Elizabeth II dari Britania Raya
Elizabeth II (Elizabeth Alexandra Mary, 21 April 1926 – 8 September 2022[catatan 1]) [1] adalah ratu monarki konstitusional dari 16 negara berdaulat (dikenal sebagai Alam Persemakmuran) dan teritori beserta dependensinya, serta ketua dari 54 anggota Negara-Negara Persemakmuran, sejak penobatannya pada tahun 1952 sampai kematiannya pada tahun 2022. Semasa hidupnya, Ratu Elizabeth II juga merupakan Gubernur Agung Gereja Inggris. Setelah naik takhta pada tanggal 6 Februari 1952, Ratu Elizabeth menjadi Ketua Persemakmuran sekaligus ratu dari tujuh Alam Persemakmuran (Commonwealth Realms) merdeka, yaitu: Britania Raya, Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Pakistan dan Sri Lanka. Dari tahun 1956 sampai 1992, jumlah Alam Persemakmurannya bervariasi dan beberapa wilayah merdeka bertransformasi menjadi negara republik. Selain empat negara pertama yang disebut di atas, Elizabeth juga merupakan Ratu dari Jamaika, Bahama, Grenada, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Belize, Antigua dan Barbuda, serta Saint Kitts dan Nevis. Masa pemerintahannya selama 72 tahun merupakan masa pemerintahan terlama dalam sejarah Monarki Britania Raya serta pemimpin monarki kedua di dunia dengan masa kekuasaan terlama, melampaui masa pemerintahan nenek buyutnya, Ratu Victoria, yang memerintah selama 63 tahun. Dia merupakan pemimpin monarki Britania Raya paling berpengaruh dalam 150 tahun terakhir. Elizabeth lahir di London dan menempuh pendidikan secara privat. Ayahnya naik takhta menjadi George VI pada tahun 1936 setelah pamannya, Edward VIII, melepaskan takhtanya, dan secara tidak terduga Elizabeth menjadi penerus takhta berikutnya. Elizabeth mulai menjalankan tugas sosialnya selama terjadinya Perang Dunia II dengan bertugas di palang merah. Pada tahun 1947, ia menikah dengan Pangeran Philip, Adipati Edinburgh, dan kemudian dikaruniai empat orang anak, yaitu Charles, Anne, Andrew, dan Edward. Upacara penobatannya dilaksanakan pada tahun 1953 dan merupakan upacara penobatan pertama yang disiarkan melalui televisi. Ratu Elizabeth sudah melakukan berbagai pertemuan dan kunjungan kenegaraan bersejarah, termasuk kunjungan kenegaraan ke Republik Irlandia dan kunjungan timbal balik dari dan ke Paus Katolik Roma. Ratu Elizabeth juga telah menjadi saksi hidup atas berbagai perubahan besar yang terjadi dalam konstitusi Alam Persemakmurannya, seperti devolusi di Britania Raya, dan pemisahan konstitusi Kanada. Sedangkan secara personal, Ratu juga telah menyaksikan berbagai peristiwa penting yang terjadi dalam monarkinya, termasuk kelahiran dan pernikahan anak serta cucunya, upacara penobatan Pangeran Wales, dan perayaan Yubileum perak, emas, dan berliannya pada tahun 1977, 2002, dan 2012. Berbagai peristiwa bersejarah juga terjadi selama masa pemerintahan Ratu Elizabeth, baik di Britania Raya maupun Alam Persemakmurannya, di antaranya peristiwa Perang Dingin, the Troubles di Irlandia Utara, Perang Falkland, dan Perang Afganistan. Ada juga saat-saat duka yang dilaluinya, termasuk kematian ayahandanya pada usia 56 tahun, pembunuhan paman Pangeran Philip, kehancuran rumah tangga putra-putrinya pada tahun 1992, kematian menantunya, Diana, Putri Wales pada tahun 1997, serta kematian ibu dan adiknya pada tahun 2002. Ratu Elizabeth dan keluarga kerajaannya sering kali menerima berbagai kritikan dan kecaman dari media massa dan tokoh-tokoh prorepublik, namun popularitas pribadi dan dukungan yang mengalir untuk kerajaan tetap tinggi. Kehidupan awalElizabeth adalah anak pertama dari Pangeran Albert, Adipati York (kemudian menjadi Raja George VI), dan istrinya, Elizabeth Angela Marguerite Bowes-Lyon (kemudian lebih dikenal sebagai Ratu Elizabeth, Ibu Suri). Ayahnya adalah anak kedua dari Raja George V dan Ratu Mary. Sedangkan ibunya adalah putri bungsu dari bangsawan Skotlandia bernama Claude Bowes-Lyon. Elizabeth dilahirkan melalui operasi sesar pada pukul 02.40 (GMT) tanggal 21 April 1926 di kediaman kakeknya di 17 Bruton Street, Mayfair, London.[2] Elizabeth dibaptis oleh Uskup Agung Anglikan York bernama Cosmo Gordon Lang di sebuah kapel pribadi di Istana Buckingham pada tanggal 29 Mei 1926,[3][catatan 2] dan dinamai Elizabeth Alexandra Mary; Elizabeth diturunkan dari nama ibundanya, Alexandra diturunkan dari nama ibu Raja George V, Alexandra dari Denmark, yang meninggal dunia enam bulan sebelumnya, sedangkan Mary adalah nama neneknya dari pihak ayah.[4] Keluarga dekatnya memanggil Elizabeth dengan sebutan "Lilibet".[5] Raja George V sangat menyayangi cucunya. Saat Raja mengidap penyakit serius pada tahun 1929, dilaporkan bahwa kunjungan rutin dari Elizabeth turut membantu menumbuhkan semangat dan mempercepat proses kesembuhan sang Raja.[6] Elizabeth memiliki seorang saudara perempuan, yaitu Putri Margaret, yang usianya empat tahun lebih muda dari usianya. Keduanya dididik secara privat di rumah dengan pengawasan dari ibu dan pengasuh mereka, Marion Crawford atau "Crawfie".[7] Pelajaran yang diajarkan pada mereka berdua adalah sejarah, bahasa, sastra, dan musik.[8] Untuk menggambarkan kehidupan keluarga kerajaan,[9] pada tahun 1950 Crawford menerbitkan sebuah biografi masa kecil Elizabeth dan Margaret yang berjudul The Little Princesses. Buku ini menggambarkan Elizabeth kecil yang mencintai kuda dan anjing, serta bersikap tertib dan bertanggungjawab.[10] Winston Churchill menggambarkan Elizabeth saat berusia dua tahun sebagai "sebuah karakter yang memantulkan keajaiban dari sosok seorang bayi." [11] Sepupunya, Margaret Rhodes menggambarkan Elizabeth kecil sebagai "seorang gadis kecil yang periang, tetapi pada dasarnya bijaksana dan berperilaku baik".[12] Putri mahkotaSebagai cucu dari Raja Britania Raya, gelar Elizabeth setelah kelahirannya adalah Her Royal Highness Princess Elizabeth of York (Yang Mulia Putri Elizabeth dari York). Elizabeth berada di posisi ketiga dalam garis penerus takhta setelah pamannya, Edward, Pangeran Wales, dan ayahnya, Adipati York. Meskipun kelahirannya telah menarik perhatian publik, Elizabeth tidak diunggulkan untuk menjadi ratu karena Pangeran Wales masih muda, dan banyak yang menduga kalau Pangeran Wales akan menikah dan memiliki penerus sendiri.