Eksplorasi Sulawesi Tengah
Ekplorasi Sulawesi Tengah (bahasa Inggris: Central Sulawesi explorations), adalah serangkaian proses ekspedisi dan penjelajahan yang dilakukan oleh para peneliti dan penjelajah luar dari Eropa di wilayah Sulawesi bagian tengah. Hingga akhir milenium, wilayah desa di pegunungan luas yang sempurna di bagian barat laut Sulawesi Tengah masih tidak dapat diketahui, dan hanya dengan desas-desus yang didengar oleh para peneliti, bahwa daerah tersebut dihuni oleh para "pemburu kepala [pengayau] yang kejam". Misionaris Belanda, Albertus Christiaan Kruyt dan ahli bahasa Nicolaus Adriani adalah orang-orang pertama yang menjelajahi wilayah ini, disusul oleh para penjelajah lainnya dalam beberapa tahun sesudahnya.[1] Latar belakangBagian timur Sulawesi Tengah adalah wilayah pertama yang dikenal orang-orang Eropa. Di pertengahan abad ke-19, militer dan pemerintah sipil telah "menjelaskan" pertanyaan orang awam tentang bagian ini, tetapi baru pada periode 1890-an distrik-distrik di wilayah timur secara sistematis dipelajari. Di bagian barat Sulawesi Tengah, yang jauh lebih sulit ditembus, penduduk pribumi hidup tanpa gangguan di desa pegunungan mereka. Catatan paling awal tentang Sulawesi bagian tengah dimuat oleh François Valentijn dalam karya besarnya, "Oud en Nieuw Oost-Indien" volume pertama, yang menyebutkan nama-nama sejumlah besar desa, anak sungai dan para raja dari Tabali.[2][3] Valentijn menambahkan, di antara semuanya ada lima desa/distrik yang dikatakan terletak di dataran tinggi. Salah satunya adalah Lindoe, Plolo (kemungkinan besar Palolo), Koelawi dan beberapa distrik pegunungan lain selatan Lembah Palu yang kelihatannya asing baginya.[4] Sementara di selatan wilayah Poso, disebutkan nama-nama seperti Ontondano dan Tonappo, yang sebenarnya dikenal dengan nama Ondae dan Napu.[5] PenjelajahanDua misionaris, Kruyt dan Adriani memulai pekerjaan ini, dan beberapa tahun kemudian, sepasang peneliti dan naturalis Swiss, Paul dan Fritz Sarasin melakukan perjalanan di berbagai wilayah Sulawesi. Sementara di bagian barat Sulawesi Tengah, orang-orang Eropa pertama yang berani mengunjungi wilayah tersebut adalah Kruyt dan Adriani pada tahun 1896. Dalam rangka untuk mengunjungi penduduk asli Napu—suku pemburu kepala yang paling ditakuti di seantero Sulawesi Tengah, mereka berdua pergi bertemu dengan Raja Sigi—yang merupakan tuan dari orang-orang suku Napu—di Lembah Palu untuk meminta izin. Pada akhirnya, mereka diberikan izin untuk pergi ke Napu melalui Lindu. Mereka tiba dengan selamat di Kulawi dan kemudian di Lindu, tetapi tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Napu, karena adanya permusuhan antara penduduk asli di Lindu dengan orang-orang Napu. Tidak ada yang dapat dilakukan selain kembali dengan cara yang sama seperti cara mereka datang.[6] Pada tahun 1902, wilayah ini sekali lagi dikunjungi oleh orang Eropa. Pada saat itu, dua peneliti Swiss, Paul dan Fritz Sarasin memulai perjalanan mereka di pegunungan Sulawesi dari Palu di utara ke Palopo di selatan. Selama perjalanan ini mereka mampu memetakan perairan di sepanjang perjalanan mereka—yang di kemudian hari dikenal sebagai Garis Sarasin, serta memperbaiki arah pegunungan yang selama ini salah dipetakan. Mereka tercatat sebagai orang Eropa pertama yang mengunjungi Distrik Gimpu, Bada, dan Leboni.