Ekspedisi Madewa


Ekspedisi Madewa
SutradaraFranklin Darmadi
ProduserPhilip Korompis
Ditulis olehMichael Tjandramulya
Pemeran
Perusahaan
produksi
DistributorSurya Citra Pictures
Tanggal rilis
9 Maret 2006
Durasi97 menit
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
AnggaranRp. 6 miliar ($700,000)

Ekspedisi Madewa adalah film petualangan Indonesia yang diproduksi pada tahun 2006. Film yang disutradari oleh Franklin Darmadi ini dibintangi antara lain oleh Tora Sudiro, Frans Tumbuan, Intan Kaunang, dan Indra Birowo.

Sinopsis

Film ini menceritakan tentang pengalaman seorang Ahli Ekspedisi muda bernama Tiro Mandawa (Tora Sudiro) yang tanpa sengaja menemukan sebuah artefak kuno misterius saat sedang memandu sebuah misi penggalian purbakala. Tanpa disengaja, penemuan Tiro itu akan mengakibatkan berbagai rangkaian kejadian yang nantinya mengarah pada sebuah petualangan terbesar dalam hidupnya. Artefak itu dipercaya sebagai sebuah potongan terakhir dari sebuah prasasti kuno yang berkaitan dengan seuntai cerita rakyat kuno Indonesia. Sebuah legenda yang tersurat secara turun-temurun, dari mulut ke mulut jauh sebelum masa kita di bumi pertiwi ini. Sebuah legenda tentang kebaikan dan kejahatan.

Seorang profesor ahli sejarah dan peradaban kuno, Prof. Kuncoro (Frans Tumbuan) percaya bahwa artefak kuno itu adalah kunci lokasi keberadaan sebuah benda peninggalan kuno yang mewakili metafora upaya umat manusia dalam usahanya menemukan kekuatan yang sangat dahsyat, yang tidak akan pernah habis. Sebuah kekuatan misterius yang apabila berada dalam genggaman seseorang yang murni hatinya, akan membawa kedamaian dan ketenteraman bagi seluruh umat manusia sepanjang zaman. Namun apabila jatuh ke cengkeraman tangan seorang manusia yang jahat dan kejam, akan membawa kehancuran, malapetaka dan kematian.

Sebuah perusahaan konglomerat raksasa bernama Madewa Group, pimpinan Adinoto MaSatrio (Arie Dagienkz), seorang wanita kepala staf khusus Madewa Group bernama Miranda (Intan Kaunang), juga beserta Prof. Kuncoro dan dua orang anaknya Sandhika (Marsha Timothy) dan Panji (Irshadi Bagas) lalu memulai sebuah misi ekspedisi untuk menguak misteri kebenaran kisah legenda tersebut. Keberhasilan misi ekspedisi diperumit dengan kemunculan seorang pemburu harta karun bernama Maulana (Indra Birowo) yang ternyata juga mengincar benda peninggalan kuno itu.

Tanpa setahu Tiro, misi ekspedisinya kali ini akan membawanya ke dalam suatu petualangan yang bukan saja akan menjadi sebuah perjalanan demi menentukan nasib bumi Nusantara tercinta, tetapi juga demi memenuhi takdir hidupnya sendiri.

Ekspedisi Madewa adalah sebuah film action-adventure yang menitik-beratkan tema kepahlawanan modern yang cukup sederhana dan gampang dicerna oleh penonton segala umur namun penuh intrik-intrik kejadian dan visualisasi yang bertaraf Box Office skala regional. Dengan berlatar-belakang eksplorasi keindahan flora dan fauna alam Indonesia serta suatu legenda kebudayaan bangsa kita, film ini berusaha mengangkat sebuah ¬genre film yang terus-terang tidak pernah sebelumnya di jamah dan digarap secara kolosal oleh sineas-sineas bangsa kita. Kisah dalam film ini berkisar pada petualangan seorang ahli ekspedisi muda, Tiro Mandawa, sebuah cerita yang terinspirasi dari sebuah komik berjudul Petualangan Tiro Mandawa karangan Michael Tjandramulya, di ilustrasikan oleh Adi Darda Gaudiamo dan di produksi oleh Philip Korompis, yang baru saja diluncurkan pada awal tahun 2006 lalu.