[13] Pada tahun 1936, setelah kakeknya, Raja George V meninggal dunia, pamannya Edward VIII naik takhta menjadi raja. Posisi Elizabeth-pun bergeser menjadi orang kedua di garis takhta setelah ayahnya. Kemudian, masih pada tahun yang sama, tanpa diduga Edward turun takhta karena berniat menikahi Wallis Simpson, seorang sosialita yang berstatus janda. Tindakan Edward ini memicu krisis konstitusional di lingkungan kerajaan.[14] Ayahanda Elizabeth kemudian naik takhta menjadi raja dan Elizabeth otomatis menjadi putri mahkota atau penerus takhta berikutnya dengan gelar Her Royal Highness The Princess Elizabeth.[15] Namun, jika kemudian orang tuanya memiliki putra, maka saudara laki-lakinya akan menjadi putra mahkota dan Elizabeth akan kehilangan posisinya sebagai penerus takhta berikutnya.[16] Elizabeth menerima beasiswa pribadi dari Eton College,[17] dan kemudian mulai mempelajari bahasa Prancis.[18] Sebuah lembaga Pandu Putri bernama 1st Buckingham Palace Company khusus dibentuk dengan tujuan agar Elizabeth bisa bersosialisasi dengan gadis-gadis seusianya.[19] Setelah itu, Elizabeth sempat terdaftar sebagai anggota kepanduan Sea Ranger pada tahun 1937.[18] Pada tahun 1939, orang tua Elizabeth melakukan kunjungan kenegaraan ke Kanada dan Amerika Serikat. Sebelumnya, pada tahun 1927 orang tuanya juga melakukan kunjungan ke Australia dan Selandia Baru, namun Elizabeth tetap di Inggris. Ayahnya berpikir bahwa dia terlalu muda untuk melakukan kunjungan publik.[20] Elizabeth "tampak menangis" saat ayahnya pergi.[21] Selama kunjungan, ia dan ayahnya tetap berhubungan secara teratur.[21] Pada tanggal 18 Mei 1939, Elizabeth dan ayahnya melakukan panggilan telepon kerajaan trans-atlantik untuk pertama kalinya.[20] Perang Dunia IIPada bulan September 1939, Britania Raya memasuki Perang Dunia II yang berlangsung sampai tahun 1945. Selama periode ini, ketika London berulang kali diserang dan di bom oleh Jerman, banyak anak-anak di London yang dievakuasi. Seorang politisi senior bernama Lord Hailsham menyarankan agar kedua putri harus dievakuasi ke Kanada. Namun saran ini ditolak oleh ibu Elizabeth, yang menyatakan bahwa "Anak-anak tidak akan pergi tanpa saya. Saya tidak akan pergi tanpa Raja. Dan Raja tidak akan pernah meninggalkan Inggris".[22] Putri Elizabeth dan Margaret tinggal di Istana Balmoral, Skotlandia, hingga hari Natal tahun 1939, kemudian mereka pindah ke Sandringham House di Norfolk.[23] Dari bulan Februari hingga bulan Mei 1940, mereka tinggal di Royal Lodge, Windsor, setelah itu pindah lagi ke Kastel Windsor. Di tempat terakhir inilah kedua putri menetap selama lima tahun berikutnya.[24] Di Windsor, kedua putri ikut berpartisipasi dalam pementasan pantomim pada hari Natal dalam rangka menggalang dana untuk memproduksi pakaian militer.[25] Pada tahun 1940, Elizabeth yang pada saat itu berusia 14 tahun melakukan siaran radio pertamanya dalam program BBC, Children's Hour. Dalam program tersebut, Elizabeth menyalami dan menghibur anak-anak lain yang telah di evakuasi dari kota.[26] Dia menyatakan:
Pada tahun 1943, saat berusia 16 tahun, Elizabeth melakukan penampilan publik solo pertamanya saat mengunjungi Pasukan Pengawal Grenadier.[27] Saat ia mendekati ulang tahun ke-18, hukum berubah sehingga dia bisa bertindak sebagai salah satu dari lima Konselor Negara yang mewakili Britania Raya jika ayahnya tidak mampu atau sedang melakukan kunjungan luar negeri, seperti saat ayahnya berkunjung ke Italia pada bulan Juli 1944.[28] Pada bulan Februari 1945, Elizabeth bergabung dengan Women's Auxiliary Territorial Service sebagai Subaltern kehormatan dengan nomor layanan 230873.[29] Dia dilatih menjadi sopir dan mekanik dan dipromosikan menjadi Komandan Junior kehormatan lima bulan kemudian.[30][31] Ketika perang berakhir di Eropa, saat perayaan kemenangan di Britania Raya, Putri Elizabeth dan Putri Margaret berbaur secara anonim bersama kerumunan massa dalam perayaan di jalan-jalan kota London. Elizabeth kemudian mengatakan dalam sebuah wawancara yang jarang terjadi, "Kami bertanya pada orang tua kami apakah kami bisa keluar dan melihat perayaan. Saya ingat mereka takut kalau nanti kami akan dikenali ... Saya ingat barisan orang-orang tak dikenal yang saling menautkan lengan dan berjalan menyusuri Whitehall, kami semua hanya menyatu bersama gelombang kebahagiaan dan kelegaan.[32] Selama perang, beberapa usulan diajukan oleh pemerintah untuk memadamkan nasionalisme yang merebak di Wales dengan cara mendekatkan Elizabeth dengan rakyat Wales.[33] Usulan ini termasuk menjadikan Elizabeth sebagai juru kunci Kastel Caernarvon, posisi yang pada saat itu dijabat oleh David Lloyd George. Menteri Dalam Negeri Herbert Morrison mengusulkan rencana lain, yaitu agar menjadikan Elizabeth sebagai pelindung Urdd Gobaith Cymru (Persatuan Pemuda Wales).[33] Para politisi Wales mengusulkan agar Elizabeth dinobatkan sebagai Putri Wales pada saat ulang tahunnya yang ke-18.[34] Namun ide-ide ini pada akhirnya ditinggalkan karena berbagai alasan, termasuk adanya ketakutan untuk mempersatukan Elizabeth dengan para penentang di Urdd, apalagi saat itu Britania Raya sedang menghadapi peperangan.[33] Tahun 1946, Elizabeth dilantik menjadi Wales Gorsedd of Bards di Eisteddfod Nasional Wales.[35] Pada tahun 1947, Putri Elizabeth melakukan kunjungan luar negeri pertamanya saat menemani orang tuanya melakukan kunjungan kenegaraan ke Afrika Selatan. Selama kunjungan, dalam siarannya untuk Negara-Negara Persemakmuran pada hari ulangnya yang ke-21, Elizabeth membuat janji sebagai berikut:
