Clostridium difficile
Clostridium difficile atau dikenal sebagai Peptoclostridium difficile, C. difficile, atau C. diff. adalah spesies bakteri pada genus Clostridium yang dapat membentuk spora, gram-positif, anaerobik, motil, berbentuk-tongkat (basillus).[1] C. diff adalah akibat dari pseudomembranous colitis,[2] infeksi terhadap usus besar setelah gut flora normal dihancurkan dengan penggunaan antibiotik. Perawatan dengan menghentikan antibiotik apapun dan menggunakan antibiotik anticlostridial, seperti metronidazole. Sel vegetatif C. diff berbentuk batang, pleomorfik, dan hidup berpasangan atau membentuk rantai pendek. Di bawah mikroskop, sel C. diff terlihat berbentuk irregular (umumnya seperti jarum) dan pada ujungnya terdapat tonjolan yang berupa hasil pembentukan spora subterminal. C. diff tumbuh optimal pada medium agar darah yang tanpa oksigen dan dengan suhu sekitar tubuh manusia (37oC). Karakteristik fisiologis dari C. diff yaitu katalase- dan superoksida dismutase-negatif, mampu memproduksi toksin (enterotoxin A dan cytotoxin B) yang mengganggu transduksi sinyal sitoskeleton di sel inang.[3] C. diff mampu memproduksi spora yang dapat membantu untuk bertahan di kondisi ekstrim.[4] Infeksi C. diff umumnya dikaitkan dengan transmisi yang terjadi dari alat kesehatan yang tidak steril maupun antar manusia di rumah sakit, serta akibat penggunaan antibiotik seperti clindamycin, fluoroquinolones, dan cephalosporin.[5][6] Namun, sebenarnya C. diff dapat tumbuh di usus besar manusia tanpa menyebabkan penyakit bila tidak terjadi kolonisasi atau dominansi populasi C. diff terhadap komunitas mikroflora usus. Umumnya, infeksi pun terjadi hanya pada pasien yang memiliki sejarah klinis seperti diare. Sedangkan individu yang tidak memiliki sejarah gangguan pencernaan umumnya menjadi carrier tanpa gejala yang juga merupakan salah satu reservoir C. diff utama.[7][8] Patogenisitas Pada ManusiaC. diff mampu menghasilkan senyawa toksin, berupa enterotoxin A dan cytotoxin B, yang mampu menyebabkan inflamasi pada usus pasien dan memicu diare. Tingkat keparahan diare yang disebabkan dari infeksi ini beragam, dari diare ringan selama beberapa hari yang menyebabkan kehilangan cairan pada tubuh pasien hingga peradangan pseudomembran pada usus besar pasien yang berisiko kematian. Peradangan ini disebabkan karena terjadinya inflamasi yang intens pada usus besar dan menyebabkan pembentukan pseudomembran pada permukaan mukosa usus.[4] Patogenisitasnya terjadi ketika spora C. diff yang tahan panas, tahan asam, dan resisten antibiotik mengalami germinasi dan masuk ke sel epitel pada usus manusia. C. diff kemudian berkolonisasi dan menghasilkan 2 eksotoksin yaitu TcdA dan TcdB yang akan menargetkan dan menginaktivasi protein Rho guanosin trifosfat (Rho GTPase). TcdA dan TcdB mempunyai sifat enterotoksin yang dapat mengikat sel pada membran brush border, menyebabkan terjadinya erosi pada mukosa dan merangsang pengeluaran cairan dari usus bahkan dapat memicu pendarahan. Hal ini menyebabkan kematian kolonosit pada usus, hilangnya fungsi barrier intestinal, dan kolitis neutrofil. TcdB secara spesifik akan menginduksi depolimerisasi aktin melalui mekanisme yang berkorelasi dengan penurunan ribosilasi ADP dari protein Rho pengikat GTP bermassa molekul rendah.[9] Selain itu, terdapat faktor virulensi tambahan lain melibatkan faktor adhesin yang memediasi pengikatan ke sel usus besar manusia dan hyaluronidase.[10] C. diff juga mampu memproduksi senyawa kimia para-cresol yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain di sekitarnya sehingga memungkinkan terjadinya dominansi populasi C. diff terhadap mikroflora usus manusia.