Alkisah, sebuah perang besar terjadi pada awal abad ke-13, di suatu tempat di daerah jawa timur. Pasukan yang paling dominan dipimpin oleh seorang Pangeran (Thomas Joseft) yang memegang sebuah keris pusaka sakti tanpa nama yang sudah sering terdengar dalam cerita-cerita rakyat kecil, sejak dahulu kala. Dengan kekuatan keris itu, Sang Pangeran berhasil mengalahkan dan menguasai kerajaan pasukan musuhnya. Dan dengan berakhirnya perang dahsyat yang dipenuhi pertumpahan darah manusia itu, berakhir pula kisah tentang keris pusaka sakti tanpa nama itu. Seuntai cerita rakyat jelata yang sederhana berubah menjadi suatu misteri legenda yang abadi.

Masa kini. Tiro Mandawa (Tora Sudiro), seorang ahli ekspedisi, bersama seorang asisten kepercayaannya bernama Satrio (Arie Dagienkz), sedang memandu sekelompok ilmuwan menjalani sebuah penggalian fosil purbakala di suatu daerah, di luar kota yogyakarta. Penggalian fosil itu disponsori oleh sebuah perusahaan konglomerat raksasa bernama Madewa Group yang sudah sejak lama sangat tertarik dengan penemuan-penemuan benda-benda kuno, terutama pada akhir-akhir ini. Mereka menggunakan komputer-komputer canggih dengan monitor-monitor plasma teknologi mutakhir. Di areal penggalian fosil itu lalu terjadi insiden perampokan sebuah bongkahan fosil oleh seorang musuh bebuyutan Tiro bernama Maulana (Indra Birowo), yang bekerja sebagai pencari harta karun liar. Tiro mengejar Maulana, tetapi akhirnya gagal mendapatkan kembali barang curian itu. Justru balik Tiro yang dikejar-kejar oleh Maulana yang rupanya membawa senjata api dan menggunakannya untuk mencoba mencelakai Tiro. Saat Tiro melarikan diri dari kejaran Maulana itu, ia terjerumus kedalam sebuah gua bawah tanah. Di dalam gua itu, Tiro menemukan sebuah artefak kuno berbentuk sebuah cakram. Tanpa ia sadari, cakram itu nantinya akan menjadi sebuah penemuan yang sangat penting bagi penelitian seorang profesor ahli sejarah dan prasasti kuno, di Jakarta.

Beberapa hari kemudian, di Jakarta, Profesor Kuncoro (Frans Tumbuan) sedang mengajar di sebuah ruang auditorium universitas yang dipenuhi oleh murid-murid. Profesor Kuncoro adalah seorang ahli sejarah dan prasasti kuno yang sedikit eksentrik. Sudah sejak sembilan tahun yang lalu, profesor Kuncoro terobsesi dengan legenda keris pusaka tanpa nama itu dan terus saja melakukan riset untuk menemukannya. Selama itu, profesor Kuncoro dengan bantuan Madewa Group, sudah berhasil menemukan sebuah bongkah prasasti berbentuk perisai batu yang diduga sangat erat hubungannya dengan peta tempat lokasi penyimpanan keris pusaka itu. Hanya saja sebuah potongan terakhir yang seharusnya terletak di tengah-tengah perisai batu itu belum ditemukan.

Saat profesor Kuncoro sedang terus berceramah, seorang kepala staf khusus Madewa group bernama Miranda (Intan Kaunang) datang dan menginterupsi kegiatannya itu. Miranda memberitahu profesor Kuncoro tentang sebuah penemuan di sebuah lokasi penggalian fosil. Miranda memberitahu bahwa cakram itu sedang dalam perjalanan menuju laboratorium utama di kantor pusat Madewa Group. Maksud Miranda ke situ adalah untuk menjemput sang profesor. Tanpa berpikir panjang, profesor Kuncoro meninggalkan kelasnya dan ikut bersama Miranda.

Tiro dan Satrio sampai di kantor pusat madewa group. Di pintu masuk, mereka bertemu dengan dua anak profesor Kuncoro, Sandhika (Marsha Timothy) yang juga bekerja di lab utama itu sebagai asisten ayahnya dan Panji (Irshadi Bagas), adik laki-lakinya berusia 12 tahun. Bersama-sama mereka disambut oleh Miranda dan menuju lab utama untuk bertemu dengan profesor Kuncoro. Setelah dianalisis dengan baik, rupanya cakram penemuan Tiro itu adalah benar potongan terakhir dari prasasti perisai batu tersebut. Saat Sandhika menganalisis perisai itu dengan sinar laser, terjadi reaksi yang menyebabkan perisai itu terbakar dan timbul tulisan-tulisan berbahasa dhipa, sebuah bahasa dari rumpun bahasa Sanskerta yang sudah punah, pada permukaan perisai itu. Rupanya tulisan-tulisan dhipa itu adalah puisi-puisi yang menunjukan koordinat sebuah lokasi rahasia. Mereka menduga bahwa lokasi itu adalah lokasi tempat penyimpanan keris pusaka tanpa nama tersebut yang letaknya ada di dekat kota palembang, sumatera selatan. Profesor Kuncoro lalu memutuskan untuk melakukan ekspsedisi untuk menemukan letak lokasi rahasia itu. Mereka lalu mengadakan pertemuan dengan direktur utama Madewa Group.

