Namun, panggilan dari Tuhan tidak harus menjadi pendeta.[2] Luther menerapkan beberapa kebebasan dalam membuat keputusan Kristen yang dengan bebas dapat dipilih.[2] Seorang anak putera diharapkan melakukan apa yang Bapa-Nya lakukan sebagai orang tani bertani, tukang daging, tukang roti, seniman, prajurit, atau orang bangsawan.[2] Anak perempuan diharapkan dari ibunya, menjadi seperti apa yang telah dilakukan oleh ibunya, misalnya menjaga rumah dan mengasuh anak.[2] “panggilan” yang dimaksud oleh Luther berupa sikap kasih pelayanan yang diberikan dengan kasih berbanding dengan pilihan pekerjaan yang hendak ia pilih.[2] Luther menentang pandangan “kependetaan” yang dinilai lebih bermartabat dari pekerjaan biasa lainnya.[2] Sebaliknya, Luther mempertegas bahwa pekerjaan petani tidak lebih rendah dari pendeta, sebaliknya pendeta tidaklah lebih tinggi derajatnya dari petani.[2]

Ajaran tentang dua kerajaan

Selain sumbangsih Luther dalam etika sosial mengenai panggilan dan pekerjaan, Luther juga merumuskan ajaran tentang “dua kerajaan” Allah yang memerintah dunia.[3] Ketika seseorang membaca Perjanjian Baru, di sana terdapat satu perjumpaan antara dua tipe perintah, yaitu: Roma 13:1, “kita harus patuh kepada pemerintahan dunia”, sedangkan pada perintah yang lain Matius. 5:39 “ Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”. Semua itu terkaitan tentang hidup dalam kerajaan Kristus, yang mana Dia memerintahkan dalam kasih melalui firman-Nya, sebuah peraturan yang hanya orang Kristen saja yang dapat mematuhinya.[3] Roma 13:1, menerapkan untuk hidup dalam kerajaan dunia, menggunakan kekuatan duniawi (raja atau pemerintah) untuk mengatur semua manusia.[3] Sedangkan perintah “yang terdahulu” (melalui Kristus), adalah peraturan “ tangan kanan” Allah, sedangkan yang kemudian adalah peraturan “tangan kiri”.[3] “Yang lama” ditentukan untuk abadi, sedangkan “yang kemudian” bersifat sementara.[3] Gereja adalah wakil dalam peraturan “tangan kanan” Allah, sedangkan pemerintah (raja) adalah wakil dari peraturan “tangan kiri” Allah.[3]

Luther menarik perbedaan antara pemerintahan “spiritual” dan “duniawi” atas masyarakat.[1] Pemerintahan “spiritual” dari Allah diberlakukan melalui Firman Allah dan tuntunan Roh Kudus.[1] Sebaliknya, pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pangeran-pangeran, pemerintah, dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum gereja.[1] Semua itu tidak mempunyai kewenangan dalam hal ajaran.[1] Dalam gagasan Luther mengenai pemerintahan “dunawi” memperlihatkan pemerintah yang sah mempunyai kewajiban untuk menindas usaha-usaha yang hendak melancarkan pemberontakan terhadapnya.[4] Namun, dia menolak hal itu dengan mengatakan bahwa para pemerintah (raja) tidak boleh memerintahkan kepada orang-orang apa yang harus mereka percayai.[4] Ada garis-garis pembatas antara gereja dan negara.[4] Gereja tidak mempunyai kekuasaan atas negara.[4] Meskipun demikian, pemerintah bertanggungjawab kepada Allah dan raja-raja yang mau melenyapkan gerakan kerohanian dengan kekerasan (pedang).[4] Negara tidak dapat memaksakan keyakinan iman seseorang.[4] Allah tidak mau dan tidak dapat menginzinkan siapa pun selain diri-Nya untuk memerintah jiwa-jiwa.[4] Jika ada orang yang memerintah jiwa-jiwa berarti ia telah merebut hak-hak Allah dan apa yang dilakukannya adalah menggoda dan merusak jiwa-jiwa itu.[4] Hal itu dikarenakan, seseorang tidak dibaptiskan atas nama raja-raja atau pembesar-pembesar, bukan atas nama sekumpulan orang banyak, tetapi atas nama Kristus dan Allah sendiri.[4] Dengan kata lain, orang tidak perlu harus mengikuti apa yang dipercayai oleh pemerintah, sebab kekuasaan yang dimiliki oleh para penguasa bukan berasal dari Allah.[5] Sama halnya dengan Rasul Paulus yang tidak menyuruh orang untuk menaatinya.[5] Oleh karena itu, Luther mempertegas bahwa tugas tanggung jawab pemerintah adalah mempraktikkan keadilan, mengizinkan kebebasan setiap orang dalam melaksanakan kepercayaannya, membela negara dari semua musuh-musuhnya, dan memuliakan Tuhan.[3] Luther mengajak semua orang Kristen untuk hidup dengan penuh iman melalui kedua kerajaan, yaitu: duniawi dan spiritual.[3]

