Clotilda (kapal pengangkut budak)Kapal Clotilda diperkirakan tenggelam 160 tahun lalu. Puing-puing kapal yang ditemukan di Teluk Mobile, Alabama, Amerika Serikat menghadirkan kehidupan baru ke sebuah desa kecil yang dibangun oleh para penyintas perbudakan. Kapal budak milik AS terakhir yang diketahui membawa tawanan dari Afrika ke Amerika Serikat, tiba di Mobile Bay. Kapal itu mengarungi Samudera Atlantik selama enam pekan. Kapal menyelinap ke Teluk Mobile di bawah selubung kegelapan pada musim gugur tahun 1859 atau 9 Juli 1860.[1] PeristiwaBangkai kapal karam yang besar dan megah itu awalnya dianggap berkaitan dengan Clotilda, ditemukan oleh seorang wartawan lokal bernama Ben Raines. Fakta itu menguak tenggelamnya Clotilda sampai 160 tahun setelah kondisi sungai surut secara tidak biasa. Namun temuan itu masih diperdebatkan banyak pihak. Meski begitu, penemuan itu menjadi alasan kuat dan menghidupkan kembali minat pencarian ekstensif yang melibatkan banyak pihak, termasuk oleh Komisi Sejarah Alabama, National Geographic Society, Search Inc, dan The Slave Wrecks Project.[2]
Diduga kuat Dalam peristiwa tenggelamnya kapal Clotilda merupakan sponsor pelayaran yang berbasis di Selatan dan berencana membeli orang Afrika di Whydah, Dahomey. Setelah pelayaran, kapal tersebut dibakar dan ditenggelamkan di Mobile Bay dalam upaya untuk menghilangkan barang bukti.
KomunitasAfrikatown merupakan sebuah komunitas yang serba hitam, dan menarik etnis Afrika lainnya untuk bergabung dengan mereka dalam komunitas independen. Beberapa dari mereka adalah keturunan dari kumpulan orang-orang Afrika dari Clotilda yang dibebaskan secara efektif pada akhir Perang Saudara. Cudjo Lewis hidup sampai tahun 1935 dan telah lama dianggap sebagai orang terakhir yang selamat dari Clotilda. Seperti banyak orang bebas, Redoshi dan William tinggal bersama putri mereka di perkebunan di Bogue Chitto dan terus bekerja di sana.Pada tahun 2019, sebuah studi baru menetapkan bahwa Redoshi (Sally Smith) hidup hingga tahun 1937 di Bogue Chitto, dan dengan demikian dia dianggap sebagai orang terakhir yang selamat. Namun pada tahun 2020 diumumkan bahwa Matilda McCrear salah satu dari mereka bertahan hingga tahun 1940, ketika dia meninggal di Selma, Alabama. Mereka mengadopsi aturan komunitas berdasarkan sebagian besar adat “Takpa/Tapa” (Nupe), dan memilih pemimpin. Beberapa mempertahankan penggunaan bahasa dan tradisi budaya Yoruba hingga tahun 1950-an. Banyak diantara mereka merupakan mantan budak Meaher yang kembali ke Magazine Point, dan ke tanah milik Meaher di Delta Sungai Mobile-Tensaw tepat di utara Mobile dan di tepi barat Sungai Mobile. Namun anak-anak yang lahir di masyarakat itu mulai belajar bahasa Inggris, pertama di gereja, dan kemudian di sekolah-sekolah yang didirikan pada akhir abad ke-19.
Sementara itu kemajuan suatu industri baru yang menarik pekerja ke hulu sungai, termasuk pabrik kertas yang dibangun setelah Perang Dunia II menyebabkan komunitas Africatown berkembang menjadi 12.000. Namun setelah penutupan industri dan mereka kehilangan pekerjaan populasi berkurang menjadi sekitar 2.000 pada awal abad 21.
Sudut pandangKurator Smithsonian Mary Elliott menghabiskan waktu di Africatown mengunjungi gereja-gereja dan anggota muda komunitas dan mengatakan bahwa warisan perbudakan dan rasisme telah membuat jejak nyata di tempat ini di seberang jembatan dari pusat kota Mobile. Di sebuah lingkungan yang disebut Lewis Quarters, Elliott mengatakan apa yang dulunya merupakan lingkungan perumahan yang luas di dekat sungai sekarang terdiri dari beberapa rumah terpencil yang dirambah oleh jalan raya dan berbagai industri.
Apa yang kuat tentang Africatown adalah sejarahnya, budayanya, penatagunaan warisan, bahwa begitu banyak orang telah memegang sejarah ini, dan berusaha mempertahankannya dalam lanskap sebaik mungkin. Tapi itu juga menunjukkan warisan perbudakan. Hal ini menjadi cerita tentang rasisme lingkungan; penyakit busuk dan belum tentu karena penghuninya tidak peduli; tetapi karena kurangnya sumber daya, yang sering terjadi pada komunitas kulit hitam bersejarah di seluruh negeri. Saat orang berkendara melalui lanskap itu, mereka seharusnya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kekuatan tempat, cara membaca tanah, dan terhubung dengan sejarah.[4] Referensi
|