PernikahanElizabeth bertemu dengan calon suaminya, Pangeran Philip dari Yunani dan Denmark pada tahun 1934 dan 1937.[37] Mereka berdua merupakan sepupu dalam garis kedua berdasarkan silsilah Raja Christian IX dari Denmark dan sepupu ketiga dalam garis Ratu Victoria. Setelah pertemuan lainnya di Sekolah Angkatan Laut Britania Raya di Dartmouth pada bulan Juli 1939, Elizabeth yang pada saat itu masih berusia 13 tahun mengungkapkan bahwa ia jatuh cinta pada Pangeran Philip dan kemudian mereka berdua mulai berkirim surat.[38] Pertunangan mereka diumumkan secara resmi pada tanggal 9 Juli 1947.[39] Pertunangan mereka ini diiringi oleh mencuatnya berbagai kontroversi: Philip tidak memiliki dasar keuangan yang memadai dan merupakan seorang kelahiran asing (meskipun ia pernah bertugas di Royal Navy selama Perang Dunia Kedua). Philip juga memiliki saudara perempuan yang telah menikah dengan seorang bangsawan Jerman Nazi.[40] Marion Crawford menulis: "Beberapa penasehat Raja berpikir bahwa dia [Philip] tidak cukup baik untuk Elizabeth. Dia adalah seorang pangeran tanpa rumah atau kerajaan. Beberapa penasehat juga mempermasalahkan status Philip yang merupakan seorang kelahiran asing."[41] Dalam biografinya di kemudian hari, dilaporkan bahwa Sri Ratu Elizabeth Bowes pada awalnya menentang pertunangan ini, bahkan ia menyebut Philip dengan sebutan "dia".[42] Namun, Sri Ratu mengatakan kepada penulis biografinya, Tim Heald, bahwa Philip adalah "seorang pria Inggris".[43] Sebelum pernikahan dilangsungkan, Philip menanggalkan gelar Yunani dan Denmark nya, pindah agama dari Ortodoks Yunani menjadi Anglikan, serta mengganti gelarnya menjadi "Letnan Philip Mountbatten", mengadopsi nama keluarga Inggris pihak ibunya.[44] Tepat sebelum pernikahan, Philip dinobatkan menjadi Adipati Edinburgh, dengan gelar His Royal Highness (Yang Mulia).[45] Elizabeth dan Philip menikah pada tanggal 20 November 1947 di Westminster Abbey. Mereka berdua menerima 2500 hadiah pernikahan dari para tamu dan undangan di seluruh dunia.[46] Karena Britania Raya belum sepenuhnya pulih dari kehancuran pasca perang dunia, Elizabeth menggunakan kupon rangsum untuk membeli bahan gaunnya, yang dirancang oleh Norman Hartnell.[47] Pasca-perang, keluarga kerajaan tidak diperkenankan menjalin hubungan apapun dengan Jerman. Begitu juga dengan Philip yang memiliki tiga saudara perempuan di Jerman, saudara-saudaranya tersebut selanjutnya diketahui tidak diundang ke pernikahannya.[48] Selain itu, Adipati Windsor (sebelumnya Raja Edward VIII) juga tidak diundang ke pesta pernikahan Elizabeth dan Philip.[49] Elizabeth melahirkan anak pertamanya, Pangeran Charles, pada tanggal 14 November 1948. Satu bulan sebelumnya, Raja telah mengeluarkan surat paten yang mengizinkan putra dan putri Elizabeth untuk menggunakan gelar pangeran atau putri kerajaan meskipun Elizabeth belum naik takhta.[50] Anak kedua mereka, Putri Anne, lahir pada tahun 1950.[51] Setelah pernikahan mereka, pasangan ini menyewa Windlesham Moor di dekat Istana Windsor, dan menetap di sana hingga tanggal 4 Juli 1949.[46] Setelah itu, mereka pindah ke Clarence House di London. Antara tahun 1949 sampai 1951, Adipati Edinburgh ditugaskan di Protektorat Britania di Malta sebagai perwira Angkatan Laut yang melayani Royal Navy. Dia dan Elizabeth menetap selama beberapa bulan di sebuah villa milik paman Philip di Gwardamanġia, Malta, sedangkan anak-anak tetap tinggal di Inggris.[52] PemerintahanNaik takhta dan penobatanPada tahun 1951, kesehatan Raja George VI menurun dan Elizabeth sering diutus untuk mewakilinya dalam acara-acara publik. Ketika dia melakukan kunjungan ke Kanada dan mengunjungi Presiden Truman di Washington, D.C. pada bulan Oktober 1951, sekretaris pribadinya, Martin Charteris, membawa surat perintah deklarasi naik tahta untuk digunakan jika Raja meninggal ketika dia sedang melakukan kunjungan.[53] Pada awal tahun 1952, Elizabeth dan Philip berangkat untuk melakukan kunjungan ke Australia, Selandia Baru, dan Kenya. Pada tanggal 6 Februari 1952, mereka berdua baru saja sampai di kediaman mereka di Kenya saat Philip diberitahu kabar mengenai kematian Raja. Philip kemudian menyampaikan kabar tersebut kepada istrinya.[54] Martin Charteris meminta Elizabeth untuk memilih nama penyandang kekuasaan yang ingin dipakainya, namun dia memutuskan untuk tetap menggunakan nama Elizabeth, atau lebih tepatnya, Elizabeth II.[55] Elizabeth langsung diproklamasikan sebagai ratu Britania Raya dan seluruh alam Persemakmuran pada saat itu juga dan setelah itu dia langsung kembali ke Inggris.[56] Setelah menjadi Ratu, ia dan Adipati Edinburgh kemudian pindah ke Istana Buckingham.[57] Dengan naik takhtanya Elizabeth, ada kemungkinan bahwa wangsa kerajaan akan menggunakan nama suaminya; menjadi Wangsa Mountbatten, sejalan dengan kebiasaan seorang istri yang menggunakan nama keluarga suaminya setelah menikah. Nenek Elizabeth, Ratu Mary, dan Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill, menyarankan untuk tetap mempertahankan nama Wangsa Windsor, dan usul ini diterima. Namun Adipati Edinburgh mengeluh: "Saya satu-satunya orang di negara ini yang tidak diperbolehkan untuk mewariskan namanya kepada anak-anaknya sendiri."[58] Pada tahun 1960, setelah kematian Ratu Mary pada tahun 1953 dan pengunduran diri Churchill pada tahun 1955, nama keluarga Mountbatten-Windsor diadopsi untuk keturunan laki-laki Philip dan Elizabeth yang tidak dianugerahi gelar kerajaan.[59] Di tengah persiapan penobatan, Putri Margaret memberitahu kakaknya bahwa dia ingin menikahi Peter Townsend, seorang duda dua anak yang usianya 16 tahun lebih tua dari Margaret, namun Ratu memintanya untuk menunggu selama satu tahun. Martin Charteris mengungkapkan, "Ratu sebenarnya bersimpatik terhadap Putri Margaret, tapi menurut saya Ratu berpikir—atau berharap—jika diberi waktu, maka skandal itu akan mereda dengan sendirinya."[60] Para politisi senior menentang pernikahan itu dan Gereja Inggris juga tidak mengizinkan pernikahan setelah perceraian. Jika Putri Margaret tetap memaksa menikah, maka ia akan tersingkir dari garis pewaris takhta, sama seperti kasus Edward VIII.[61] Pada akhirnya, Putri memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Townsend.[62] Pada tahun 1960, Margaret menikah dengan Antony Armstrong-Jones, yang kemudian bergelar Pangeran Snowdon. Mereka bercerai pada tahun 1978 dan setelah itu Putri Margaret tidak menikah lagi.[63] Meskipun Kerajaan Britania Raya dilanda kesedihan dengan meninggalnya Ratu Mary pada tanggal 24 Maret, upacara penobatan Ratu Elizabeth tetap dilangsungkan pada tanggal 2 Juni 1953.[64] Upacara digelar di Westminster Abbey, kecuali untuk sesi Perminyakan dan Perjamuan Kudus. Upacara ini juga menjadi upacara penobatan kerajaan yang pertama kalinya disiarkan melalui televisi.[65][catatan 3] Gaun penobatan Ratu Elizabeth dirancang oleh Norman Hartnel dan dibordir dengan lambang dari Negara-Negara Persemakmuran: mawar Tudor Inggris, kardo Skotlandia, bawang perai Wales, shamrock Irlandia, pial Australia, daun mapel Kanada, pakis perak Selandia Baru, protea Afrika Selatan, bunga seroja untuk India dan Sri Lanka, serta gandum, kapas, dan rami untuk Pakistan.