Adinoto Madewa(Pierre Gruno), direktur utama Madewa Group mendukung sepenuhnya rencana ekspedisi sang profesor dan justru terlihat lebih ingin menemukan keris pusaka tersebut daripada siapapun juga dalam ruang pertemuan itu. Mereka lalu melakukan persiapan ekspedisi yang akan kembali di pimpin oleh Tiro. Kisah petualangan mereka dimulai dari sini.

Tanpa setahu Tiro, ekspedisinya kali ini memegang peranan yang sangat vital dalam penentuan takdir Bumi Nusantara Indonesia dan garis hidupnya sendiri.

Cerita di Balik Layar

Pada hari Sabtu tanggal 6 Agustus 2005 lalu, Cinervo Pictures, sebuah perusahaan yang baru saja mulai bergerak dalam industri perfilman Nasional dengan visi untuk memproduksi film-film bioskop Indonesia yang berbobot namun tetap memiliki nilai komersial yang tinggi, menggelar sebuah acara syukuran informal yang di hadiri oleh banyak reporter dari berbagai macam media masa. Dalam acara ini, Cinervo Pictures membeberkan rencana syuting dan lokasi-lokasi syuting film yang diberi judul Ekspedisi Madewa ini, yaitu di Sukabumi dan Bandung Selatan. Ide cerita untuk film layar lebar ini dicetuskan oleh tiga dari delapan orang pendiri perusahaan,Philip Korompis (produser), Michael TjandramulyaI (kreator, penulis skenario) danFranklin Darmadi (sutradara). Mereka bertiga sangat mencintai film-film aksi dan petualangan dan memiliki visi dan misi yang sama untuk mengeksplor sebuah tema baru dan ingin menambahkannya kedalam dunia perfilman Indonesia yang saat ini sedang semakin berkembang pesat. Dan berangkat dari kecintaan akan alam dan budaya Indonesia, juga akan jiwa patriotisme bangsa, Michael Tjandramulya, sang kreator, menciptakan karakter Tiro Mandawa empat tahun yang lalu dengan ide dasar tokoh pahlawan Indonesia yang modern dan dinamis. Raymond Yoranouw, eksekutif produser dan salah seorang pendiri Cinervo Pictures menegaskan bahwa lokasi syuting 65 persen akan berada di dalam hutan.

Aktor muda berbakat Tora Sudiro akan berperan sebagai tokoh Tiro Mandawa dilayar lebar ini sudah terkenal lewat beberapa film layar lebar yang sudah pernah ia bintangi dan juga sebuah acara komedi yang cukup sukses di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Tora mengaku sangat suka pada karakter Tiro Mandawa yang kesehariannya adalah seorang pencinta alam dan ahli ekspedisi itu. Menurut Tora karakter ini sangat menarik dan berbeda dengan karakter asli dirinya yang lebih 'orang kota' ketimbang 'orang utan'. Oleh karena itu saat ditawarkan peran tersebut dan setelah membaca skenarionya, ia serta merta bersedia memerankan karakter Tiro Mandawa. Selain Tora Sudiro, film Petualangan Tiro Mandawa berjudul Ekspedisi Madewa ini juga akan dibintangi oleh ARIE DAGIENKZ yang sudah dikenal sebagai salah satu penyiar radio swasta Jakarta. Arie akan berperan sebagai SATRIO, asisten yang sekaligus juga sahabat karib Tiro. Selain Arie Dagienkz, Indra Birowo juga akan ikut membintangi film ini. Indra akan berperan sebagai Maulana, musuh bebuyutan Tiro Mandawa. Selain ketiga aktor muda tadi, dua aktor veteran Indonesia, Frans Tumbuan dan Pierre Gruno juga akan membintangi film layar lebar ini. Dua orang aktris pendatang baru Marsha Timothy dan Intan Kaunang akan menjadi objek perhatian utama para aktor pria dalam film ini. Seorang aktor cilik bernama Irsyadi Bagas akan berperan sebagai adik dari karakter yang akan diperankan oleh Marsha Timothy. Tidak ketinggalan Artika Sari Devi, Putri Indonesia 2004, ikut bergabung sebagai associate producer. "Saya ingin mendapat kesempatan menceburkan diri di bidang perfilman", kata Artika antusias. Menurut Artika, film ini dapat ditonton oleh semua kalangan, baik muda maupun tua karena akan menggenggam rating Semua Umur. "Film ini (Ekspedisi Madewa) juga dapat dikategorikan sesuai interpretasi masyarakat. Pure Action boleh atau film keluarga juga boleh", tuturnya berpromosi.