Etika sosial Luther memperkenalkan dua moralitas yang berbeda dan saling berdampingan.[1] Etika tersebut merupakan suatu etika pribadi Kristen yang merefleksikan ajaran tentang kasih yang terwujud dalam Khotbah di Bukit dan menantang konsepsi manusia tentang kebenaran.[1] etika sosial menurut Luther juga merupakan suatu moralitas umum didasarkan atas kekuatan yang mengesahkan konsepsi manusia tentang kebenaran.[1]

Luther berpegang bahwa “semua yang bukan orang Kristen adalah milik kerajaan dari dunia dan di bawah hukum”.[3] Allah telah menetapkan orang yang memiliki “kerajaan dunia” dengan “pemerintahan yang berbeda di luar wilayah orang Kristen dan kerajaaan Allah”.[3] Luther berpandangan bahwa Iblis dalam dunia ini harus dikendalikan.[3] Oleh sebab itu, tidak adanya aksi untuk kasih dapat menjadikan seseorang gagal dalam menentang iblis.[3] Luther tidak berusaha menghindari pesan dari Khotbah di Bukit, bahwa kasih adalah pusat dari etikanya, tetapi dia membuat dua pembedaan penting.[3]

  1. Luther membedakan antara pertahanan pribadi yang ditolak oleh Kristen sebagai pertentangan dari kasih seseorang dengan pertahanan dari orang lain, di mana dia mempertimbangkannya sebagai sebuah ekspresi (ungkapan) dari kasih yang sama.[3]
  2. Kasih dapat diungkapkan secara negatif, secara langsung seperti dalam ungkapan positif secara langsung.[3] Contohnya, Luther dapat membenarkan aksi militer ketika mempertahankan sesuatu.[3] Perang dimungkinkan dapat terjadi sebagai ungkapan untuk mempertahankan sesuatu.[3] Luther menerapkan ajaran tesebut dalam menanggapi pemberontakan petani Swabian pada 1524-1525, di mana peyebab sosial yang tampilkannya untuk dimengerti tidak seluruhnya dipahami.[3] Luther menjelaskan bahwa apa yang ia ambil menjadi pendosa dari petani dalam ketidaktaatannya sebagai awal dari anarki.[3]

Setelah Luther memunculkan ajaran tersebut, ia menerima banyak kritik.[3] Kritik yang banyak ia terima membuat Luther dengan cepat mengklarifikasi ajaran itu.[3] Pada waktu yang sama Luther mengingat kerajaan Allah mengenai pemerintahan kasih di atas iman.[3] Dengan jelas Luther memahami ajarannya tentang kasih yang memiliki konsekuensi dan bersifat sementara.[3] Luther tidak mempertahankan dengan keras tentang konsekuensi ajarannya tentang dua kerajaan.[3] Dengan kata lain, Luther tidak konsekuensi, karena satu sisi dia menekankan kasih, tetapi di sisi lain dia mengizinkan adanya perang.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Indonesia)Alister E McGrath. 1997. Sejarah Pemikiran Reformasi ‘’.Jakarta:BPK Gunung mulia . 273. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "McGrath" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab (Inggris)Wogaman,Philip. 1997. Christian Ethics: A Historical Introduction ‘’.USA:Society for Promoting Christian Knowleadge .110-115.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y (Inggris)Jones, Richard G.1984. Groundwork of Christian of Christian Ethics ‘’.London:Epworth Press. 67-70.
  4. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Kooiman, W.J. 1973. Martin Luther: Doktor Dalam Kitab Suci Reformator Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 136.
  5. ^ a b (Indonesia)Song, C.S. 1989. ‘’Sebutkanlah Nama-nama Kami: Teologi Cerita Dari Perspektif Asia. Jakarta: BPK. 225.
Kembali kehalaman sebelumnya