[66] Keberlangsungan persemakmuranSepanjang hidupnya, Ratu telah menyaksikan proses transformasi negara-negara jajahan Britania Raya dari Imperium Britania menjadi Negara-Negara Persemakmuran.[67] Pada saat ia naik takhta pada tahun 1952, peran Ratu sebagai kepala negara dari beberapa negara-negara merdeka sudah terbentuk dengan sendirinya.[68] Dalam rentang tahun 1953-1954, Ratu dan suaminya memulai kunjungan kenegaraan selama enam bulan ke berbagai negara di dunia. Ia menjadi kepala monarki pertama yang mengunjungi Australia dan Selandia Baru.[69] Selama kunjungan, kerumunan massa yang sangat ramai menyambut kedatangan Ratu, sekitar tiga perempat dari populasi Australia diperkirakan ikut menyambut kedatangan Ratu Elizabeth pada saat itu.[70] Sepanjang pemerintahannya, Ratu Elizabeth telah melakukan berbagai kunjungan kenegaraan ke berbagai negara Persemakmuran ataupun non-Persemakmuran dan dia tercatat sebagai kepala negara yang paling sering bepergian dalam sejarah.[71] Pada tahun 1956, Perdana Menteri Prancis Guy Mollet dan Perdana Menteri Britania Raya Sir Anthony Eden membahas kemungkinan Prancis untuk bergabung dengan Persemakmuran. Namun usulan tersebut tidak pernah diterima, dan pada tahun berikutnya, Prancis menandatangani Perjanjian Roma sebagai dasar pendirian Masyarakat Ekonomi Eropa, pendahulu dari Uni Eropa.[72] Pada bulan November 1956, Britania Raya dan Prancis menginvasi Mesir dalam upaya untuk mengambil alih Terusan Suez, namun upaya ini berakhir dengan kegagalan. Lord Mountbatten mengklaim bahwa Ratu menentang invasi ini, meskipun Eden menyangkalnya. Eden mengundurkan diri dua bulan kemudian.[73] Tidak adanya mekanisme formal dalam Partai Konservatif untuk memilih seorang pemimpin berarti bahwa setelah pengunduran diri Eden, Ratu berhak untuk memutuskan siapa yang akan menjadi perdana menteri. Eden menganjurkan agar ia berkonsultasi dengan Lord Salisbury, Presiden Agung House of Lords. Lord Salisbury dan Lord Kilmuir (Konselor Agung) kemudian berkonsultasi dengan Kabinet Britania, Winston Churchill, dan Ketua Komite 1922. Sebagai hasilnya, Ratu menyetujui calon perdana menteri yang mereka rekomendasikan: Harold Macmillan.[74] Krisis Suez dan terpilihnya pengganti Eden pada tahun 1957 telah menuai berbagai kritik atas kepemimpinan Ratu Elizabeth. Dalam sebuah majalah yang dimiliki oleh Lord Altrincham,[75] ia menuduh Ratu telah "keluar batas".[76] Altrincham kemudian dikecam dan diserang secara fisik oleh masyarakat yang tidak suka atas komentarnya.[77] Enam tahun kemudian, Macmillan mengundurkan diri pada tahun 1963 dan menyarankan agar Ratu menunjuk Earl of Home sebagai perdana menteri, dan sarannya ini diikuti.[78] Atas tindakannya ini, Ratu sekali lagi menerima berbagai kritikan karena menunjuk perdana menteri atas saran dari sejumlah kecil, atau seorang menteri.[78] Pada tahun 1965, Partai Konservatif menetapkan mekanisme formal untuk memilih perdana menteri, sehingga mengurangi keterlibatan ratu dalam Kabinet.[79] Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Pada tahun 1957, Ratu Elizabeth II melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat. Dalam kunjungan tersebut, Ratu berpidato dalam Majelis Umum PBB atas nama Persemakmuran. Dalam kunjungan yang sama, Ratu meresmikan Parlemen Kanada ke-23, yang merupakan pemerintahan monarki Kanada pertama yang memiliki Parlemen.[80] Dua tahun kemudian, Elizabeth sekali lagi mengunjungi Kanada dan Amerika Serikat,[80][81] meskipun pada saat itu Ratu sedang mengandung anak ketiganya.[82] Pada tahun 1961, dia mengunjungi Siprus, India, Pakistan, Nepal, dan Iran.[83] Dalam kunjungannya ke Ghana pada tahun yang sama, Ratu menepis kekhawatiran akan keselamatannya, meskipun Presiden Kwame Nkrumah, yang menggantikan posisinya sebagai kepala negara Ghana, adalah sasaran utama pembunuhan.[84] Harold Macmillan menulis: "Ratu benar-benar tabah pada saat itu ... Dia tidak suka orang-orang yang memperlakukannya seolah-olah dia;... seorang bintang film ... Dia memang memiliki 'hati dan perut selayaknya seorang pria' ... Dia mencintai tugasnya dan posisinya sebagai seorang Ratu."[84] Menjelang kunjungannya ke Quebec pada tahun 1964, media melaporkan bahwa beberapa gerakan separatis telah merencanakan pembunuhan Ratu Elizabeth.[85][86][87] Tidak terjadi apa-apa selama kunjungan berlangsung, namun beberapa kerusuhan pecah saat ia berada di Montreal; "ketenangan dan keberanian Ratu dalam menghadapi kekerasan" patut dicatat.[88] Masa kehamilan Ratu Elizabeth saat mengandung Pangeran Andrew dan Pangeran Edward pada tahun 1959 dan 1963 adalah dua saat di mana ia tidak melakukan peresmian Parlemen Britania Raya selama masa pemerintahannya.[89] Selain tampil dalam berbagai perayaan tradisional, Ratu juga menerapkan praktik-praktik baru. Jalan kaki kenegaraan dan pertemuan dengan anggota masyarakat biasa dilangsungkan selama kunjungannya ke Australia dan Selandia Baru pada tahun 1970.[90] Pada periode 1960-an dan 1970-an, Ratu Elizabeth menjadi saksi atas dekolonisasi negara-negara jajahan Britania Raya di Afrika dan Karibia. Lebih dari 20 negara memperoleh kemerdekaan dari Britania Raya sebagai bagian dari transisi negara-negara tersebut untuk membentuk pemerintahan sendiri. Pada tahun 1965, Perdana Menteri Rhodesia, Ian Smith, menyatakan kemerdekaan sepihak atas Britania Raya pada saat sebagian besar rakyat Rhodesia masih menyatakan "kesetiaan dan pengabdiannya" pada Ratu Elizabeth. Meskipun Ratu menolak deklarasi sepihaknya dan dunia internasional menerapkan sanksi terhadap Rhodesia, rezim Smith tetap bertahan selama lebih dari satu dekade berikutnya.[91] Pada bulan Februari 1974, Perdana Menteri Edward Heath menyarankan pada Ratu untuk menyelenggarakan pemilihan umum ditengah-tengah kunjungannya ke Austronesia Pasifik, yang menyebabkan Ratu harus terbang kembali ke Inggris.[92] Pemilihan umum ini menghasilkan parlemen yang menggantung; Partai Konservatif pimpinan Heath tidak berhasil memperoleh suara mayoritas, namun partai ini bisa tetap tinggal di Westminster jika berkoalisi dengan Partai Liberal. Rencana koalisi ini akhirnya kandas dan Heath kemudian mengundurkan diri setelah Ratu meminta pemimpin oposisi, Harold Wilson dari Partai Buruh untuk membentuk pemerintahan.