Tora Sudiro dan Indra Birowo yang dalam kehidupan sehari-harinya adalah dua orang sahabat karib yang sangat kompak itu, akan beradu akting sebagai dua orang musuh bebuyutan. Konfrontasi di antara kedua karakter mereka inilah yang akan menjadi salah satu faktor kunci yang besar pengaruhnya dalam pengembangan alur cerita dalam film ini. “Yang jelas, saya jagoannya. Dan jagoan tidak boleh mati”, gurau Tora Sudiro saat diwawancarai oleh salah satu reporter yang hadir di acara syukuran itu.

Cinervo Pictures sendiri sebenarnya terdiri dari campuran orang-orang yang dan tidak berlatar belakang dunia film. Mereka terdiri dari kalangan arsitektur, keuangan, konstruksi, periklanan, dan lain-lain. Namun ragam latar belakang ini diakui justru menghasilkan sebuah sinergi yang unik menurut Phillip Korompis, yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur Cinervo Pictures. Ia sendiri adalah seseorang yang aktif di bidang post-production dan efek-spesial dalam pembuatan iklan. "Cita-cita dan keinginan kita untuk membuat filmlah yang sebenarnya menyatukan tim yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda ini. Sinerginya bagus sekali", komentar Philip dengan bangga. Aryawan Handoko, sang production designer, adalah seorang arsitek. Dan kehadirannya sangat berperan penting dalam menciptakan set bertemakan candi purbakala dan prasasti-prasasti kuno yang dibutuhkan untuk kekuatan visual film ini. Tentang alasan munculnya semangat tim Cinervo Pictures, yang mengutamakan Sumber Daya Manusia dari dalam negeri, diakui oleh Franklin Darmadi, sutradara, karena selama ini perfilman dan dunia periklanan masih dikuasai orang-orang asing. "Banyak rumah produksi, yang membuat film dan iklan yang tenaga kreatifnya adalah orang-orang asing. Ini seolah-olah ingin menunjukkan kalau SDM lokal tak punya keterampilan. Padahal, hal yang satu ini, kita boleh diadu," kata Franklin. "Pokoknya, kita mau berusaha membuktikan kalau tenaga kreatif dari Indonesia itu juga bisa membuat film. “Termasuk beberapa alat syuting kami buat sendiri, kecuali tentu saja kamera," katanya lagi. Sutradara Franklin Darmadi, berjanji untuk berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi ekspektasi penonton akan sebuah suguhan film Box Office yang penuh aksi petualangan dengan sentuhan nilai budaya dan keindahan panorama Tanah Air Indonesia yang kental.

Pada tanggal 10 Agustus 2005 lalu, dengan memakan biaya yang cukup besar, syuting film dimulai dan berlangsung selama 40 hari dengan menggunakan lebih dari 100 orang kru dan lebih dari 300 orang figuran. Lokasi syuting juga sangat bervariasi, mulai dari sebuah gua di Sukabumi, daerah wisata di kawasan Bandung hingga sebuah gedung megah di daerah Serpong. Namun lokasi yang mungkin paling mengagumkan dalam keseluruhan proses produksi film ini adalah lokasi tempat dibangunnya sebuah interior candi kuno. Interior ini didirikan di dalam sebuah gudang yang diubah menjadi sebuah studio raksasa, yang terletak di suatu tempat yang dirahasiakan letaknya. Dengan panjang 30 meter, lebar 29 meter dan tinggi 17 meter, interior candi ini mungkin adalah set indoor terbesar yang pernah dibuat untuk sebuah film layar lebar dengan latar kisah modern yang diproduksi di Indonesia sampai saat ini.

Satu hal lain yang tidak kalah menghebohkan adalah penggunaan Sound System Dolby 5.1 dalam film ini. Sebuah tim dari Hong Kong yang juga adalah tim yang bertanggung jawab dalam pembuatan Sound Effect film KUNGFU HUSTLE karya aktor/sutradara terkenal Hong Kong, Stephen Chow masuk dalam film ini. Mungkin ini adalah satu-satunya bidang yang mau tidak mau harus ditangani oleh tenaga ahli dari luar negeri karena di dalam negeri sendiri belum ada studio suara sound yang mendapat kualifikasi dan sertifikasi dari Dolby.

