Daerah Irigasi Pemali Bawah

Daerah Irigasi Pemali Bawah adalah sebuah daerah irigasi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Hingga tahun 2015, daerah irigasi ini meliputi lahan pertanian seluas 26.952 hektar di Tegal dan Brebes.[1] Air baku untuk daerah irigasi ini diambil dari Sungai Pemali melalui Bendung Notog yang terletak di dekat Stasiun Prupuk.

Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Bendung Notog beserta dua saluran induknya di daerah irigasi ini dipimpin oleh Ir. Anske Gerben Lamminga pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Daerah irigasi ini kini dikelola oleh pemerintah pusat melalui BBWS Pemali Juana,[2] dengan operasional dan pemeliharaannya diperbantukan kepada pemerintah provinsi setempat.

Sejarah

Akuaduk Poncol

Setelah diadakan penyelidikan yang cukup lama, proyek pembangunan daerah irigasi ini akhirnya dimulai pada tahun tahun 1891 dan dapat diselesaikan pada tahun 1903, dengan menghabiskan biaya sebesar 2,2 juta gulden. Pada awalnya, daerah irigasi ini meliputi lahan pertanian seluas 31.200 hektar. Sejak awal, daerah irigasi ini terutama ditujukan untuk mendukung penanaman padi rendengan di musim hujan dan penanaman tebu-palawija di musim kemarau. Karena debit air Sungai Pemali di musim kemarau tidak terlalu besar, maka luas lahan pertanian yang dapat ditanami palawija di daerah irigasi ini saat itu hanya 18.000 hektar. Daerah irigasi ini menerapkan model jaringan yang memisahkan saluran irigasi dengan saluran pembuang.[3]

Untuk memenuhi kebutuhan air dari lahan pertanian di daerah irigasi ini, Ir. A.G. Lamminga membagi daerah irigasi ini menjadi lima golongan, agar pemakaian air dapat dioptimalkan dan dapat mengikuti fluktuasi dari debit air Sungai Pemali. Pembagian golongan tersebut dimaksudkan untuk membagi waktu dimulainya pembagian air dengan selisih waktu masing-masing dua minggu, sehingga puncak kebutuhan air dapat diturunkan dan dapat dipenuhi oleh debit air Sungai Pemali.[3]

Setelah Bendung Notog dan dua saluran induk selesai dibangun, tidak ada upaya berarti yang ditujukan untuk meningkatkan luas lahan pertanian di daerah irigasi ini yang dapat ditanami selama musim kemarau, kecuali pembangunan Waduk Penjalin sekitar tahun 1932, yang ditujukan untuk memperluas lahan pertanian yang dapat ditanami tebu. Debit air yang dapat dihasilkan oleh Waduk Penjalin tidak terlalu besar, yakni hanya 1 meter kubik per detik selama tiga bulan musim kemarau.[3]

Pintu Air Songgom

Dari Bendung Notog, air terlebih dahulu dialirkan di sisi kanan Sungai Pemali. Di Songgom, air kemudian dibagi ke dua saluran irigasi primer (saluran induk), yakni Saluran Induk Brebes yang mengalir di sisi kanan Sungai Pemali dan Saluran Induk Pemali yang menyeberang ke sisi kiri Sungai Pemali melalui sebuah akuaduk yang dibangun di Poncol. Sebagian jalan inspeksi dari Saluran Induk Pemali kemudian menjadi bagian dari Jalan Nasional Rute 16. Di Songgom juga terdapat kantor dan rumah dinas bagi petugas yang bertanggung jawab atas kegiatan pembagian air. Pada tahun 1963, pernah dilakukan pengerukan terhadap lumpur yang mengendap di saluran irigasi antara Bendung Notog hingga Songgom.[3]

Daerah irigasi ini awalnya dilengkapi dengan waduk lapangan (veldwaduk) di tiap petak-petak sekunder untuk menghapus aturan pemberian air siang dan malam. Namun, pada prakteknya, pembagian air dari waduk sekunder ke lahan pertanian membutuhkan waktu yang agak lama, karena air harus menempuh jarak yang cukup jauh, sehingga kalah cepat dengan pembagian air dari waduk tersier, yang mana airnya langsung sampai ke lahan pertanian.[3]

Setelah melalui banyak perdebatan di Volksraad dan sempat diliput oleh majalah "De Waterstaats Ingenieur", pembuatan waduk sekunder di daerah irigasi ini akhirnya tidak dilanjutkan, karena dirasa kurang menguntungkan, sehingga aturan pemberian air siang dan malam tetap dipertahankan.[3]

Referensi

  1. ^ "Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 14/PRT/M/2015". Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Diakses tanggal 29 Januari 2023. 
  2. ^ "Profil 2021" (PDF). BBWS Pemali Juana. 2021. Diakses tanggal 1 Februari 2023. 
  3. ^ a b c d e f Angoedi, Abdullah (1984). Sejarah Irigasi di Indonesia. Bandung: Komite Nasional Indonesia untuk ICID. 
Kembali kehalaman sebelumnya