Diaq Leway, Muara Wahau, Kutai Timur
Desa Diaq Leway adalah salah satu desa asli yang didiami oleh masyarakat dari etnis Dayak Wehea, yang letaknya di bantaran Sungai Tlan (karena orang luar sulit menyebut dalam bahasa lokal Dayak Wehea sehingga penyebutannya berubah menjadi Sungai Telen) serta berada di bagian hilir Desa Long Wehea yang berada di bantaran Sungai Wehea - bukan Sungai Wahau (orang luar biasa menyebut Sungai Wahau akhirnya sebutan ini terus berlangsung hingga kini). Dalam wilayah administrasi Kecamatan Muara Wahau, Desa Diaq Leway adalah desa terakhir yang letaknya berada di bagian hillir sungai dan membentang ke daratan hingga batas Kecamatan Telen. Permukiman masyarakat Desa Diaq Leway saat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu permukiman asli yang berada di bantaran Sungai Tlan yang terdiri dari 2 RT serta wilayah pemekaran permukiman yang berada di tepi Jalan Trans Kalimantan Timur yang biasa disebut dengan Jembatan-1 sebanyak 3 RT. Sementara itu, wilayah permukiman masyarakat asli saat ini merupakan area permukiman terakhir setelah berbagai perpindahan atau migrasi penduduk yang terjadi pada masa lampau dari para leluhur warga Dayak Wehea di Desa Diaq Leway. Sungai Tlan sebagai salah satu sungai besar yang menjadi bagian dari DAS Mahakam merupakan wilayah utama sebaran Suku Dayak Wehea dan dalam berbagai ritual adat Nluei, Sungai Tlan maupun Sungai Wehea sering disebutkan dalam beragam prosesi adat, diantaranya adalah dalam Ritual Nemlen, Ritual Unding dan Ritual Melas Tanah pada lahan yang akan dan/atau baru dibuka dan juga menyertakan dengan menyebut nama para leluhur yang bertujuan untuk memohon izin agar kegiatan yang akan diakukan oleh warga desa diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka atau wabah penyakit. Nama Desa Diaq Leway terdiri dari dua suku kata yang dalam bahasa Wehea mengandung artian tersendiri. Diaq berarti di bawah dan Leway berarti pohon besar yang menjadi tempat berkumpulnya warga di masa lampau, sehingga Diaq Leway dapat diartikan sebagai Desa/Kampung yang berdiri dan/atau berkumpul dan berlindung di bawah pepohonan besar dalam melaksanakan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari. Jadi penyebutan nama desa saat ini adalah sebuah warisan kesalahan masa lalu yang diwariskan oleh orang-orang luar, baik oleh warga pendatang maupun dari pemerintah, baik pemerintah Kabupaten Kutai (sebelum pemekaran), maupun Provinsi Kalimantan Timur (karena sulit menyebut Diaq Leway), sehingga dalam nomenklatur desa yang terdaftar di Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia berubah menjadi Jak Luay. Kesalahan penyebutan tersebut sejatinya telah menghilangkan nama asli dari Desa Diaq Leway sekaligus menghilangkan makna di dalam nama tersebut, juga secara tidak langsung merupakan suatu upaya yang biasa dilakukan pada masa Pemerintahan ORDE BARU untuk menghilangkan akar atau identitas dari desa tersebut dan sebagai dampak bahwa selain Desa Long Wehea, semua desa-desa dalam Komunitas Suku Dayak Wehea semuanya salah, seperti Nehas Liah Bing yang ditulis NehEs Liah Bing (ada huruf e menggantikan huruf a pada Nehas) yang secara langsung telah mengubah dan menghilangkan arti dari nama desa tersebut. Selain merupakan salah satu desa Wehea, terdapat beberapa desa lainnya yang juga didiami oleh Suku Dayak Wehea di bantaran Sungai Tlan, diantaranya adalah, Desa Dea Beq (bukan Dabek - telah menghilangkan arti nama dari sebutan asli), Desa Diaq Lay (bukan Jak