Egy MassadiahEgy Massadiah (lahir 27 Desember 1966) adalah penulis, seniman, dan konsultan media.[1][2][3] Aktif menulis esai dan buku, ia memulai kariernya sebagai penulis lepas di sejumlah surat kabar pada 1987-1994 dengan jabatan terakhirnya Redaktur Pelaksana. Salah satu bukunya berjudul Soekarno Ata Ende. Ditulis bersama Roso Daras, buku tersebut kemudian menjadi bagian dari pembuatan Film Ketika Bung Di Ende pada 2013 yang ia produseri sendiri [4] dan dibintangi aktris senior Paramitha Rusady.[5] Egy pernah menjabat sebagai Staf Khusus Kepala BNPB 2019-2021 Doni Monardo, bidang media.[6][7] Dalam pekerjaan ini, Egy menulis dua buku terkait kiprah Doni dalam menjaga alam berjudul Secangkir Kopi di Bawah Pohon dan Sepiring Sukun di Pinggir Kali.[8] Di awal masa pandemi Covid-19 di Indonesia, Egy menjadi anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di bawah kepemimpinan Doni Monardo. Ia menulis buku pada 2021 berjudul Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah. Buku ini menceritakan perjalanan Doni menangani pandemi dalam kapasitasnya sebagai Kepala BNPB sekaligus kepala gugus tugas tersebut, yang kemudian berubah menjadi Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang bernaung pada Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.[9][10] Di sela tugas-tugas menulis, ia aktif sebagai pemain teater di kelompok Teater Mandiri besutan seniman senior Putu Wijaya.[1] Pada 2007, ia pernah membintangi film yang ia produseri sendiri Lari Dari Blora. Sebagai produser, ia pernah mementaskan "Mega Mega" Karya Arifin C Noer di Gedung Kesenian Jakarta sebagai bagian dari Art Summit Internasional Festival 2013.[11] Ia pernah menjadi produser pementasan teater BOM karya Putu Wijaya di Slowakia pada 2012.[12] Di samping dunia seniman, ia pernah aktif membantu Wakil Presiden RI Jusuf Kalla atau JK sebagai staf ahli dan pada 2013 menangani pertemuan organisasi perdamaian Centris Asia Pacific Democratic International (CAPDI) di mana JK adalah ketuanya.[13] Di luar dunia kesenian dan menulis, Egy pernah menjadi pengurus DPP Partai Golkar di era ketua Umum Jusuf Kalla 2004-2009[14] dan telah menyelesaikan studi Magister-nya di bidang Komunikasi dari Universitas Paramadina.[15] Pada 2021 hingga 2023, Egy mengetuai Yayasan Kita Jaga Alam yang ia bentuk bersama Doni Monardo. Lembaga ini bergerak di bidang lingkungan hidup, khususnya pada mitigasi bencana alam berbasis vegetasi.[1] Ia juga aktif sebagai anggota kehormatan dari Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) dari unsur sipil yang menangani bidang media dan kehumasan.[16] PPAD saat ini dipimpin oleh Doni Monardo.[17] Karya buku[18]
PemikiranPerdamaian di PapuaTerkait perdamaian di Papua, Egy mengemukakan pendapatnya dalam beberapa tulisan[19][20] bahwa penting memuliakan adat istiadat lokal Papua, khususnya memuliakan para kepala sukunya. Warga Papua secara signifikan menghormati para kepala suku mereka. Sayangnya, peran para kepala suku tersebut terabaikan dan tidak diperkuat, padahal merekalah yang mengerti dengan baik adat lokal dan tata cara hidup adil dan harmoni bagi warga Papua. Mereka berhak atas tanah ulayat adat yang diturunkan dari induk dan kepala-kepala suku sebelumnya. Peran para kepala suku ini dihadapkan dengan tantangan pergeseran moral dan kekacauan sosial. Beberapa pihak mengklaim dirinya sebagai kepala suku dengan tidak berpegang pada tatanan adat sejati, yang kemudian menjadi salah satu masalah dalam mewujudkan perdamaian di Papua.