[93] Setahun kemudian, pada puncak krisis konstitusi Australia 1975, Perdana Menteri Australia Gough Whitlam diberhentikan dari jabatannya oleh Gubernur Jenderal John Kerr setelah oposisi yang dikendalikan Senat menolak proposal anggaran Whitlam.[94] Karena Whitlam memiliki suara mayoritas dalam Dewan Perwakilan Rakyat Australia, juru bicara Gordon Scholes mengimbau kepada Ratu untuk membalikkan keputusan Kerr. Namun Ratu menolak, menyatakan bahwa dia tidak akan ikut campur dalam keputusan-keputusan Gubernur Jenderal yang dilindungi oleh Konstitusi Australia.[95] Krisis ini memicu munculnya gerakan Republikanisme Australia.[94] Yubileum PerakPada tahun 1977, Ratu Elizabeth memasuki 25 tahun masa pemerintahannya (Yubileum Perak). Berbagai pesta dan perayaan berlangsung di seluruh Persemakmuran. Perayaan-perayaan ini kembali menegaskan betapa besarnya popularitas Ratu, meskipun sempat dinodai oleh pemberitaan negatif media berkaitan dengan perceraian Putri Margaret dengan suaminya.[96] Pada tahun 1978, Ratu menerima kunjungan kenegaraan dari diktator komunis Rumania, Nicolae Ceaușescu dan istrinya Elena.[97][98] Setahun kemudian, Ratu dihadapkan pada dua pukulan: salah satu inspektur di Istana Buckingham terbuka kedoknya sebagai mata-mata komunis, pukulan lainnya adalah tewasnya sang paman dari Pangeran Philip, Lord Mountbatten, KG, oleh Tentara Republik Irlandia Sementara.[99] Menurut Paul Martin, Sr., pada akhir tahun 1970-an, Ratu khawatir bahwa mahkotanya sudah "tidak berarti" lagi buat Perdana Menteri Kanada Pierre Trudeau.[100] Tony Benn berkata bahwa Ratu menganggap Trudeau "agak mengecewakan".[100] Trudeau mengolok-ngolok Kerajaan dengan mengatakan bahwa Persemakmuran seperti "meluncur di bawah kendali Istana Buckingham dan berputar-putar di belakang Ratu" pada tahun 1977, dan menghapuskan beberapa simbol monarki Kanada selama masa jabatannya.[100] Pada tahun 1980, beberapa politisi Kanada yang dikirim ke London untuk membahas mengenai pemisahan Konstitusi Kanada mengungkapkan bahwa Ratu "lebih informatif ... dibandingkan dengan politisi atau birokrat Britania lainnya".[100] Ratu sangat peduli mengenai masalah Kanada ini setelah kegagalan Bill C-60 yang mempengaruhi perannya sebagai kepala negara.[100] Pemisahan konstitusi ini pada akhirnya menghasilkan keputusan yang menghapus peran Parlemen Britania Raya dalam Konstitusi Kanada, namun monarki tetap dipertahankan. Trudeau menuliskan dalam memoarnya bahwa Ratu menghargai usahanya untuk mereformasi Konstitusi dan Trudeau juga terkesan oleh "sopan santun dan kebijaksanaan yang Ratu tampilkan di depan umum".[101] 1980-anDalam perayaan Trooping the Colour pada tahun 1981, enam minggu sebelum pernikahan Pangeran Charles dengan Diana Spencer, enam tembakan dari jarak dekat diarahkan kepada Ratu saat ia sedang mengendarai kudanya menuju The Mall, London. Polisi kemudian menemukan bahwa tembakan itu kosong. Penyerangnya adalah seorang remaja berusia 17 tahun bernama Marcus Sarjeant, yang selanjutnya dihukum lima tahun penjara dan dibebaskan setelah menjalani tiga tahun hukumannya.[102] Ketenangan Ratu dalam menghadapi situasi saat itu dipuji secara luas.[103] Dari bulan April hingga September 1982, Ratu masih memikirkan peristiwa itu,[104] namun ia juga bangga karena putranya, Pangeran Andrew melayani tentara Britania dalam Perang Falklands.[105] Pada tanggal 9 Juli, Ratu terbangun di kamarnya di Istana Buckingham dan mendapati seorang penyusup telah memasuki kamar tidurnya. Dengan tenang, Ratu memanggil petugas keamanan istana dan sembari menunggu bantuan, ia berbicara dengan sang penyusup yang kemudian diketahui bernama Michael Fagan sampai petugas keamanan tiba tujuh menit kemudian.[106] Saat menerima kunjungan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan di Istana Windsor pada tahun 1982, ia memarahi Reagan karena telah memerintahkan Invasi Grenada, yang merupakan salah satu Alam Persemakmurannya di Karibia tanpa memberitahukannya terlebih dahulu.[107] Meningkatnya perhatian media terhadap kehidupan pribadi keluarga kerajaan selama tahun 1980-an menghasilkan serangkaian cerita sensasional di media massa, meskipun tidak semuanya yang sepenuhnya benar.[108] Kelvin MacKenzie, editor surat kabar The Sun, berkata kepada stafnya: "Terbitkan edisi Minggu dan Senin tentang keluarga kerajaan. Jangan cemaskan apakah berita itu benar atau tidak, asalkan tidak menimbulkan keributan setelah dimuat."[109] Editor surat kabar Donald Trelford menulis dalam The Observer pada tanggal 21 September 1986: "Opera sabun kerajaan telah mencapai titik jenuh perhatian publik. Batas antara fakta dan fiksi tidak bisa lagi ditentukan ... beberapa surat kabar bukan hanya tidak memeriksa fakta-fakta sebelum dipublikasikan, namun mereka sama sekali tidak peduli apakah berita itu benar atau tidak."[110] The Sunday Times melaporkan pada tanggal 20 Juli 1986 bahwa Ratu mengkhawatirkan kebijakan ekonomi Perdana Menteri Margaret Thatcher akan memupuk perpecahan sosial mengingat tingginya angka pengangguran, terjadinya serangkaian kerusuhan, pemogokan para penambang, dan penolakan Thatcher untuk menerapkan sanksi terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan. Rumor tersebut juga mengabarkan bahwa berita tersebut bersumber dari seorang pembantu kerajaan dan sekretaris Persemakmuran, Michael Shea dan Shridath Ramphal, namun Shea membantah tuduhan tersebut.[111] Thatcher konon juga mengatakan bahwa Ratu akan memberikan suaranya pada Partai Sosial Demokratik, yang merupakan lawan politik Thatcher.[112] John Campbell, Penulis biografi Thatcher mengungkapkan bahwa "laporan itu cuma merupakan sepotong kenakalan jurnalistik".[113] Menanggapi laporan negatif mengenai hubungannya dengan Ratu, Thatcher kemudian mengungkapkan kegaguman pribadinya pada Ratu.[114] Setelah Thatcher digantikan oleh John Major, Ratu Elizabeth memberikan dua penghargaan untuk Thatcher, yakni Order of Merit dan Order of the Garter.[115] Mantan Perdana Menteri Kanada, Brian Mulroney, mengungkapkan bahwa Ratu Elizabeth merupakan "pihak di belakang layar" yang mengakhiri apartheid di Afrika Selatan.