Danghyang AstapakaDanghyang Astapaka atau Mpu Astapaka adalah seorang pendeta Siwa-Buddha yang melakukan perjalanan suci Dharmayadnya ke Bali pada tahun 1530 Masehi atas permohonan Raja Dalem Waturenggong agar dapat melaksanakan Yadna Homa (Agnihotra) demi kesejahteraan rakyat di kerajaan Bali. Ia merupakan putera dari Danghyang Angsoka.[1] Dalam Babad Karangasem juga disebutkan, Danghyang Astapaka merupakan guru dari I Gusti Oka (raja ke-2 Karangasem), yang mempunyai pesraman di Bukit Mangun, di Desa Toya Anyar. SilsilahDalam silsilah dan kisah bhagawanta, Dang Hyang Astapaka merupakan putra dari Danghyang Angsoka dan juga keponakan dari Danghyang Nirartha. Keturunan Danghyang Astapaka membentuk golongan pertama dari sistem Tri Wangsa di Bali. Golongan pertama secara tradisional dikatakan berasal dari keturunan Danghyang Dwijendra dan Dang Hyang Astapaka, yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal Wangsa Brahmana Siwa dan Brahmana Budha. Umumnya, rumah tinggal kedua Wangsa Brahmana ini disebut Geria. Perjalanan ke BaliKisah perjalanan Dang Hyang Astapaka menurut catatan Selwkumar (SriSaybaagawan), Dang Hyang Astapaka awalnya tinggal di daerah keling Jawa Timur yang merupakan tanah leluhurnya. Sebelum melaksanakan perjalanan suci "Dharma Yadna" ke Bali, ia terlebih dahulu mengaturkan sembah suci (lagura) ke hadapan ayahnya pada tahun 1530 M. Di Bali, ia menuju Desa Ambengan, Gianyar, tempat Pasraman pamannya yang bernama Danghyang Nirartha. Sebenarnya kedatangan Danghyang Astapaka ke Bali merupakan undangan raja kerajaan Gelgel untuk melaksanakan upacara Homa Yajña. Danghyang Nirartha saat itu sudah memiliki kedudukan sebagai penasihat raja.[2] Raja Dalem Waturengong segera mengutus seorang bendesa untuk memohon agar Sang Maha Rsi Siwa Budha Astapaka datang bertemu raja di Swecapura. Keesokan harinya, kedua Maha Rsi tersebut berangkat bersama para mangala utusan Dalem mengadap Sri Aji Bali. Sesampai di istana, Dang Hyang Astapaka diberi ujian untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan raja bersama para menterinya. Di halaman pertemuan, seekor angsa dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang digali, kemudian ditutup rapat-rapat. Saat pertemuan berlangsung, angsa tersebut berbunyi. Raja kemudian bertanya kepada Danghyang Astapaka, suara apa yang baru saja terdengar itu. Dengan penuh percaya diri, Danghyang Astapaka menjawab bahwa itu adalah suara naga. Seluruh peserta rapat tertawa, tetapi tiba-tiba seekor naga muncul dari dalam lubang tersebut. Setelah itu, Danghyang Astapaka diangkap sebagai penasihat spiritual yang setara dengan Danghyang Dwijendra.[2][3] Setelah Dalem Watu Renggong meninggal, ia digantikan oleh dua orang putranya yang belum dewasa, yaitu I Dewa Pemayun yang sulung (kemudian bergelar Dalem Bekung) dan I Dewa Anom Saganing (bergelar Dalem Saganing). Karena masih muda, mereka didampingi oleh putra-putra I Dewa Tegal Besung, adik dari Dalem Watu Renggong, yaitu: I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pasedangan. Jabatan patih agung dan semua kebijakan pemerintahan dipegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk. Keadaan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pejabat kerajaan dan gelagat Batanjeruk untuk mengambil alih kekuasaan telah diketahui oleh Dang Hyang Astapaka sebagai penasihat raja. Ia menasihati Batanjeruk agar tidak melakukan hal yang membahayakan karena pengikut raja cukup kuat, tetapi nasihat Dang Hyang Astapaka tidak dihiraukan sehingga ia meninggalkan istana kerajaan Gelgel menuju Desa Budakeling di daerah Karangasem, Bali. Pura Taman SariBerdasarkan Babad Budhakeling, sejarah Pura Taman Sari tidak bisa lepas dari perjalanan Dang Hyang Asthapaka ke Bali. Pura Taman Sari yang terletak di Desa Budakeling, Bebandem, dipercaya oleh masyarakat lokal sebagai tempat suci untuk memuliakan Ida Dang Hyang Astapaka.