Apakah kemunculan film ini bisa membuka jalan bagi para sineas muda Indonesia untuk terus mengeksplor tema-tema lain selain drama percintaan remaja, komedi dan horor? Mungkinkah film ini akan menjadi sebuah titik awal dari pematangan dan kedewasaan industri film komersial nasional kita hingga nantinya menjadi seperti di Hollywood sana? Paling tidak, sudah pasti film dengan nuansa baru ini akan menambah perbendaharaan tema perfilman nasional kita yang sedang tumbuh subur dan memiliki masa depan yang sangat cerah itu.

Perjalanan Panjang Konsep film Ekspedisi Madewa

Kisah Petualangan Tiro Mandawa sudah tertuang dalam tulisan sekitar 4–5 tahun yang lalu menurut Michael Tjandramulya, sang kreator. Dan dengan kolaborasinya bersama Adi Darda Gaudiamo, ilustrator dan komikus nasional, visualisasi ujud gambar Tiro Mandawa juga sudah tercipta. Namun kisah yang secara serius dikembangkan untuk sebuah cerita komik ini selalu saja terombang-ambing nasibnya dan belum juga berhasil direalisasikan.

Sekitar 3–4 tahun lalu Michael bertemu kembali dengan Philip Korompis, Producer yang adalah teman masa kecilnya, yang sudah lama tidak saling berhubungan. Tergerak oleh visi dan passion yang sama dalam hal ingin membuat film layar lebar bertema Action, mereka berdua lalu berlibat diskusi yang sangat mendalam karena keduanya ingin sekali terjun dalam dunia perfilman nasional dan ‘melahirkan’ sebuah film layar lebar ber-genre Action dengan latar belakang cerita militer atau polisi. Sementara itu, Franklin Darmadi, sang sutradara, juga di saat yang bersamaan sedang berusaha mewujudkan cita-citanya untuk membuat sebuah film layar lebar bertema aksi-petualangan dengan setting alam. Franklin dan Michael sebelumnya pernah bekerja-sama dalam pembuatan sebuah film pendek berjudul Angin Lewat, yang juga lalu mereka ikut sertakan dalam Festival Film Independen Indonesia (FFII) yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun TV swasta.

Pada suatu kesempatan ketiganya bertemu dan terbentuklah sebuah kolaborasi Trinity yang cukup serius.

Kolaborasi pertama mereka ini lalu terwujud dalam sebuah film pendek kedua berjudul Crossfire, yang memakan biaya cukup besar. Film Crossfire, yang bercerita tentang misi sekelompok pasukan Anti-Teror dalam menyelamatkan seorang anak pejabat yang disandera, adalah sebuah Test Case kerja-sama ketiganya, ditulis oleh Michael, disutradarai oleh Fraklin dan diproduseri oleh Philip. Fifie Buntaran, seorang model yang sedang naik daun saat ini juga ikut berperan dalam film Crossfire itu. Dan dari dalam kolaborasi film pendek inilah, dan dengan masuknya peran Executive Producer Raymond Yoranouw dan Production Designer Aryawan Handoko, dan yang lainnya, perusahaan Cinervo Pictures terbentuk.

Philip, Michael dan Franklin, bersama Cinervo Pictures, lalu merencanakan pembuatan sebuah film layar lebar. Pada mulanya, mereka hendak mengangkat kisah Crossfire dan menjadikannya sebuah film utuh berdurasi 90 menitan. Namun setelah menganalisis pasar, ternyata film aksi kemiliteran ataupun kepolisian nasional belum sepenuhnya bisa diterima di masyarakat Indonesia saat ini. Franklin yang sejak dulu memang bercita-cita membuat sebuah film layar lebar yang bertema aksi-petualangan lalu mengusulkan ide ceritanya yang sudah ada sejak beberapa tahun lalu, tentang kisah aksi-petualangan sekelompok anak-anak usia belia yang berhasil menemukan sebuah harta karun peninggalan nenek moyang. Dan setelah ditelaah lebih lanjut, akhirnya ketiganya sepakat dan setuju untuk membuat sebuah film dengan karakter jagoan lebih dewasa. Karakter Tiro Mandawa bersama karakter-karakter lainnya dari ide komik itu lalu dipilih sebagai karakter-karakter dalam film tersebut. Michael, Franklin dan Philip, bersama Christofer Santosa, Co-Production Designer yang juga berbakat dalam hal tulis-menulis, kemudian terlibat dalam proses pengembangan cerita yang sangat intensif. Dan melalui proses itulah, juga dari proses riset yang sangat mendalam, akhirnya Michael berhasil mewujudkan cerita dasar dan skenario utuh film Ekspedisi Madewa ini.

Kembali kehalaman sebelumnya