Lai) dan Desa Bea Nehas (bukan Benhes - menghilangkan arti dari sebutan asli) serta di bantaran Sungai Wehea, yaitu Desa Nehas Liah Bing (bukan Nehes Liah Bing atau Selabing) dan Desa Long Wehea. Diaq Leway seperti halnya beberapa desa dalam Komunitas Dayak Wehea telah mengalami pergeseran dan kesalahan penyebutan yang terjadi hingga kini, dimana nama desa mendapatkan sebutan baru, yaitu Jak Luay yang sama sekali tidak memiliki arti dan menghilangkan makna yang terkandung dalam nama asli, sehingga sejak tahun 2005, terus diupayakan untuk mendorong perubahan nama-nama desa yang salah kepada penyebutan yang asli, sehingga nama desa kembali memiliki makna sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Dayak Wehea dan seharusnya, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur harus mulai mengambil langkah dengan mengajak Pemerintah Desa Diaq Leway untuk melakukan pengusulan untuk perubahan dalam rangka mengembalikan penyebutan nama asli dari desa-desa Komunitas Dayak Wehea tersebut sekaligus mengusulkan perubahannya dalam nomenklatur nama desa kepada Kemendagri RI. Sejak berpuluh tahun lalu, terdapat kesulitan bagi orang luar untuk menyebutkan nama-nama desa dalam sebutan lokal Wehea, sehingga terjadinya praktek kesalahan penyebutan yang terjadi hingga periode 2005, dimana seperti halnya desa-desa Wehea lainnya, Desa Diaq Leway selalu disebutkan sebagai Desa Jak Luai/y yang berlaku hingga kini, Dea Beq dengan sebutan Dabek, Diaq Lay dengan sebutan Jak Lai serta Bea Nehas dengan sebutan Benhes (khusus untuk Bea Nehas, kesalahan penyebutan tersebut justru melahirnya artian yang baru yang tidak baik). Kesalahan penyebutan tersebut secara langsung berdampak pada memudarnya penyebutan nama desa sesuai dengan versi asli masyarakat Dayak Wehea sekaligus menghilangkan artian dari nama yang sesuai dengan kearifan lokal yang ada dalam tradisi Suku Dayak Wehea. Beragam kesalahan tersebut akhirnya mulai diperbaiki dengan semakin tingginya tingkat kesadaran dari masyarakat Dayak Wehea terkait beragam kesalahan penyebutan yang terjadi hingga menghilangkan makna dari nama-nama desa itu sendiri dan terutama sejak masuknya sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bekerja bersama masyarakat adat Wehea dalam pengelolaan Hutan Lindung Wehea yang sejak tahun 2004 gencar mempromosikan tentang eksistensi serta kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Suku Dayak Wehea, kemudian pada tahun 2006, dilakukan terobosan oleh beberapa kelompok mahasiswa Universitas Mulawarman, Samarinda yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata dengan cara mengubah atau membuat beberapa plang nama desa pada beberapa desa Wehea sesuai dengan sebutan asli dan sebenarnya yang ada dalam kosa kata bahasa Suku Dayak Wehea. Berdasarkan penuturan dari para tetua adat Wehea, pada masa lalu tidak ada masyarakat dari komunitas lainnya yang mendiami wilayah Sungai Tlan maupun Sungai Wehea dan komunitas Wehea dikenal sebagai masyarakat yang gigih berperang mempertahankan wilayahnya. Hal tersebut dapat ditemukan dalam puncak Ritual Lom Plai atau pesta panen Suku Dayak Wehea. Dalam ritual puncak Lom Plai (Pesta Panen Suku Dayak Wehea) yang disebut dengan Ritual Embob Jengea, terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan dan salah satunya adalah ritual Seksiang atau perang-perangan di sungai yang menjadi khiasan peperangan di sungai untuk mengusir musuh dari komunitas lainnya yang memasuki dan/atau ingin merebut wilayah desa/komunitas. Dalam