[116][117] Pada tahun 1987, di depan publik Kanada, Ratu Elizabeth menyampaikan dukungannya terhadap pemisahan politik Kanada dari Britania Raya. Tindakannya ini memicu berbagai kritik dari para penentang amendemen konstitusi, termasuk Pierre Trudeau.[116] Pada tahun yang sama, Pemerintah Fiji yang terpilih digulingkan dalam kudeta militer. Elizabeth, sebagai Ratu Fiji, mendukung upaya Gubernur-Jenderal Penaia Ganilau untuk menegaskan kekuasaan eksekutif dan menegosiasikan upaya penyelesaian. Pemimpin kudeta Sitiveni Rabuka kemudian berhasil menggulingkan Ganilau dan mendirikan Republik Fiji.[118] Pada awal 1991, para republikan di Britania Raya dibuat panas dengan munculnya laporan media mengenai kekayaan pribadi Ratu yang bertentangan dengan laporan dari istana, serta adanya rumor mengenai skandal pernikahan yang terjadi di lingkungan keluarga kerajaan.[119] Keikutsertaan beberapa keluarga kerajaan dalam acara amal televisi yang berjudul It's a Royal Knockout juga dicibir oleh aktivis pro-republik,[120] dan Ratu menjadi sasaran dari sindiran mereka.[121] 1990-anPada tahun 1991, setelah kemenangan dalam Perang Teluk, Ratu menjadi pemimpin monarki Britania pertama yang berbicara dalam Kongres Amerika Serikat.[122] Dalam pidatonya pada tanggal 24 November 1992 saat peringatan ulang tahun ke-40 takhtanya, Ratu menyebut tahun 1992 sebagai tahun "annus horribilis", atau "tahun yang mengerikan" untuknya;[123] pada bulan Maret, putra keduanya, Pangeran Andrew, bercerai dengan istrinya, Sarah, Duchess of York. Sebulan kemudian, putrinya, Anne, juga bercerai dengan suaminya, Kapten Mark Phillips.[124] Saat Ratu melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman pada bulan Oktober, para demonstran yang marah di Dresden melemparkan telur busuk padanya,[125] dan pada bulan November, Istana Windsor mengalami kerusakan parah setelah terbakar hebat. Kerajaan semakin sering dikritik dan pengawasan publik pada Kerajaan juga semakin meningkat.[126] Dalam salah satu pidato pribadinya, Ratu menyatakan bahwa lembaga apapun pasti mengharapkan kritik, namun disarankan bahwa kritik itu dilontarkan dengan "sedikit sentuhan humor, kelembutan, dan bisa dipahami".[127] Dua hari kemudian, Perdana Menteri John Major mengumumkan mengenai reformasi keuangan kerajaan yang telah direncanakan sejak tahun 1992. Reformasi itu termasuk kebijakan baru yang mengharuskan bahwa mulai tahun 1993, Ratu wajib membayar pajak penghasilan untuk pertama kalinya.[128] Pada bulan Desember, Pangeran Charles secara resmi berpisah dengan istrinya, Putri Diana.[129] Di penghujung tahun, Ratu menggugat surat kabar The Sun atas tuduhan pelanggaran hak cipta karena mempublikasikan pesan Natal tahunan Ratu dua hari sebelum disiarkan. Surat kabar itu dipaksa untuk membayar denda dan menyumbang sebesar £ 200.000 untuk amal.[130] Pada tahun-tahun berikutnya, minat publik terhadap kehidupan rumah tangga Charles dan Diana meningkat.[131] Meskipun dukungan untuk republikan di Britania Raya meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dukungan untuk Ratu masih lebih tinggi dibanding dukungan untuk republikan.[132] Kritik terhadap keluarga kerajaan terutama sekali difokuskan pada sikap dan tindakan para anggota keluarga kerajaan.[133] Setelah berkonsultasi dengan Uskup Agung Canterburry, sekretaris pribadi, serta suaminya, Ratu menulis surat kepada Charles dan Diana pada akhir Desember 1995 yang menyatakan bahwa ia menyetujui perceraian mereka.[134] Setahun setelah perceraian mereka pada tahun 1996, Putri Diana tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di Paris pada tanggal 31 Agustus 1997. Pada saat itu, Ratu sedang berlibur bersama anak dan cucu-cucunya di Istana Balmoral. Ratu terakhir kali tampil di depan publik saat menemani kedua putra Diana mengikuti pelayanan gereja pada pagi terjadinya kecelakaan.[135] Setelah itu, selama lima hari berikutnya, Ratu dan Pangeran Philip berusaha melindungi kedua cucunya dari incaran media dengan memindahkan mereka berdua ke Istana Balmoral, di sana mereka bisa berduka secara pribadi.[136] Namun menghilangnya keluarga kerajaan dan tidak dikibarkannya bendera setengah tiang pasca kecelakaan Diana menyebabkan munculnya kecurigaan publik.[117][137] Karena semakin ditekan, Ratu pada akhirnya setuju untuk memberikan pernyataan langsung dan kemudian ia kembali ke London untuk melakukan jumpa media pada tanggal 5 September, sehari sebelum pemakaman Diana.[138] Dalam pernyataannya, Ratu menyatakan kekagumannya pada Diana dan juga mengungkapkan perasaan dan kewajibannya "sebagai nenek" dari William dan Harry.[139] Sebagai hasilnya, kecurigaan publik terhadap kerajaan perlahan-perlahan mulai menguap.[139] Yubileum EmasPada tahun 2002, Ratu Elizabeth memasuki 50 tahun masa pemerintahannya sejak naik takhta pada tahun 1952 (Yubileum Emas). Adik dan ibunya meninggal dunia pada Februari dan Maret, dan media berspekulasi mengenai ancaman kegagalan dalam perayaan Yubileumnya.[140] Ratu kembali melakukan berbagai kunjungan ke Alam Persemakmurannya, yang dimulai dengan mengunjungi Jamaika pada bulan Februari.[141] Seperti pada tahun 1977, dalam kunjungannya Ratu kembali disambut oleh berbagai perayaan, pesta jalanan, dan pendirian berbagai monumen untuk menghormati kedatangannya. Lebih dari sejuta orang menghadiri perayaan Yubileum Emas Ratu Elizabeth di London,[142] dan tingginya antusiasme yang ditunjukkan oleh masyarakat membuktikan bahwa spekulasi media tidak menjadi kenyataan.[143] Meskipun secara umum Ratu terlihat sehat sepanjang hidupnya, pada tahun 2003 ia menjalani operasi laparoskopik pada kedua lututnya. Pada bulan Oktober 2006, Ratu melewatkan pembukaan Stadion Emirates karena mengalami kejang otot punggung yang telah diidapnya sejak musim panas.[144] Dua bulan kemudian, Ratu terlihat tampil di depan umum dengan perban di tangan kanannya, yang menimbulkan spekulasi kalau Ratu sedang sakit.[145] Ratu juga pernah digigit oleh seekor anjing corgi saat memisahkan dua ekor anjing yang sedang berkelahi.[146] Pada bulan Mei 2007, surat kabar The Daily Telegraph melaporkan klaim dari sumber yang tidak disebutkan namanya bahwa Ratu merasa "jengkel dan frustrasi" dengan kebijakan Perdana Menteri Tony Blair. Menurut laporan surat kabar itu, Ratu menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Britania Raya yang dikirim ke Irak dan Afghanistan sudah berlebihan, masalah kebijakan perdesaan Blair juga dikhawatirkan oleh Ratu.