[6] Beberapa tahun kemudian, wilayah ini mulai dibuka oleh pasukan kolonial Belanda. Pada akhir tahun 1905, mereka memulai ekspedisi dari Kulawi dan Lindu, dan dalam lima tahun kemudian desa dan distrik pegunungan lainnya sudah harus tunduk kepada Pemerintah Belanda. Wilayah ini kemudian semakin sering dikunjungi oleh orang-orang Eropa, perwira Belanda yang dikawal patroli tentara asli daerah tersebut, pejabat sipil setempat (kebanyakan dari Palu dan Poso), serta para misionaris yang akan menyebarkan agama Kristen. Kruyt adalah salah satu orang Eropa pertama yang menuju ke arah Napu ketika wilayah itu telah dibuka oleh pasukan. Dari Napu, ia melanjutkan perjalanan ke Behoa dan Bada. Kemudian, dua misionaris tambahan dari Belanda, Pieter Schuyt dan P. Ten Kate didatangkan untuk bekerja di antara penduduk asli Napu.[7] Di antara petugas dan pejabat Belanda yang ditempatkan di barat laut Sulawesi Tengah, terdapat nama-nama seperti Kiliaan, Hissink, dan Kapten Boonstra van Heerdt. Kiliaan secara khusus mempelajari wilayah Napu, terutama Behoa. Hissink mempelajari desa-desa sekitar Lembah Palu, juga para penduduk yang tinggal di bagian selatan dari lembah sejauh desa di tepi Sungai Koro. Sementara untuk pemetaan desa-desa di sekeliling Sungai Palu dan Koro telah banyak dilakukan oleh G. Boonstra van Heerdt. Dari bulan September 1910 hingga Februari 1912, ia menjelajahi wilayah ini hampir dari segala arah.[8] Sangat sedikit naturalis yang mengunjungi daerah pegunungan. Ahli geologi Belanda, E. C. Abendanon melakukan penelitian di Sulawesi Tengah pada tahun 1909 hingga 1910. Ia memulai penelitian dari selatan dan pergi ke arah utara hingga Distrik Bada, dan kemudian berbalik ke barat mengikuti tepi kanan sungai Koro-Lariang ke muara sungai hingga ke Selat Makassar. Ia juga melakukan perjalanan yang tergolong cepat dari Palu hingga ke Kulawi.[6] Pada tahun 1911, seorang profesor Jerman bernama Albert Grubauer mulai menjelajahi Sulawesi Tengah. Perjalanan yang paling penting yang dilakukannya adalah dari Poso melalui Napu dan Behoa ke Bada. Dari wilayah ini, dia mengikuti lembah Belanta-Koro menuju Gimpu, dan selanjutnya pergi melalui Kulawi dan Lindu untuk tiba di Palu. Tak lama sebelum memulai perjalanan ini, ia melintasi bagian timur Sulawesi Tengah, setelah pertama kali mengunjungi distrik Rampi dan Leboni, di bagian selatan anak Sungai Koro.[8] Dua tahun kemudian, pada tahun 1913, Bala Keselamatan membuka misi di Kulawi. Manajer pertamanya—orang Belanda bernama J. Loois—telah diberikan tugas untuk melakukan studi bahasa asli Kulawi, yang disebut Moma.[a] Misi lain dibuka oleh Bala Keselamatan di Kantewu pada tahun 1918. Misionaris pertama adalah orang Inggris bernama James Woodward yang telah mempelajari budaya asli, terutama bahasa Uma.[9] Peneliti berikutnya setelah Grubauer yang mengunjungi desa-desa pegunungan di bagian utara dan barat adalah peneliti Amerika Serikat, Harry C. Raven, yang meneliti fauna dan megalitik yang tersebar di Lindu, Kulawi, Gimpu, Bada, dan Behoa.[10] DampakPembangunan yang begitu cepat, menyisakan sangat sedikit yang tersisa dari budaya asli. Desa dan kuil-kuil kafir telah diratakan dengan tanah, dan desa-desa baru telah dibangun dengan prinsip modern. Gaun tua, senjata, perhiasan, hari-hari raya kafir, dan berbagai benda dari kebudayaan lampau diubah dan digantikan dengan yang baru.[11] Catatan
Referensi
Daftar pustaka
|