perjalanan sejarah, masyarakat Dayak Wehea kemudian mendapatkan pengaruh dari luar dengan masuknya para pendatang pada kedua wilayah tersebut di daerah-daerah sekitar bantaran Sungai Tlan dan Wehea, diantaranya adalah Desa Muara Wahau, kemudian menyusul Desa Miau Baru pada akhir dekade 1960-an yang meminta ijin kepada Masyarakat Adat Wehea di Desa Nehas Liah Bing untuk menetap di Long Kejiak (nama asli Desa Wehea yang didiami masyarakat Miau Baru saat ini) dan terakhir desa-desa eks Transmigrasi yang mulai datang pada tahun 1985 hingga 1989, dimana dari desa-desa eks-transmigrasi tersebut sebelum menjadi desa defenitif berinduk ke Desa Diaq Leway maupun Nehas Liah Bing. Sementara masuknya pendatang secara massif ke wilayah-wilayah desa Wehea mulai terjadi saat dimulainya ijin usaha perkayuan (HPH) dan pada desa-desa Wehea ditandai dengan masuknya PT. AVDECO diantara Sungai Tlan dan Wehea, PT. George Pasific (GP) yang kemudian berubah menjadi PT. Kiani Lestari yang areal operasinya masuk dalam wilayah Jak Luay serta perusahaan HPH lainnya dalam wilayah Komunitas Dayak Wehea. Pada masa lalu, banyak pedagang-pedagang dari luar daerah (diantaranya dari Suku Bugis dan Kutai yang datang ke daerah tersebut yang berjualan kain kepada masyarakat setempat, kemudian membuat pondok, dan secara bertahap mulai menetap di Desa tersebut, dan pada masa selanjutnya kemudian datang masyarakat campuran Suku Bugis dan Samarinda Seberang serta masyarakat Kutai dari bagian hilir Sungai Tlan. Berdasarkan sejarah yang diceritakan secara turun temurun dalam tradisi masyarakat adat Wehea, batas wilayah Suku Kutai berdasarkan pembagian dan kesepakatan pada masa lampau adalah wilayah Keham Sungai Tlan di bagian hulu Desa Batu Ampar. Suku Dayak Wehea memiliki wilayah hingga daerah Keham di bagian hulu Desa Batu Ampar termasuk saat ini Desa Long Noran dan Long Segar dahulunya adalah bekas-bekas Desa tua dari komunitas Dayak Wehea serta Desa Juk Ayak yang secara histori didiami oleh masyarakat asli Dayak Wehea, sementara pada bagian hilir Keham merupakan kekuasaan atau wilayah Suku Kutai dan bagi kedua komunitas tersebut, apabila melewati Keham tersebut (misalnya masyarakat Dayak Wehea menuju ke hilir Sungai Tlan) selalu membuang telur dan beras berwarna tertentu dan juga sebaliknya. Pada masa lalu, Suku Dayak Wehea sering berperang dengan suku-suku lainnya, sehingga dari hal tersebut suku-suku lainnya selalu menghindar untuk memasuki wilayah tersebut, sementara itu, terkait dengan keberadaan raja atau penguasa, Desa Wehea telah memiliki raja/penguasanya masing-masing, demikian menurut penuturan Bapak Ledjie Tot dari Desa Bea Nehas serta Bapak Tleang Lung dari Desa Desa Beq dan Bapak Ledjie Taq dari Desa Nehas Liah Bing. Menurut penuturan Bapak Ledjie Tot dari Desa Bea Nehas, bahwa pada saat Belanda mulai masuk ke wilayah pedalaman di Sungai Tlan dan Wehea, dan kerajaan Kutai takluk dibawah Belanda, kemudian oleh Belanda diangkat 2 orang raja, yang pertama di Desa Jak Luay bergelar Temanggung Geah Blew dan Temanggung Jie Ban yang selanjutnya mengangkat Raja Alam (Bit Luak) dan Pangeran Muda bernama Ding Bong di Desa Nehas Liah Bing. Setelah itu, Belanda kemudian kembali mengangkat raja di Desa Bea Glang (sekarang Dea Beq) bergelar Pangeran Isa Prana alias Helaq Tot, dan disusul dengan pengangkatan raja di Desa Bea Ling (sekarang Diak Lay) dengan penguasanya adalah Pangeran Isa Wardana alias Leah Lejie, dan dilanjutkan dengan pengangkatan raja di Desa