[147] Meskipun demikian, Ratu tetap mengagumi upaya Blair untuk mewujudkan perdamaian di Irlandia Utara.[148] Pada tanggal 20 Maret 2008, bertempat di Gereja Irlandia Katedral St Patrick, Ratu menghadiri layanan Maundy pertama yang diikutinya di luar Inggris dan Wales.[149] Pada bulan Mei 2011, atas undangan dari Presiden Irlandia Mary McAleese, Ratu mengadakan kunjungan kenegaraan ke Republik Irlandia. Kunjungan ini merupakan kunjungan pertama yang dilakukan oleh monarki Britania Raya ke Republik Irlandia setelah negara itu memisahkan diri pada tahun 1922.[150] Ratu berpidato dalam Sidang Umum PBB untuk kedua kalinya pada tahun 2010, sekali lagi dalam kapasitasnya sebagai ratu dari semua Alam Persemakmurannya.[151] Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyebut dirinya sebagai "jangkar bagi zaman kita".[152] Dalam kunjungannya ke New York pada tahun 2010, Ratu meresmikan pembukaan taman peringatan untuk warga negara Britania yang menjadi korban serangan 11 September 2001.[152] Ratu mengunjungi Australia pada bulan Oktober 2011, yang merupakan kunjungannya yang ke-16 sejak tahun 1954. Dalam pernyataannya pada media, Ratu menyebut kunjungannya saat itu sebagai "kunjungan perpisahan", karena usianya yang semakin lanjut.[153] Yubileum Berlian dan SafirYubileum Berlian Ratu Elizabeth pada tahun 2012 menandai 60 tahun masa jabatannya sebagai ratu. Berbagai perayaan dilangsungkan di Britania Raya dan seluruh Persemakmuran. Dalam sebuah pesan yang dirilis pada Hari Aksesi, dia menyatakan: "Dalam tahun istimewa ini, saya sekali lagi mendedikasikan diri saya untuk melayani Anda, saya berharap kita semua masih ingat akan kekuatan dari kebersamaan dan kekeluargaan, persahabatan dan keramahtamahan ... saya juga berharap bahwa Yubileum tahun ini akan menjadi waktu untuk mensyukuri atas kemajuan besar yang telah dibuat sejak tahun 1952 dan menatap masa depan dengan kepala jernih dan hati yang hangat".[154] Ratu dan suaminya melakukan tur panjang ke seantero Britania Raya, sedangkan anak dan cucunya memulai kunjungan kenegaraan ke berbagai Negara-Negara Persemakmuran atas nama Ratu.[155][156][157] Pada tanggal 4 Juni, suar Yubileum dinyalakan di berbagai penjuru dunia.[158] Ratu Elizabeth adalah penguasa monarki yang hidupnya paling lama dan dengan masa kekuasaan terpanjang dalam sejarah monarki Britania Raya.[159] Selain itu, Ratu juga merupakan kepala negara dengan masa jabatan terlama di dunia saat ini (setelah kematian Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand).[160][161] Dia tidak berniat untuk turun takhta,[162] meskipun proporsi tugas publik yang dilakukan oleh Pangeran Charles dan Pangeran William semakin meningkat seiring dengan usia dan kondisi kesehatan Ratu.[163] Ratu Elizabeth membuka Olimpiade Musim Panas 2012 pada tanggal 27 Juli dan Paralimpiade pada tanggal 29 Agustus 2012 di London. Dia memerankan dirinya sendiri dalam sebuah film pendek sebagai bagian dari rangkaian upacara pembukaan Olimpiade bersama aktor Daniel Craig, yang memerankan James Bond.[164] Sebelumnya, ayahnya membuka Olimpiade London 1948 dan kakek buyutnya, Edward VII, membuka Olimpiade London 1908. Ratu Elizabeth juga membuka Olimpiade Musim Panas 1976 di Montreal dan Pangeran Philip juga pernah membuka Olimpiade Musim Panas 1956 di Melbourne.[165] Dia adalah kepala negara pertama yang membuka dua penyelenggaraan Olimpiade di dua negara yang berbeda.[166] Pada bulan Agustus dan September 2012, citra kerajaan lagi-lagi ternoda dengan dipublikasikannya foto-foto vulgar cucu Ratu Elizabeth, Pangeran Harry, oleh salah satu media Amerika Serikat, serta foto-foto berlibur Catherine, Duchess of Cambridge oleh media Prancis. Menanggapi munculnya foto-foto tersebut, salah satu sumber kerajaan menyatakan bahwa "Ratu sangat marah. Dia sangat menginginkan hal semacam ini takkan pernah terjadi lagi".[167] Selain itu, terkait dengan foto-foto Duchess, Ratu sangat mendukung keputusan Pangeran William untuk menyeret fotografer dan pihak yang terlibat ke dalam proses hukum.[168] Pada 4 April 2013, ia meraih BAFTA kehormatan atas perlindungannya terhadap industri film dan disebut "Bond girl paling diingat" di acara penghargaan tersebut.[169] Pada 3 Maret 2013, Elizabeth dilarikan ke King Edward VII's Hospital karena mengalami gastroenteritis. Ia kembali ke Istana Buckingham pada keesokan harinya.[170] Sepekan kemudian, ia menandatangani Piagam Persemakmuran baru.[171] Karena usianya dan ia perlu membatasi perjalanannya, pada 2013, ia memutuskan untuk tak menghadiri Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran dwi-tahunan untuk pertama kalinya dalam 40 tahun. Ia diwakili dalam KTT di Sri Lanka tersebut oleh putranya, Pangeran Charles.[172] Rencana untuk kematian dan pemakamannya secara khusus disiapkan oleh sebagian besar organisasi media dan pemerintah Inggris sepanjang berdekade-dekade.[173] Yubileum PlatinumYubileum Platinum Elizabeth dimulai pada 6 Februari 2022, menandai 70 tahun sejak dia naik takhta setelah kematian ayahnya. Menjelang tanggal tersebut, dia mengadakan resepsi di Sandringham House untuk para pensiunan, anggota Women's Institute setempat, dan sukarelawan amal.[174] Dalam pesan hari aksesinya, Elizabeth memperbarui komitmennya untuk pelayanan publik seumur hidup, yang awalnya dia buat pada tahun 1947.[175] KematianPada 8 September 2022, Istana Buckingham merilis pernyataan yang berbunyi: "Menyusul evaluasi lebih lanjut pagi ini, para dokter Ratu mengkhawatirkan kesehatan Yang Mulia dan telah merekomendasikan dia untuk tetap berada di bawah pengawasan medis. Ratu tetap nyaman dan berada di Balmoral."[176] Keluarga dekat Elizabeth bergegas ke Balmoral untuk berada di sisinya.[177] Dia meninggal "dengan damai" pada 15:10 BST pada usia 96, dengan dua anaknya, Charles dan Anne di sisinya.[178][179] Kematiannya diumumkan kepada publik pada 18:30,[180] memulai Operasi London Bridge dan, karena dia meninggal di Skotlandia, Operasi Unicorn.[181] Elizabeth adalah monarki pertama yang meninggal di Skotlandia sejak James V pada tahun 1542.