Ekspedisi Utsmaniyah ke AcehEkspedisi Utsmaniyah ke Aceh dimulai sekitar tahun 1565 ketika Kesultanan Utsmaniyah berusaha mendukung Kesultanan Aceh dalam pertempurannya melawan Portugis di Malaka.[1][2] Ekspedisi dilancarkan setelah dikirimnya duta oleh Sultan Alauddin al-Qahhar (1539–1571) kepada Suleiman Agung pada tahun 1564, dan kemungkinan seawal tahun 1562,[3] meminta dukungan Turki terhadap Portugis.[4] Persekutuan Aceh-Turki Utsmani secara tak resmi sudah ada sejak tahun 1530-an.[3] Sultan Alauddin al-Qahhar berkeinginan mengembangkan hubungan tersebut, untuk mencoba mengusir Portugis dari Malaka, dan memperluas kekuasaannya di Sumatra.[3] Menurut catatan yang ditulis oleh penjelajah Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Kesultanan Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari 300 orang dari Utsmaniyah (Termasuk orang Mesir), Swahili, Somalia dari Mogadishu dan berbagai negara kota, orang Sindhi dari kota Debal dan Thatta, orang Gujarat dari Surat, dan sekitar 200 pelaut Malabar dari Janjira untuk membantu merebut wilayah "Batak"[5] dan Asia Tenggara Maritim pada tahun 1539.[3][6] Setelah tahun 1562, Aceh tampaknya sudah menerima bala bantuan Turki yang memungkinkannya menaklukkan Kerajaan Aru dan Johor pada tahun 1564.[3] Pengiriman duta ke Istanbul pada tahun 1564 dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Syah.[3] Dalam suratnya kepada Porte Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai Khalifah (penguasa) Islam.[3] Setelah mangkatnya Suleiman pada tahun 1566, anandanya Selim II memerintahkan pengiriman armada ke Aceh.[3] Sejumlah prajurit, pembuat senjata, dan insinyur diangkut oleh armada tersebut, bersama dengan pasokan senjata dan amunisi yang melimpah.[1] Armada pertama terdiri atas 15 galai yang dilengkapi dengan artileri, tetapi dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman.[3][7] Akhirnya, hanya 2 kapal yang tiba antara tahun 1566–1567, tetapi sejumlah armada dan kapal lain menyusul.[1] Ekspedisi itu dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Reis. Orang Aceh membayar kapal tersebut dengan mutiara, berlian, dan rubi.[8] Pada tahun 1568, Aceh menyerang Malaka, meskipun Turki tak tampak ikut serta secara langsung.[3] Usmaniyah mengajari Aceh bagaimana membuat meriam, yang pada akhirnya banyak diproduksi.[1] Dari awal abad ke-17, Aceh dapat berbangga akan meriam perunggu ukuran sedang, dan sekitar 800 senjata lain seperti senapan putar bergagang dan arquebus.[1] Ekspedisi tersebut menyebabkan berkembangnya pertukaran antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani dalam bidang militer, perdagangan, budaya, dan keagamaan.[9] Penguasa Aceh berikutnya meneruskan pertukaran dengan Kesultanan Utsmaniyah, dan kapal-kapal Aceh diizinkan mengibarkan bendera Utsmaniyah.[3] Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani menjadi ancaman besar bagi Portugis dan mencegah mereka mendirikan kedudukan dagang monopolistik di Samudra Hindia.[8] Aceh merupakan saingan dagang utama Portugis, kemungkinan mengendalikan perdagangan rempah-rempah lebih banyak daripada Portugis, dan Portugis mencoba menghancurkan sumbu perdagangan Aceh-Turki-Venesia untuk keuntungan sendiri. Portugis berencana menyerang Laut Merah dan Aceh, tetapi gagal karena kurangnya tenaga manusia di Lautan Hindia.[8] Ketika diserang oleh Belanda pada tahun 1873, Aceh meminta perlindungan dengan persetujuannya yang sudah lebih dulu tercapai dengan Kesultanan Usmaniyah sebagai salah satu dependensinya, tetapi klaim itu ditolak oleh kuasa Barat yang takut bila kejadian masa lalu terulang.[10] Armada yang dipersiapkan untuk membantu Aceh sendiri pada akhirnya dialihkan untuk menumpas pemberontakan Zaidiyah di wilayah Yaman. Lihat jugaCatatan
|