Bea Nehas Lama (bagian hulu Desa saat ini), dengan raja bernama Mas Joyo Suro alias Beang Wung. Dari para penguasa yang ada tersebut, yang paling terkenal adalah Mas Joyo Suro alias Beang Wung dari Bea Nehas dan Raja Alam dari Desa Nehas Liah Bing. Masyarakat Desa Jak Luay, seperti halnya masyarakat Suku Dayak Wehea lainnya berasal dari Epa Kejien (Apau Kayan) yang merupakan nama wilayah dan nama Desa mereka di wilayah tersebut adalah Min Bea Lta On Long Pengaq Kejien dengan pimpinan mereka pada masa itu bernama Long Wang Dang Kanjong serta adiknya Dea Wang Kanjong. Dari wilayah diatas, kemudian bermigrasi ke wilayah Min Sun Kung Kumul yang berarti Desa diatas gunung dan dari tempat itu kemudian terpecah menjadi beberapa bagian, antara lain yang turun melalui Sungai Tlan dan Wehea (cikal bakal Suku Wehea di Sungai Tlan), Sungai Kelay dan Segah (Suku Gaai) dan Sungai Mahakam di daerah Long Gelat. Dari perpecahan tersebut, kemudian kelompok masyarakat yang turun melalui Sungai Tlan membuat Desa di Long Patak, kemudian berpindah lagi di sekitar Sungai Suh (Min Dea Sebleng Peapeang) dan Sungai Tlan (Min Dea Sebleng Peapung), sekarang orang biasa menyebut Gua Peapung dan selanjutnya ke Long Puhus. Dari Desa tersebut kemudian berpindah dan terpencar ke beberapa wilayah, diantaranya ke wilayah Long Jeneaw, Weta Ban (saat ini menjadi Desa Long Segar – Suku Dayak Kenyah), Tengun Deheng (daerah Jak Luay), Long Beang Leq (daerah Jak Luay), Jak Luay, Bea Gelang (Dea Beq) dan Bea Ling (Diaq Lay). Alasan-alasan perpindahan Desa terkait dengan budaya yang hidup pada masa itu, antara lain karena adanya kepercayaan sulit melahirkan, sehingga harus keluar untuk melahirkan diluar Desa, tetapi setelah meninggal dibawa kembali ke Desa, sehingga masyarakatnya berpindah dan membuka Desa lainnya. Setelah masuknya PT. George Pasific (GP) yang dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi PT. Kiani Lestari di sebelah kanan mudik Sungai Tlan yang masuk dalam wilayah Jak Luay juga menyusul PT. AVDECO pada tahun 1972 yang dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi PT. DSN, kemudian menyusul beberapa perusahaan HPH yang beroperasi dalam wilayah desa-desa Wehea termasuk Desa Diaq Leway, diantaranya adalah PT. Intertropic, PT. OTP dan lain-lain. Pada tahun 1982 terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kebakaran besar yang melanda sebagian besar wilayah Kalimantan termasuk hingga ke wilayah Desa Jak Luay serta desa-desa sekitarnya dan pada tahun 1997, kebakaran besar kembali terjadi akibat kemarau panjang dan bahkan menimbulkan terjadinya ancaman bencana kelaparan dalam wilayah desa.Sementara itu, pada tahun 2015 terjadi kebakaran lahan dan hutan secara massif di berbagai tempat di Indonesia termasuk di Kalimantan Timur yang menyebabkan bencana kabut asap dan juga turut dirasakan oleh masyarakat Diaq Leway. Sejak tahun 1992, investasi dari perusahaan HPH mulai memasuki wilayah Adat Desa, yaitu PT. Kalimanis, PT. Ocean Timber Prod (OTP) dan PT. Inter Tropik Aditama. Seiring dengan dengan perkembangan zaman dan ketatnya perizinan HPH serta perubahan status dan proses alih fungsi lahan, maka diantara perusahaan diatas hanya tersisa PT. Narkata Rimba yang berada di wilayah Hulu Sungai Tlan dan Sungai Wehea yang masih eksis hingga saat ini dan masuk dalam wilayah komunal Desa Dea Beq, Diaq Lay dan Bea Nehas serta Nehas Liah Bing. Pada masa lalu hingga awal dekade 1990-an, belum ada jalan penghubung antar desa, sehingga untuk bepergian