Daeng PamatteDaeng Pamatte adalah seorang Syahbandar dan Menteri Dalam Negeri Kerajaan Gowa yang lahir di kampung Lakiung, Gowa. Dia adalah yang membuat Lontara Mangkasara, Lontara Toa Jangang-jangang pada tahun 1538. Sesuai Kronik Gowa atau catatan resmi Kerajaan Gowa yang berbunyi ᨞iapa anne karaeng mapare rapang bicara᨞ timu timu ri bunduka᨞ sabannaraqnami anne karaenga I Daeng Pamatte᨞ ia sabannara᨞ ia tumailalang᨞ iami ampareki lontara Mangkasaraka᨞ Terjemahan Lontara Patturioloang Gowa kurang lebih seperti ini ; Baru kali ini penguasa (Karaeng Tumapakrisi Kallongna) yang membuat hukum tertulis, deklarasi perang tertulis. Syahbandar raja ini adalah Daeng Pamatte, dia Syahbandar, dia Menteri Dalam Negeri, dialah yang membuat Lontara Makassar (Aksara Lontara). KarierDaeng Pamatte merupakan seorang tubaji' ('orang baik-baik', strata sosial orang merdeka yang lebih tinggi daripada tusamara' atau orang kebanyakan[1]) yang menjabat sebagai sabannara' (syahbandar) dan Tumailalang (Menteri Dalam Negeri) pertama di Gowa.[2] Pengangkatan Daeng Pamatte sebagai sabannara dan tumailalang adalah bagian dari pembaharuan internal kerajaan yang dipelopori oleh penguasa Gowa saat itu, Tumaparisi Kallonna (memerintah sekitar 1511–1546)[3]. Sebagai seorang pejabat pemerintahan tinggi pertama, Daeng Pamatte memiliki tanggung jawab yang luas, tidak terbatas pada pengaturan perdagangan di pelabuhan Garassi/Makassar, tetapi juga sebagai pemediasi antara penguasa Gowa dan bangsawan-bangsawan Bate Salapang.[4] Tugas yang kedua ini kemudian menjadi tugas utama Daeng Pamatte setelah ia dipromosikan menjadi tumailalang, jabatan semacam menteri dalam negeri[5]. Posisinya sebagai sabannara' digantikan oleh Daeng ri Mangalakkenna pada masa pemerintahanan Raja Gowa yang ke-9 Karaeng Tunipallangga (1546-1565).[2][6]. Patturioloang Gowa menyebut bahwa Daeng Pamatte merupakan orang yang "membuat lontara' Makassar" (ampareki lontara' Mangkasaraka).[7][8] Lontara MangkasaraDaeng Pamatte berhasil menciptakan aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf. Aksara Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa atau Lontara Jangang-Jangang (burung), dinamai demikian karena aksara lontara yang diciptakannya berbentuk seperti burung. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, meliputi: seperti burung yang sedang terbang dengan huruf "Ka", burung hendak turun ke tanah dengan huruf "Ga", bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf "Nga". Lontara Jangang-Jangan inilah yang juga digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya. Meskipun ada juga yang berpandapat bahwa aksara lontara ini diperahui oleh huruf sansekerta yg sudah ada terlebih dahulu. Seiring kemajuan zaman Aksara lontara jangang-jangan karya Daeng Pamatte ini mengalami perkembangan dan perubahan yang signifikan hingga pada abad ka-XVII. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya yang menyerupai burung berubah bentuk menyerupai angka pada huruf Arab (Lontara Bilang-bilang), adapun jumlah hurufnya yang sejak awal hanya berjumlah 18 menjadi 19 huruf dengan penambahan satu huruf "ha ᨞ ᨖ" akibat dari pengaruh masuknya Islam di kerajaan Gowa. Dimana pada waktu itu Kesultanan Gowa Tallo menjadi pusat Syiar agama Islam yang dimotori oleh Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya. Lihat pulaRujukanCatatan kaki
Daftar pustaka
|