[2] Wilayah Desa Pakraman Budhakeling awalnya memang ada sebelum kedatangan Danghyang Astapaka, tetapi belum memiliki nama dan batas-batas. Setelah Dang Hyang Asthapaka ke Bali, keturunannya secara perlahan mulai membangun sebuah desa serta infrastrukturnya. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa Dang Hyang Asthapaka, dibangun pura sebagai stana dia. Katika Dalem Waturenggong telah mangkat, Dang Hyang Asthapaka meninggalkan pasraman Dang Hyang Niratha di Desa Mas, Gianyar, bersama anaknya Ida Banjar. Mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga matahari terbenam dan tiba di sebuah perbukitan dan beristirahat di sebuah batu, yaitu Batu Penyu. Saat itu sekitar tahun saka 1416 atau 1494 Masehi. Tiba-tiba datang beberapa orang yang mengaku berasal dari Desa Tenganan yang berada di bawah pegunungan tersebut untuk mencari wewalungan (binatang untuk perlengkapan upacara Ngusaba Sambah) di desa mereka. Dang Hyang Asthapaka menjelaskan bahwa dirinya adalah Wiku Buddha Paksa dan bahwa wewalungan sudah ada di tempatnya semula. Setelah menemukan bahwa memang ada wewalungan di desa mereka, mereka kembali ke Batu Penyu untuk memohon Danghyang Astapaka menyaksikan karya usaha mereka (untuk tinggal bersama mereka). Namun, Dang Hyang menolak dan mereka memohon agar kelak keturunan Danghyang sudi menyaksikan bila ada upacara Ngusabha di desa Tenganan. Ini sebabnya sampai sekarang keturunan Dang Hyang Asthapaka (khususnya dari Budhakeling) berkewajiban melaksanakan Bhisama dengan hadir menyaksikan setiap ada upacara Ngusaba Sambah yang jatuh pada purnamaning sasih kasa (biasanya pada bulan Juni-Juli di desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem). Menurut kepercayaan, jika tidak dilaksanakan oleh keturunan Dang Hyang Asthapaka, hasil bumi berupa padi, palawija dan tanaman lainnya yang ada di Desa Tenganan tidak akan berhasil dengan baik. Malam itu, saat masih duduk di Batu Penyu, terlihatlah seberkas sinar yang menyilaukan seakan turun dari angkasa menuju bumi. Danghyang Astapaka mendengar bisikan halus:
Setelah itu, Dang Hyang Asthapaka segera melanjutkan perjalanan menuju sumber cahaya yang, semakin mendekat, semakin meredup cahayanya. Akhirnya ia beristirahat disana dan menancapkan tongkat (teteken) yang terbuat dari sebatang kayu Tanjung (sejenis tanaman bunga yang berbau harum). Tongkat tersebut tumbuh subur sampai sekarang dan pohonnya masih dapat disaksikan di Pura Taman Tanjung di Desa Pekraman Budhakeling. Di tempat itu, ia mendirikan pasraman sebagai tempat menyebarkan ajaran agama serta dijadikan tempat tinggal (Geriya) selama bermukim di Desa Pakraman Budhakeling. Sedangkan di tempat Cahaya itu berasal, sekitar 500 meter dari tongkat tersebut ditancapkan, dibangun Pamrajan (Pura) yang disebut dengan Pamrajan Taman Sari tempat ia melaksanakan yoga Samadhi. Di Pamrajan inilah konon Dang Hyang Asthapaka moksha tanpa meninggalkan jenasah. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dia, Pamrajan Taman Sari tersebut kini disebut Pura Taman Sari dengan dilengkapi Palinggih Padma Naba sebagai stana Bhatara Buddha dan Palinggih Padma Ngelayang sebagai stana Bhatara Dang Hyang Astaphaka yang di sungsung oleh segenap pratisentana (keturunan) Dang Hyang Asthapaka (wangsa Brahmana Siwa-Buddha di Bali-Lombok). Tahun 1556 Masehi di Budakeling, Danghyang Astapaka menerima istri dan anak angkat I Gusti Arya Batanjeruk yang bernama I Gusti Oka yang melarikan diri karena perebutan kekuasaan di Gelgel. Arya Batanjeruk saat itu sudah terbunuh pasukan Gelgel, sedangkan keluarga lainnya ada yang menetap di Batuaya Karangasem. Lama kemudian, I Dewa Karangamla tertarik kepada janda Batanjeruk dan ingin meminangya. Dang Hyang Astapaka menasihati sang janda untuk mengajukan syarat, yaitu I Dewa Karangamla bersedia mengangkat putranya menjadi penguasa di Karangasem. I Dewa Karangamla setuju dan akhirnya I Gusti Oka berkuasa di Kerajaan Karangasem. Referensi
Bacaan lanjutan |