[19] Untuk merevitalisasi marwah adat istiadat dan kesejahteraan warga Papua, peran ketua adat perlu diperkuat kembali. Sinergi Pentahelix perlu diimplementasikan, dimana berbagai sektor seperti pemerintah, TNI-Polri, akademisi, pengusaha, budayawan, media, tokoh masyarakat dan semua pihak terkait harus bersama-sama melakukan dua upaya besar tersebut.[20] Selain itu, perlu diupayakan juga pengenalan budaya serta tradisi, khususnya perantau yang berasal dari suku lain di tanah Papua. Kelak benturan atau gesekan budaya antara pendatang dan warga lokal bisa ditransformasikan menjadi momentum untuk sinergi yang saling menghargai. Ada tujuan yang sama, yakni saling memahami nilai nilai budaya yang berlaku. Pendatang wajib mendalami istiadat Papua, sebagaimana peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.[21] Teater 'stripping'Egy menginisiasi sebuah ide bahwa teater bisa dipentaskan setiap hari selama seminggu, sebulan atau berbulan bulan. Pementasan teaternya bisa dilakukan 2 kali dalam 1 hari, di tempat yang berbeda pula.[22] Ide ini berangkat dari lemahnya sistem produksi di dalam kelompok-kelompok teater. Egy menyatakan kelompok ini kesulitan mensejahterakan senimannya. Kelompok teater umumnya fokus pada jalannya sebuah pentas di atas panggung saja namun mengesampingkan manajemen produksi dan pemasarannya.[22][23] Pementasan teater bisa dilakukan, misalnya di beberapa institusi pendidikan seperti SMA.[23]) Dengan sistem stripping ini, beberapa SMA berbeda bisa menjadi tuan rumah pementasan yang durasinya tidak lama, misalnya satu jam. Hasilnya, teater bisa dipentaskan dalam durasi seminggu, sebulan atau berbulan bulan, karena teater juga bisa dilaksanakan dua tiga kali pertunjukan sehari.[22] Teater stripping ini juga dapat menjadi medium penyampaian pesan-pesan berharga kepada generasi muda Indonesia, seperti: bahaya narkoba, jiwa kewirausahaan, dan bahaya radikalisme.[22] Pementasan teater strpping ini juga bisa dijalankan bekerjasama dengan organisasi-organisasi terkait seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Perbankan, dan Badan Nasional Penanggulangan Terosime (BNPT).[22] 'Hijrah' partai politikSebagai seorang kader Partai Golkar,[24] Egy memiliki pemikiran bahwa pada umumnya partai politik di Indonesia perlu 'hijrah'.[24] Salah satu implementasi hijrah partai politik ini bagi Egy adalah memaknai dan memandang partai politik seperti perusahaan. Di era modern ini, perusahaan yang besar umumnya adalah mereka yang telah go public atau terbuka. Pemimpinnya pun harus terbuka terhadap masukan dan paham cara menjalankan roda perusahaan pada era modern.[25] Hijrah yang ia maksud adalah perlunya perubahan perilaku, karakter, bahasa dan cara berkomunikasi partai politik harus berubah. Pada implementasinya, partai politik di Indonesia perlu fokus pada beberapa aspek.[24] Pertama, partai perlu merangkul kader-kadernya dari kalangan muda dan memberi kesempatan mereka untuk memimpin partai. Kedua, partai perlu secara simultan memperbaiki strategi komunikasi dan kehumasannya. Ketiga, partai politik harus ramah dengan teknologi informasi. Terakhir, mereka perlu mengedepankan keberpihakan kepada industri kreatif.[24] Pemikiran ini menjadi bahan kritikannya pada partainya sendiri. Baginya, Golkar pernah menjadi cerminan hijrah politik ketika mendengungkan slogan ‘Golkar Bersih’ di awal era kepemimpinan Airlangga Hartarto.[25] Namun pada realisasinya, Egy melihat banyak hal yang tidak sesuai dengan semangat hijrah partai tersebut. Beberapa hal yang ia kritisi antara lain mayoritas pimpinan diisi oleh kader dari kalangan tua, penempatan kader pada posisi yang tidak sesuai kompetensinya, dan penamaan nomenklatur jabatan yang makna dan artinya sulit dipahami.[25] Rujukan
|