[11] Dominansi populasi C. diff i menyebabkan ketidakseimbangan populasi mikroflora di usus dan dapat menyebabkan infeksi yang memicu respon tertentu pada pasien.. Bila pasien terinfeksi memiliki respon imun adekuat, maka pasien tersebut kemungkinan akan menjadi carrier tanpa gejala. Namun bila respon imun pasien inadekuat, dapat memicu terjadinya diare dan kolitis. TransmisiC. diff dapat ditransmisikan antar orang dengan jalur fecal-oral atau dari permukaan dan perangkat yang terkontaminasi feses sehingga dapat menjadi reservoir spora C. diff (contohnya yaitu toilet, bak mandi, termometer rektal elektronik, alat kesehatan yang tidak steril, dll.).[12] Spora C. diff yang tahan panas tidak akan terbunuh oleh pembersih tangan berbasis alkohol ataupun pembersih permukaan yang diberikan secara rutin. Akibatnya, spora dapat ditemukan di permukaan apapun dan dapat bertahan di permukaan itu dalam waktu yang cukup lama. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, spora C. diff juga dapat bertahan melewati jalur pencernaan karena sifatnya yang tahan asam. Setelah berada di dalam usus besar, spora akan bergerminasi dan berkembang biak menjadi sel vegetatif akibat paparan dari asam empedu.[13] Saat ini sedang banyak diteliti obat yang memiliki mekanisme spesifik untuk menghambat transmisi spora C. diff, yaitu melalui penekanan sporulasi C. diff yang diketahui dapat dilakukan dengan cara inaktivasi DNA methyltransferase CamA.[14] Dari kasus-kasus infeksi yang terjadi, diduga bahwa kolonisasi C. diff dipicu oleh penyakit diare. Tanpa adanya riwayat penyakit diare, seseorang yang terpapar spora C. diff mungkin akan (tetapi tidak selalu) menjadi carrier. Bila C. diff berhasil melakukan kolonisasi pada usus seorang pasien, orang tersebut dapat menjadi carrier untuk waktu yang lama, umumnya hingga sepanjang tahun. Namun, akan terjadi fluktuasi kelimpahan populasi C. diff seiring berjalannya waktu. Mulai dari masih di bawah ambang batas yang tidak dapat dideteksi dan tidak menunjukkan gejala apapun, hingga akhirnya melewati batas populasi untuk siap dilepaskan secara tingkat tinggi dan menjadi faktor transmisi.[7] Target InfeksiC. diff dapat ditemukan menginfeksi babi, sapi, dan manusia. Reservoir alaminya umum berasal dari tanah, feses domestik hewan dan manusia, sistem penyaluran kotoran, daging eceran, dan sistem pencernaan manusia.[15] Namun, diestimasi bahwa 40% infeksi C. diff yang terjadi berasal dari panti jompo atau pelayanan kesehatan komunitas, dan 24% berasal dari rumah sakit.[16] Secara alami, C. diff memang umum ditemukan pada sistem pencernaan manusia. Dalam keadaan normal, C. diff merupakan kompetitor lemah untuk memperoleh nutrisi dibandingkan populasi bakteri lainnya sehingga C. diff berada pada jumlah yang terjaga. Namun, bila terjadi suatu gangguan mendadak terhadap komunitas mikroflora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotik dengan spektrum broad, populasi bakteri lain yang tidak resisten akan berkurang signifikan dan menyebabkan C. diff mampu tumbuh dengan lebih optimal secara cepat. Hal ini mengakibatkan peningkatan populasi C. diff yang signifikan hingga mengalahkan kompetitor bakteri lain dan menyebabkan ketidakseimbangan mikroflora usus. Hal ini menjadi potensi awal penyebab infeksi penyakit bergejala ataupun kolonisasi yang memicu seseorang menjadi carrier tidak bergejala.[10] Genome dan EpigenomeSekuens genom lengkap strain C. diff pertama kali dipublikasikan pada tahun 2005, yaitu C. diff strain 630 yang virulen dan resisten terhadap berbagai jenis obat. Semenjak penemuan tersebut, saat ini telah ditemukan genom dari 30 isolat C. diff dengan metode next-generation sequencing.[17]
C. diff memiliki diversitas epigenome yang tinggi, dengan 17 motil metilasi berkualitas tinggi telah dilaporkan. Dari motif tersebut, motif yang paling banyak ditemukan umumnya berupa tipe 6mA. Metilasi pada salah satu motif yaitu - CAAAAA, menunjukkan pengaruh terhadap sporulasi yang merupakan faktor kunci dalam transmisi penyakit dari C. diff, panjang sel, pembentukan biofilm, dan kolonisasi pada inang.[14] Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Clostridium difficile.
|