Bola, Wajo
SejarahNama Bola diambil dari nama Kerajaan Bola. Rajanya bergelar "Arung Bola" yang ber lokasi di daerah Wajo bagian timur, Arung Bola pertama Raja Mawellang Tomanurung. “Petta Manurungnge ri Latobbo Watabbola. Dalam manuskrip-manuskrip lama, dan tutur-pinutur dari leluhur, menyebutkan ‘mitology To Manurung’ yang dipercaya oleh Masyarakat Bugis Bola pada Zaman dahulu menyebutkan kalau Raja Mawellang Matase Sangalla adalah utusan dari Dewata Sewwa’e yang turun dari langit. Itulah sebabnya Dia bergelar Petta Manurungnge ri Latobbo Watabbola. Karena Beliau tiba-tiba muncul di pinggir danau Latobbo lengkap dengan prajurit dan juga tiba-tiba ada Istana yang muncul bersamanya. Dalam lontara Akkarungeng Bola juga tertulis Raja Mawellang Matase Sangalla, menggunakan gelar para Raja Sangalla, menunjukkan bahwa dia seorang Pangeran Kerajaan Sangalla yang datang, membuka daerah baru untuk berkuasa. Sehingga sampailah Raja Mawellang Matase Sangalla ke bagian timur Kerajaan Wajo, tepatnya di pinggir Danau Latobbo. Rumah atau Saoraja tiba-tiba muncul bersama Raja Mawellang lengkap dengan prajuritnya. Sehingga Rumah dalam bahasa bugis disebut Bola, kemudian menjadi nama Kerajaan yang didirikan oleh Raja Mawellang Matase Sangalla yaitu Kerajaan “Bola”. Setelah wafat, dia diigantikan oleh putranya yang bernama Lassada. Ketika Lacella memerintah ia bergelar Lacella Datu Bola Datu Tungke'na Alau Wajo. Menggabung di kerajaan Wajo pada masa Arung Matoa Wajo IV, La Tadampare Puangrimaggalatung. Sebelum Arung Bola La Nonci dan Arung Bola Terakhir La Pajarungi memimpin Kerajaan Bola, Ada seorang Arung Bola yang sering dituturkan oleh leluhur saya Lamondo Daeng Mapata, yaitu Arung Bola La Makkaraka. Ketika Lamakkaraka Naik Tahta di Bola, Sepupu Lamakkaraka yang merupakan Cucu dari Lacella Datu Bola yang bernama Ambo Pajala, kakek dari La Mondo Daeng Mapata, naik Tahta Di Paria dengan Gelar Arung Paria Petta Pabbate’e. Saat Rumpa’na Bone 1905, Lamakkaraka sebagai Raja Bola ikut menghadang pasukan Belanda di pesisir pantai timur Bone di Bajoe. Lamakkaraka meminta kepada Ambo Pajala Arung Paria agar bertahan di Paria. Ketika Belanda menyerang Kerajaan Bone di bawah pemerintahan Raja Bone ke-31, Lapawawoi Karaeng Sigeri, tahun 1904-1905. Belanda mengerahkan 1.332 personel militer, 575 personel non-tempur, tujuh kapal perang, 316 ekor kuda, dan berton-ton mesiu (alat peledak). Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawa’e sebagai putra Mahkota sekaligus Panglima Perang Kerajaan Bone, mempersiapkan strategy perang dengan matang. Para Komandan termasuk Lamakkaraka dikumpulkan dan diajak berdiskusi menyusun strategy. Saat Baso Pagilingi Petta Ponggawa’e meminta pendapat Lamakkaraka, “Prajurit Bola yang kamu pimpin bagusnya ditempatkan dimana Arung Bola?” Maka Lamakkaraka menjawab, “Dimanapun lini yang terasa lemah dan beresiko untuk ditembus dan diporak-porandakan oleh Belanda, di situlah bagus ditempatkan To Bola’e. Akhirnya pertempuran pun berkecamuk tak terhindarkan. Pertempuran ini meskipun memakan waktu berbulan-bulan dan menelan korban jiwa beribu-ribu jiwa. Kakek saya sering menyebut orang-orang yang gugur itu dalam bahasa bugis “3 Barugase” (sampai sekarang saya belum tahu arti kata 3 Barugase itu). Dan pada akhirnya bonepun berhasil dibobol dan mengakibatkan mati Syahidnya Petta Ponggawae di bulu awo Siwa, dan juga mati syahidnya Ambo Pajala Arung Paria Petta Pabbate’e di Masjid Paria. Batas wilayahBatas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Desa/kelurahanReferensi
|