keluar Desa, masyarakat Desa Diaq Leway selalu menggunakan perahu ketinting saat mengunjungi desa lainnya, sehingga pada tahun 1994, melalui program bina desa yang dilaksanakan secara serentak oleh beberapa HPH, akhirnya Desa Diaq Leway serta desa-desa Wehea lainnya dapat saling terhubung tetapi sangat sulit dilalui pada musim hujan. Hal tersebut dialami warga Desa Diaq Leway hingga sekira tahun 2006/2007, dimana hingga pada masa itu, aksesibilitas warga mayoritas masih mengunakan transportasi air dengan menggunakan perahu ketinting, baik untuk menuju ke pusat kecamatan di Desa Muara Wahau maupun ke desa-desa Wehea lainnya, sementara untuk menuju ke desa-desa eks-Transmigrasi, warga menggunakan perahu keintinting hingga ke Desa Nehas Liah Bing baru melanjutkan dengan menggunakan angkutan pedesaan (R-4) ke desa eks-trans yang hingga kini masih sering disebut dengan SP (satuan pemukiman: yang merupakan sebutan sebelum menjadi desa defenitif). Dengan adanya jalan penghubung yang menghubungkan desa-desa di bantaran Sungai Tlan maupun Sungai Wehea, perkembangan desa semakin membaik dan pada tahun 1998, terjadi proses alih fungsi lahan di wilayah Kecamatan Muara Wahau, termasuk yang menjadi bagian dari wilayah administratif Desa Diaq Leway. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan status kawasan dan alih fungsi lahan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit melalui beberapa perusahaan yang menjadi bagian dari PT. Sinar Mas Group (PT. Pratita dan PT. Tapian Nadenggan) dan disusul pada tahun 2004/2005 dikembangkan pula perkebunan kelapa sawit oleh PT. Karyanusa Eka Daya (Astra Group) di seberang Sungai Tlan yang sebagiannya juga masuk dalam wilayah administratif Desa Diaq Leway. Permukiman warga Desa Diaq Leway pada dasarnya telah cukup tertata. Permukiman masyarakat desa tersebar dalam beberapa blok permukiman yang terpisah oleh jalan Desa serta Lapangan Sepak Bola sebagai pusat kegiatan masyarakat. Diperkirakan, hal tersebut disebabkan karena sekitar tahun 1970-an, permukiman warga Desa Diaq Leway telah mengalami sentuhan terutama terkait dengan sistem penataan permukiman oleh pemerintah yang masih terlihat hingga kini. Selain permukiman yang terdapat di permukiman hasil migrasi terakhir, kemudian sejak tahun 2004/2005 dilaksanakan program pengembangan permukiman kebagian darat Desa saat ini dan antara tahun 2000 - 2020 kemudian mulai berkembang area permukiman baru terutama di sepanjang tepi jalan trans Kaltim yang menjadi bagian dari wilayah administrasi Desa Diaq Leway termasuk diantaranya adalah pembangunan gedung sekolah dasar yang baru sebagai pemindahan dari Desa induk ke wilayah permukiman baru. Pemindahan gedung sekolah dasar tersebut selain terjadi karena kekurangan murid, juga dikarenakan sering terjadinya banjir karena gedung sekolah dasar yang lama berada persis di bantaran Sungai Tlan yang sangat rawan akan banjir sehingga menciptakan kendala sendiri untuk aktifnya kegiatan belajar mengajar dan saat ini justru menyulitkan warga asli Diaq Leway untuk mengakses pendidikan dasar, sehingga mereka kemudian harus menempuh pendidikan dasar (SD) di desa terdekat, yaitu di Desa Long Wehea atau di Desa Nehas Liah Bing. Sementara itu, dari aspek pemerintahan desa, telah berulangkali terjadi pergantian tampuk kepemimpinan desa dan saat ini, Desa Diaq Leway dipimpin oleh Donatus Liah Lui yang terpilih pada periode Oktober 2021 dan dilantik pada tanggal 19 November 2022. (dirangkum dari berbagai sumber) |