Djukardi Odang
Riwayat HidupAnak bekas Wali Kota Bogor, Haji Mohamad Odang, yang mengaku "bengal" selagi kecil ini sebenarnya ingin menjadi pegawai kehutanan. Ia akhirnya menjadi tentara karena sering diejek teman-teman sebayanya. "Seorang teman pernah mengatakan saya banci, cengeng, karena takut berjuang," cerita Djukardi. Kemudian, dorongan untuk ikut berjuang semakin kuat ketika ayah dan adiknya dipenjara oleh Belanda. Djukardi, yang ketika di bangku SMP sudah menduduki jabatan sekretaris Wali Kota Bogor, sambil melanjutkan SMA-nya di Bandung. Kemudian, dirinya bergabung dengan Tentara Pelajar Jawa Barat, 1947. Ia sangat mementingkan dunia akademik. Setamat SMA, Ia kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP) Jakarta. Sembari piket malam, Ia juga menekuni bacaan buku-buku hukum. Prof. Satrio, Direktur RSTP, pada suatu hari memergokinya dan menganjurkan dirinya masuk ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang kemudian Ia ikuti saran tersebut.[1] Ia segera dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat dengan pangkat letnan satu. Sejak berpangkat kapten pada tahun 1957, tugasnya lebih banyak di luar lingkungan militer. Misalnya, menjadi Sekretaris Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Sekretaris Menteri Produksi, dan bertugas di CTC Singapura dan Hamburg. Setahun kemudian, 1958, Mayor Djukardi diangkat menjadi Direktur Utama PT. Pantja Niaga. Di perusahaan ini, ia dinilai berhasil menciutkan utang perusahaan milik negara yang pernah mencapai sekitar Rp 5 milyar. Dengan 2000 karyawan, perusahaan itu kini sudah bisa untung dengan omset sekitar Rp. 150 milyar per tahun. Ia menjadi Direktur Utama hingga 1989.[2] Ia pernah terpilih sebagai Pengusaha Teladan DKI tahun 1977 dan kemudian menjabat Ketua Umum Iluni UI pada tahun 1974.[1][3] Kehidupan PribadiDjukardi menikah dengan Tati Rukmini Prawira Soebrata, dan dikaruniai seorang putri.[1] Referensi
|