[182] Penyebab kematiannya tercatat sebagai "usia tua".[178] Penerimaan publik dan karakterKarena Ratu Elizabeth jarang memberikan wawancara, sedikit yang diketahui mengenai kepribadiannya. Sebagai pemimpin dari Monarki Konstitusional, dia tidak mengungkapkan pendapat politiknya di depan publik. Ratu memiliki kepercayaan yang kuat terhadap agamanya dan memenuhi sumpah penobatannya dengan sungguh-sungguh.[183] Selain menganut sekaligus menjabat sebagai Gubernur Agung Gereja Inggris, Ratu secara pribadi juga menjadi pengikut dari Gereja Skotlandia.[184] Dia sangat mendukung dialog lintas agama dan telah bertemu dengan para pemimpin gereja dan agama lain, termasuk tiga paus: Yohanes XXIII, Yohanes Paulus II, dan Benediktus XVI. Catatan pribadi mengenai keyakinannya sering ditampilkan dalam Pesan Natal Kerajaan tahunan yang disiarkan ke seluruh Persemakmuran, seperti dalam pesan natalnya pada tahun 2000, saat ia berbicara mengenai makna teologi dari milenium yang menendai ulang tahun Yesus Kristus ke-2000. Ratu Elizabeth adalah pelindung lebih dari 600 organisasi dan badan amal.[185] Kegiatannya pada waktu senggang termasuk menunggang kuda dan memelihara anjing, khususnya anjing ras Pembroke Welsh Corgi.[186] Kecintaannya terhadap corgi dimulai pada tahun 1933 dengan seekor anjing bernama Dookie, corgi pertama yang dipelihara oleh keluarganya.[187][188] Menurut seorang sumber dalam kerajaan, Elizabeth dan keluarganya dari waktu ke waktu menyiapkan makanan bersama-sama dan langsung mencucinya setelah itu.[189] Pada tahun 1950, sebagai seorang wanita muda pada awal pemerintahannya, Elizabeth digambarkan sebagai "Ratu negeri dongeng" yang glamor.[190] Pasca-perang dunia yang merupakan masa-masa penuh harapan, publik menggambarkan pemerintahan Elizabeth sebagai "era Elizabethan baru" (merujuk pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I).[191] Pada tahun 1957, Lord Altrincham mengkritik pidato Elizabeth seperti pidato seorang "anak sekolahan.[192] Pada akhir 1960-an, ia mencoba membawa citra kerajaan menjadi lebih modern dengan merilis sebuah film dokumenter berjudul Royal Family dan menyiarkan upacara penobatan Charles sebagai Pangeran Wales melalui media televisi.[193] Ratu Elizabeth dikenal sering tampil di depan publik dengan mengenakan mantel berwarna cerah dan topi yang dekoratif, yang memungkinkan ia bisa dilihat dengan mudah dalam kerumunan massa.[194] Saat peringatan Yubileum Perak-nya pada tahun 1977, berbagai kerumunan dan perayaan berlangsung dengan sangat antusias,[195] namun saat kritik publik terhadap keluarga kerajaan meningkat pada tahun 1980, kehidupan pribadi dan kinerja putra-putri Elizabeth berada di bawah pengawasan media.[196] Popularitas Elizabeth jatuh ke titik terendah pada tahun 1990-an. Di bawah tekanan dari media dan publik, ia mulai membayar pajak penghasilan untuk pertama kalinya dan Istana Buckingham mulai dibuka untuk umum.[197] Ketidakpuasan publik terhadap kerajaan mencapai puncaknya pasca kematian Putri Diana pada tahun 1997. Popularitas Elizabeth dan dukungan untuk kerajaan kembali meningkat setelah dia melakukan siaran langsung ke seluruh dunia lima hari setelah kematian Diana.[198] Pada bulan November 1999, hasil referendum di Australia untuk menentukan masa depan monarki Australia menunjukkan bahwa Elizabeth tetap disukai dan didukung untuk menjadi kepala negara.[199] Hasil poling di Britania Raya pada tahun 2006 dan 2007 juga menunjukkan bahwa dukungan untuk Elizabeth masih tinggi.[200] Hasil jajak pendapat di Tuvalu pada tahun 2008 dan di Saint Vincent dan Grenadines pada tahun 2009 juga menunjukkan hasil yang sama.[201] KeuanganKekayaan pribadi Ratu Elizabeth telah menjadi subyek spekulasi media selama bertahun-tahun. Majalah Forbes memperkirakan bahwa kekayaan bersih Ratu berjumlah sekitar US $ 450 juta pada tahun 2010,[202] namun pihak Istana Buckingham menyatakan bahwa jumlah kekayaan Ratu yang sebesar £ 100 juta itu "terlalu dilebih-lebihkan".[203] Jock Colville, mantan sekretaris pribadinya dan direktur dari bank kerajaan memperkirakan bahwa jumlah kekayaan Ratu pada tahun 1971 sebesar £ 2 juta (setara dengan sekitar £28 juta saat ini[204]).[205][206] Koleksi kerajaan, yang meliputi karya seni dan Mahkota Kerajaan, tidak dimiliki oleh Ratu secara pribadi dan kepemilikannya diatur di bawah ketentuan Undang-Undang Amanah.[207] Properti lainnya yang kepemilikannya sama termasuk istana-istana seperti Istana Buckingham dan Kastel Windsor,[208] dan tanah Adipati Lancaster, serta portofolio properti senilai £ 383 juta pada tahun 2011.[209] Sedangkan Sandringham House dan Istana Balmoral dimiliki secara pribadi oleh Ratu.[208] Properti dan perabotan Kerajaan – dengan kepemilikan sebesar £ 7,3 miliar pada tahun 2011[210] – dimiliki oleh negara dan Ratu tidak diperkenankan untuk menjual atau memilikinya secara pribadi.[211] Gelar dan lambangGelar
Elizabeth telah memegang dan dianugerahi banyak gelar dan posisi militer kehormatan di seluruh Persemakmuran dan dari seluruh dunia. Secara resmi, dia memiliki gelar yang berbeda di setiap Alam Persemakmuran nya: Ratu Kanada di Kanada, Ratu Australia di Australia, dan lain sebagainya. Di Kepulauan Channel dan Isle of Man, yang merupakan Dependensi Mahkota Britania Raya, Ratu Elizabeth dikenal sebagai Adipati Normandia dan Lord of Mann. Gelar lainnya termasuk "Defender of the Faith" dan Adipati Lancaster. Ketika sedang berbicara dengan Ratu, kebanyakan orang umumnya menggunakan panggilan Your Majesty (Baginda) untuk pertama kalinya, dan kemudian boleh memanggilnya Ma'am.[212] LambangDari tanggal 21 April 1944, lambang resmi untuk Elizabeth berbentuk sebuah belah ketupat yang meniru desain Lambang Britania Raya, dibedakan oleh tiga label di dalamnya yang menampilkan mawar Tudor ditengahnya dan salib St. George di kedua sisinya.[213] Setelah naik takhta, dia masih menggunakan lambang yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan lambang sebelumnya. Desain perisai juga digunakan dalam Bendera Kerajaan Britania Raya. Elizabeth memiliki bendera pribadi untuk dipergunakan di Kanada, Selandia Baru, Australia, Jamaika, Barbados, dan di negara-negara lainnya.[214]
Anak
Silsilah
Lihat pulaCatatan
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
Gelar dan penerus
|