Daun encok
Daun encok (Plumbago zeylanica) atau Ceraka putih adalah semak-semak yang tumbuh dari Afrika dan tersebar hingga Indonesia. Tumbuhan ini dikenal dengan nama bama (Bali), ki encok (Sunda),[3] godong encok (Jawa), kareka (Madura), dan oporio (Timor).[4] Tumbuhan ini sangatlah beracun, sehingga pada saat menurapkan tumbuhan ini janganlah terlalu lama, cukup 30 menit saja. Tumbuhan dari genus yang sama, yakni akar binasa (Plumbago indica) kemungkinan racunnya lebih kuat daripada daun encok. DeskripsiDaun encok adalah perdu/herba[5] yang mirip dengan akar binasa, tingginya 1-2.5 m. Batang berkayu, bulat, licin, beralur, bereabang.[2] Daunnya lebar, dengan panjang 1 dm dan lebar 6 cm. Bentuknya bundar telur, tunggal, berselang-seling,[2] bundar telur-melanset, menjorong-lonjong, 2,5–13 cm x 1–6 cm, pangkal daun membaji, ujung daun meruncing atau bertusuk, gundul, sering dengan titik-titik putih berlilin di bagian bawah, panjang tangkai 2–12 mm, pangkal memeluk batang, kadang-kadang menguping. Perbungaannya dalam tandan, warnanya putih, sementara bunga dari akar binasa berwarna merah,[5] rakis dengan kelenjar yang duduk. Kelopak bunganya berwarna hijau gundul, dibungkus dalam kelenjar tangkai, panjang tabung mahkota 1,7-2,6 cm, cuping 0,6–1 cm x 0,3-0,5 cm, putih dan berbau. Benang sarinya ungu, bakal buah dan tangkai putik gundul.[3] Buahnya kecil, bulat panjang, hijau sewaktu muda dan coklat begitu sudah tua. Bijinya kecil,[4] berukuran 6 mm x 2 mm, coklat tua.[3] Persebaran dan habitatDaun encok tersebar dari sebagian besar Afrika[6] hingga India, ke arah timur mengarah ke Indochina, dan ke selatan menuju Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Biasanya tumbuhan ini ada di seluruh Asia tropis, dan Pasifik. Namun, tumbuhan tersebut juga tersebar di wilayah sub-tropis. Biasanya, tumbuhan itu dibudidayakan untuk tanaman obat dan tanaman hias.[6] Belum ada laporan tumbuhan ini hidup di Maluku dan Kalimantan.[3] Tumbuhan ini meliar di Jawa Tengah dan Timur, Madura, dan Bali.[5] Daun endok hanya bisa didapati di habitat antopogen terbuka misalnya savana (padang rumput), pinggiran hutan dan ladang yang belum ditanami, hidup pada ketinggian di atas 1000 mdpl.[3] Perbanyakan tumbuhan ini dapat dengan biji atau setek.[2] Selain itu, tumbuhan ini hidup meliar di ladang, tepi saluran air, atau ditanam di pekarangan sebagai pagar hidup.[7] Kemampuan dan manfaatDaun dari tumbuhan ini mengandung plumbagin, 3-3-biplumbagin, 3-kloroplum-bagin, khitranon (3-6-biplumbagin), dan droseron (2-hidroksiplum-bagin). Zat berkhasiatnya yang bernama plumbagin sangat beracun dan pada pemakaian lokal dapat menyebabkan kerusakan kulit berupa lepuh seperti luka bakar.[2] Selain itu, ekstrak kasar plumbagin juga ditemukan dari akar. Naftokuinon plumbagin yang terdiri atas naftokuinon dan plumbagin juga ditemui dari akar.[6] Selain itu, ditemukan pula 3-biplumbagin, kloroplumbagin, khitranon, elipton, komarin seselin, 5-metoksisilin, suberosin, dan xantiletin.[8] Dalam pengobatan, daun encok mungkin lebih sedikit kemampuan pengobatannya daripada akar binasa meskipun memiliki kegunaan fitoterapi. Di Indonesia, biasa digunakan untuk obat luar,[5] yakni untuk obat sakit kepala. Jangan terlalu lama, karena dapat menyebabkan lepuh. Kumpulan daunya digunakan sebagai pengganti lalat spanyol; manfaat tumbuhan ini lebih besar daripada racunnya, dan tidak mengiritasi organ kemih -walaupun ada sumber yang menyebut tumbuhan ini iritan-.[7] Di Bali, digunakan untuk mengatasi kurap. Akarnya digunakan sebagai obat dalam karena kandungan vesicant (zat pelepuh), untuk menggugurkan kadungan,[3] dan menginduksinya.[9] Ekstrak metanol tumbuhan ini dapat dijadikan sebagai antimikroba dan antijamur. Zona inhibisi tertinggi tercatat dari melawan Vibrio cholerae. Tampak pula, bahwa ekstrak kasar tumbuhan ini dapat melawan bakteri gram-postif maupun negatif.[10] Pada dosis kecil, tumbuhan ini menstimulan sistem saraf pusat. Adapun, dosis besar dapat menyebabkan kematian karena gagal pernafasan dan kelumpuhan. Dosis besar dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan dan gagal pernafasan.[6] Tumbuhan ini juga menunjukkan abortif dan anti-implantasi pada tikus. Pada dosis kecil, tumbuhan ini memiliki sifat anti-mitokik yang berkhasiat sama dengan kolcikhina. Dosis besar juga bersifat nukleotoksik dan sitotoksik.[6] Dalam pengobatan Ayurweda dan Sidda, tumbuhan ini digunakan untuk formulasi obat-obatan. Di India, tumbuhan ini digunakan untuk demam, diare, masalah pencernaan, pilek, masalah kulit seperti kusta/lepra, dan malaria.[11] Di Nepal, tumbuhan ini digunakan untuk antivirus, dan di Taiwan, dapat digunakan untuk aktivitas anti-Heliobakteri. Di Madras, tumbuhan ini digunakan untuk antioksidan. Di Ethiopia, tumbuhan ini digunakan untuk masalah lambung, dan di Nigeria, tumbuhan ini digunakan untuk penyakit parasit, dan scabies.[11] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|